"Aku merasa gak sehat hari ini."
"Kenapa?" Aika bertanya pada Ziva. Sore itu, semua murid SMAKSA sedang bersiap untuk melakukan Lari Bersama Semua Angkata seperti biasa. Aika yang baru selesai pelajaran olahraga dan ibadah Ashar masih menikmati air minumnya di pinggir lapangan. Di sisinya, telah ada Ziva. Ovet dan Fina masih berganti baju di kamar mandi.
"Entahlah, Ai," gumam Ziva lesu. "Aku sepertinya gak akan sanggup untuk lari cepat seperti biasa."
"Apa gak sekalian cek ke klinik aja? Lo lesu banget keliatannya."
Ziva menggelengkan kepala. Dia hanya banyak pikiran dan kurang tidur belakangan ini. "Aku masih sanggup berlari, Ai. Hanya lambat. Aku gak sakit."
"Beneran? Gue temenin kalau mau."
Sebuah gelengan kepala lemas menolak penawaran Aika dengan lembut. "Terima kasih banyak, Ai. Tapi, tanggung sepertinya. Sebentar lagi LBSA dimulai."
"Ya, udah. Kita lari barengan aja kalau gitu. Agak belakang. Gue gak mau lo tumbang."
"Eh, gak apa-apa? Aku gak mau merepotkanmu, Ai. Siapa tahu kamu ingin selesai lebih cepat."
"Repot gimana, Ziv? Lo lupa kalau gue ini yang paling lambat di kamar kita?" Aika terkekeh. "Biasanya, kan, lo atau Fina duluan yang nyampe setelah Ovet. Gue belakangan."
Senyum kecil pertama Ziva pun muncul sore itu. "Lalu, setelah kamu sampai, pasti selalu ada Rion di belakangnya. Dia mengekori kamu seperti anak bebek meski agak jaga jarak."
"Ih, kok, nyambung ke dia!?" Pipi Aika memerah malu. "Gue gak ada urusannya sama itu."
"Apa kamu tahu? Banyak kabar burung yang bilang kalau kamu dan Rion pacaran."
"Serius, lo!?" Rahang Aika terjatuh. Dia sudah mengira akan timbul fitnah, tetapi tidak secepat ini! Aika jadi betulan terkejut dibuatnya. "G-gak mungkin! Gue sama Rion gak ada apa-apa."
"Hm.... Sebetulnya, aku, sih, ingin-ingin saja percaya. Pacaran memang gak sebaiknya dilakukan. Tapi...," Ziva tersenyum jahil, "coba kamu pikir ulang interaksimu dengah Rion selama ini. Dia nampaknya sangat peduli padamu, Ai. Saat kamu jatuh, dia yang turun tangan untuk gendong. Saat kamu tertinggal di belakang, dia juga yang setia mengekori kamu, menjaga. Kalian ke mana-mana bersama. Kalau gak bersama aku, Fina, atau Ovet, kamu pasti dengan Rion. Aduh, sulit untuk percaya sekarang."
"Ziva...!" rengek Aika. "Gue gak ada apa-apa sama Rion!"
Ziva pun terkekeh pelan. "Ya, terserah kamu saja, Ai. Kamu tahu? Sepertinya aku belajar sesuatu yang berharga belakangan ini."
"Apa?"
"Yang dibilang buruk, belum tentu buruk sepenuhnya. Dan, yang dikira baik, belum tentu baik pula. Manusia memang sulit diprediksi jika kita tidak mau mengenal lebih jauh. Karena itu, Tuhan menciptakan kita beragam untuk saling mengenal dan melarang kita untuk berprasangka buruk," tutur Ziva, sorot matanya penuh keteduhan. "Contohnya, Rion."
Wajah serius Aika langsung menghilang entah ke mana setelah nama itu disebutkan. Tatapannya menjadi malas, berbanding terbalik dengan rasa penasaran yang menggelitik. "Kenapa contohnya harus dia?"
"Aika, apa kamu ingat? Selama beberapa minggu belakangan ini, kita sibuk berprasangka buruk mengenai dia. Entah itu karena cerita Fina atau karena kita memang tahu mengenai kasusnya. Tapi, apa kamu sadar? Rion itu sebetulnya ... baik, terutama pada orang yang dia pedulikan seperti kamu. Entah palsu atau gak, sikapnya gak sama sekali menunjukkan kalau dia terbawa pengaruh buruk orang tuanya. Aku yakin kamu bisa melihatnya, mengingat kamu yang paling dekat dengan bocah itu."
Aika sebetulnya setuju dengan pendapat Ziva. Di SMAKSA, sepertinya sudah bukan hal aneh lagi jika melihat Rion dan Aika bersama saking akra--bukan, bukan akrab. Melainkan, saking semangatnya Rion mengekori Aika.
KAMU SEDANG MEMBACA
S M A K S A
Teen Fiction"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memiliki alumni. Tidak pernah pula mengadakan acara kelulusan. Mereka yang masuk ke sana dipandang sebe...