Bab 19: Baik-Baik Saja

296 78 32
                                    

Halo semua.

Pagiku ... lagi kurang baik hari ini. Boleh tolong tinggalkan dukungan?
Terima kasih sebelumnya.

Selamat menikmati.

******

Ramai, tetapi sepi.

Begitulah kondisi Aika saat ini. Di sekelilingnya, siswa dan siswi SMAKSA dari berbagai kelas mungkin sedang menikmati waktu santai mereka setelah sekolah usai di hari Selasa yang cerah ini. Harusnya Aika juga begitu, tetapi dia malah merasa hampa.

Canda, tawa, seruan menyenangkan, dan gosip mewarnai atmosfer bangku-bangku di sekitar toko kebutuhan, alias tempat jajannya penghuni SMAKSA. Mereka tidak punya kantin karena digantikan oleh ruang makan yang hanya menyediakan santap pagi, siang, dan malam secara gratis. Makanya, bangku-bangku inilah yang berubah fungsi menjadi kantin buatan. Jajan di toko, lalu menikmati bersama teman-teman di sini.

Dulu, Aika dan Rion juga pernah begitu.

Dibelikan air mineral, coklat, bahkan es krim pun di sini. Namun, sekarang Rion tidak lagi sudi melakukan itu semua. Bukan, Aika bukan berharap dibelikan jajanan lagi. Akan tetapi, dia rindu bercanda dan mengobrol tidak jelas dengan bocah itu. Bahkan, Aika juga tiba-tiba merindukan sikap manja dan alay Rion padanya.

Miris sekali hal itu berubah dalam sekejap saja.

Kotak plastik berisi makanan hasil kreasi Aika di kelas PKS-Tata Boga masih utuh di pangkuannya. Kemarin-kemarin, Rion yang selalu menagih untuk mencicipi masakan Aika. Kata-kata apresiasi seolah sedang memakan makanan dari surga selalu Rion lontarkan. Sekarang? Aika bingung harus apa.

Dia tidak selera makan. Siapa yang akan menghabiskan? Makan malam nanti saja rasanya Aika malas. Apa diberikan saja kepada teman-teman sekamarnya sebagai tanda perdamaian? Eh, untuk apa? Ada Ziva juga di kelas Tata Boga tadi. Boleh jadi, dia sudah berbagi duluan. Selain itu.... Aduh, apa kata mereka jika Aika tiba-tiba kembali setelah dibuang Rion?

Dibuang.... Tidak dianggap.... Dicampakkan.

Aika sunggung benci istilah dan perasaan itu hingga tanpa sadar mengelus dadanya yang sesak. Memori lama, ketika Rion bahkan belum masuk ke hidupnya, kembali mendobrak pikiran Aika hingga matanya memanas lagi.

Aika benci perasaan ini. Secara tidak langsung, apa yang Rion lakukan pada Aika menjadi pemicu tersendiri bagi luka-luka lama Aika untuk kembali. Menarik Aika ke masa-masa tergelap dalam hidupnya. Masa-masa yang seharusnya bisa Aika ajak berdamai dan ikhlaskan. Namun, mengapa rasa sakit itu masih ada?

Jika sudah begini, hanya dua yang dapat Aika pikirkan untuk mengobati hatinya.

Pertama, berdoa.

Kedua, sesuatu yang hendak dilakukan Aika sekarang. Ia harap, kali ini hati orang itu sudah melunak dan mau menerima Aika kembali. Aika sungguh membutuhkan rumahnya. Menarik napas dalam, gadis itu memakai tasnya kembali--yang sebelumnya disimpan di bangku--dan menenteng kotak plastik miliknya, lantas mulai berjalan ke suatu tempat.

Semilir angin di sore hari yang cukup kuat meliuk-liukkan helaian rambut yang berhasil lolos dari kuncir satunya. Debu-debu dan daun kering juga sedikit berterbangan, tetapi hal itu tidak mengganggu Aika. Dia tetap memandang ke arah kakinya yang terus melangkah dan jalan beberapa meter di depannya, menunduk, tak mau memandang siapapun.

Sampai akhirnya tiba di tujuan, Aika disapa oleh penjaga kios fotokopi berkacamata. "Cari apa, Neng?"

"Mau telepon, Pak."

"Oh, boleh. Kebetulan ada empat bilik yang kosong." Penjaga kios itu menyodorkan buku identitas untuk Aika isi. "Silahkan isi dan langsung masuk saja nanti. Sudah tahu prosedurnya, kan?"

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang