Priitt!
Sebuah pelut ditiup agak panjang durasinya, tanda bahwa para perenang diminta bersiap di atas balok permulaan.
"Bersiap!" seru wasit. Kini, semua perenang jarak 100 meter telah menunduk dan bersiap untuk meluncur ke kolam renang.
Priit!
Serentak, para perenang pun memulai perlombaan ketika suara peluit terdengar lagi. Suasana begitu riuh. Sorak dukungan, musik di latar, juga bunyi kecipak air saling beradu di dalam gelanggan renang SMA Adhinata Bangsa.
Ya, khusus untuk lomba renang, penyelenggaraannya memang di Adhinata Bangsa karena SMAKSA tidak memiliki fasilitasnya.
Di saat yang lain saling heboh mendukung jagoan mereka di dalam kolam, Aika hanya duduk dengan lega di kursi yang ada di pinggir kolam, khusus panitia LO dan atlet. Mengapa Aika lega? Karena setidaknya untuk sekitar 2 atau 3 menit ke depan, Aika bebas dari tekanan Ardiaz yang sedang berlomba. Lebih bagus jika bisa sampai 5 menit. Namun, rasanya mustahil. Ardiaz memimpin pertandingan dan hampir mencapai sisi akhir setelah melakukan putaran di ujung sisinya. Renang gaya bebas memang terkenal dengan kecepatannya sehingga tidak aneh jika cabang perlombaan ini cepat selesai.
Suara peluit menandai bahwa perlombaan berakhir. Papan skor langsung memunculkan nama, urutan, beserta rekor waktu para perenang. Ardiaz menjadi yang tercepat di sana. Ia lolos babak penyisihan ke semi final.
Di saat yang lain bertepuk tangan meriah dan memuji-muji kecepatan Ardiaz dari tribun, Aika bisa merasa bahwa tubuhnya memberingsut di kursi, hendak meringkuk. Dia kembali ketakutan ketika melihat remaja lelaki yang memakai celana renang hitam sepaha itu mendekat.
Wajahnya ... nampak tidak bersahabat sehingga jari-jari Aika yang berada di pangkuannya mengepal ketakutan tanpa sadar. Ya, Tuhan. Apa lagi ini?
"Becus kerja, gak, sih, lo!?" hardik Ardiaz ketika jarak mereka tinggal setengah meter dari satu sama lain. Matanya begitu tajam, seolah ingin mencabik Aika dengan satu lirik jijik. Aika makin ciut.
"G-gue salah apa lagi?" cicitnya pelan. Pandangannya tertunduk ke bawah. Tak berani mendongak sama sekali.
"Gak guna emang lo!" Ardiaz sekali lagi memaki, tetapi tak terlalu keras agar tidak menarik perhatian. "Udah hina, bego lagi." Tangan basah kini meraih tas yang berada di sebelah Aika, membukanya dengan kasar dan mengeluarkan handuk. "Lo liat LO lain? Mereka pinter, ngasih anduk ke atletnya waktu udah finish. Sedangkan, lo...." Tatapan dan dengus jijik itu membuat Aika makin ingin menangis.
Meski Ardiaz tak melanjutkan perkataannya, Aika sudah dapat merasa perih teramat dalam hati. Apa boleh dia minta dicabut nyawa sekarang saja? Ini baru hari pertama dan Ardiaz sudah semena-mena ini.
Hardikan seperti ini bukan apa-apa dibanding peristiwa yang terjadi ketika perlombaan belum dimulai. Gelanggan renang dan ruang ganti masih sepi beberapa jam lalu.... Aika sungguh tidak mau mengingatnya sama sekali. Bak anjing lepas dari tali pengikat, Ardiaz makin seram jika tidak ada yang melihat. Dia bebas melakukan apapun tanpa saksi. Aika sungguh trauma hingga rasanya berbicara saja lemas.
"Apa jadwal gue setelah ini?" tanya Ardiaz tidak sabar. Namun, Aika yang pikirannya sedang ke mana-mana tidak menjawab.
Merasa geram, remaja lelaki itu pun meraih tangan Aika. Bagi yang melihat dari jauh, mungkin peristiwa itu terlihat manis. Apalagi Aika menunduk, yang dari kejauhan terlihat seperti malu-malu.
Namun, kenyataannya?
Aika merasa tangannya bak sedang remukkan. Sambil menggigit bibir bawah agar tidak berteriak kesakitan, Aika hanya bisa meringis kecil dan menunduk takut. Ia menggumamkan kata maaf berkali-kali serta memohon agar tangannya dilepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
S M A K S A
Teen Fiction"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memiliki alumni. Tidak pernah pula mengadakan acara kelulusan. Mereka yang masuk ke sana dipandang sebe...