"Ini makan siangnya."
Tanpa berterima kasih atau apa, Ardiaz yang baru selesai mandi dan berganti baju menerima besek makan siang dari Aika. Perlombaan renang baru saja selesai. Ardiaz menjadi juara di cabang jarak 100 meter. Mungkin karena itu suasana hatinya agak baik.
Sampai tengah hari ini, terhitung baru tiga kali dirinya mencaci Aika untuk hal-hal kecil. Syukurlah tidak seekstrem kemarin. Mungkin, langkah Aika untuk tidak mengikuti saran Rion benar. Dia hanya harus bersabar.
Mereka berdua duduk di tribun yang paling bawah dalam diam. Posisinya diapit oleh sebuah kursi yang digunakan untuk menyimpan tas Ardiaz. Dengan situasi gelanggan renang yang mulai lengang, remaja lelaki itu hanya sibuk memakan makan siangnya tanpa memperdulikan Aika sama sekali.
Di sisi lain, Aika hanya menunduk gelisah seraya mengerutkan dan meregangkan jari-jari kakinya di dalam sepatu. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ardiaz melarang Aika makan selama masih mendampinginya. Sialnya, Aika bukan tipe orang yang gampang pingsan jika telat makan. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga pas-pasan sudah membuat Aika terbiasa hanya makan sekali sehari. Tadi pagi pun ia sudah sarapan. Jadi, Aika merasa baik-baik saja--ya, setidaknya begitulah pikir Aika.
Padahal, beberapa bulan tinggal di SMAKSA dengan jadwal makan yang teratur membuat perutnya terasa agak keroncongan sekarang. Namun, tidak sampai ke level di mana dia merasa akan pingsan dan lemas sekali. Paham, kan? Ah, rasanya serba salah.
Bisakah sore hari datang lebih cepat? Aika ingin segera bebas dari belenggu ini. Apa ia harus pura-pura pingsan saja? Ardiaz hanya akan murka. Apalagi jika dokter sampai tahu bahwa Aika berbohong. Boleh jadi, reputasinya yang sudah rendah akan hancur hari itu juga.
"Kapan lo mau ngaku?"
Aika tersentak atas pertanyaan tiba-tiba itu. "A-apa?"
"Kuping lo masih rusak?" sindir Ardiaz ketus. Makanannya tinggal separuh saat ini. "Kapan lo mau ngaku kalau udah bunuh orang?"
Aika pun menelan ludah ciut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Makanya, gadis itu hanya bisa diam membisu.
"Setelah semua yang gue lakuin, lo masih belum mau ngaku?" Ardiaz terkekeh mengejek. "Lo gak takut hidup lo hancur?"
Akhirnya, senyum ironis pun terlihat di bibir Aika. "Bukannya lo emang udah hancurin hidup gue malem itu?"
"Terus, kenapa masih nurut sama gue? Kenapa gak lapor sekalian? Lo bisa kabur kayak jati diri lo, pengecut."
Tangan yang beristirahat di pangkuan Aika mengepal tiba-tiba. Ia ingin sekali melakukannya, tetapi dirinya tidak punya bukti dan Ardiaz tahu itu. Bahkan, remaja lelaki itu memastikannya. Siapa yang akan mempercayai Aika jika seperti ini? Apalagi, posisinya juga tidak baik.
"Pengecut itu ... " Aika akhirnya memberanikan diri untuk menantang Ardiaz. Dia masih berada di kasat mata publik, Ardiaz tidak akan berani main fisik, "... orang yang berani kasar sama orang yang lebih lemah, terutama perempuan."
"Udah ngebunuh pun masih ngerasa lemah? Oh...." tawa Ardiaz sambil bertepuk tangan mengejek. "Gak tau diri lo."
"Kapan lo puas nyiksa gue kayak gini? Lo ... udah rusak hidup gue. Apa itu gak cukup? Lo pikir lo doang yang terluka gara-gara kejadian itu? Gue juga kehilangan orang yang gue sayang!"
"Lo gak usah playing victim!"
"Lo yang terlalu buta! Orang yang lo puja-puja itu gak lebih dari orang bejat yang--"
Plak!
Bak memberhentikan waktu, gelanggang renang yang mulai lengang itu sangat hening. Mungkin sisa orang yang ada di sana terkejut karena suara tamparan yang cukup keras. Di sisi lain, jantung Aika berdegup kencang. Tubuhnya kaku. Rasa perih dan panas pun menjalar dari pipinya, mengaktifkan syaraf yang mengirimkan sinyal sakit ke dalam otaknya. Sakit fisik dan sakit batin hingga matanya terasa berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
S M A K S A
Teen Fiction"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memiliki alumni. Tidak pernah pula mengadakan acara kelulusan. Mereka yang masuk ke sana dipandang sebe...