31. Permintaannya

16 2 0
                                    

Selamat membaca.🤩
Semoga suka!🤗❣️

🖤*****>_<*****🖤

"Kak! Bang Rizal meninggal!" seru Arden. Nada suaranya terdengar bergetar, sepertinya, pemuda tampan itu menahan tangisan.

Sontak, Nindi dan Haris membulatkan kedua mata mereka. Tangan wanita itu sampai tremor, jantungnya juga berdetak lebih cepat dari biasanya. Nindi berucap, "Gak! Gak mungkin, Den!"

"Aku gak berbohong, Kak. Lebih baik, kakak cepat datang ke sini," ujar Arden. Lalu, mematikan sambungannya secara sepihak.

Nindi pun segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia hendak berlari, namun, Haris menyuruhnya untuk berhenti. Papanya itu menawarkan agar pergi ke rumah sakit bersama. Nindi tentunya mengiyakan. Mereka berdua pun memasuki mobil, Haris melajukannya dengan kecepatan cukup tinggi. Meninggalkan area rumah mereka.

Arden menghela napas panjang melihat Disya yang terbaring di atas brankar. Gadis itu pingsan beberapa menit yang lalu karena terlalu shock. Rizal tengah diurus oleh pihak rumah sakit, dan akan dimakamkan di pemakaman terdekat. Tangannya masih menggenggam erat jemari tangan Disya yang dingin. Tidak lama kemudian, Nindi dan Haris datang dengan raut wajah panik.

"Disya kenapa?" tanya Nindi bingung.

"Dia kaget banget, Kak. Makanya, pingsan. Kata dokter juga, Disya punya penyakit lambung yang udah akut. Jadi, mungkin sadarnya masih lama," jelas Arden kembali menghembuskan napas panjangnya.

Nindi mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Di mana Rizal? Kakak pengen liat dia yang terakhir kalinya." Kedua matanya terlihat memohon.

"Di ruang jenazah, Kak. Lagi diurusin sama pihak rumah sakit," balas Arden kepada Nindi yang langsung berlari menuju ruang jenazah.

"Pa," panggil Arden membuat Haris mengerutkan keningnya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Kenapa papa datang ke sini?" Sebenarnya, bukan itu yang ingin Arden tanyakan.

"Entahlah. Papa juga gak tau," kata Haris santai. Kemudian, pergi begitu saja dari hadapan putranya.

Arden menatap punggung papanya yang mulai menjauh dari pandangannya. Ia bergumam, "Kenapa aku ngerasa ada sesuatu yang sangat besar dan ditutupi oleh papa?"

Nindi masuk ke dalam ruangan jenazah, ia melihat empat orang perawat pria yang tengah mendorong brankar menuju keluar. Nindi pun memberhentikan langkah kakinya, tangannya dengan cepat menarik kain kafan yang menutupi wajah Rizal. Kedua matanya berkaca-kaca melihat teman dekatnya yang sudah tidak bernyawa lagi.

"Permisi. Dia akan segera dimakamkan," kata perawat itu kepada Nindi yang seolah enggan Rizal pergi.

"Maaf, tapi Anda menghalangi." Kini salah satu perawat pria yang menatap Nindi dengan tatapan sinis. Setelah itu, kembali melanjutkan mendorong brankar tersebut.

Nindi berjongkok seraya menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ia menangis kencang menyesali perbuatannya kepada Rizal tiga tahun yang lalu. Andai saja, dirinya mempercayai ucapan pria itu, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. Tapi, apa daya, semuanya telah terjadi. Nyawa Rizal tidak akan pernah kembali.

***

Pemakaman Rizal sudah selesai tepat di pukul delapan malam. Di pemakaman yang hening ini, hanya ada Arden dan Nindi. Dua adik-kakak itu, tengah berjongkok di dekat batu nisan Rizal. Disya masih belum sadar. Arden tengah menepuk-nepuk lembut punggung kakaknya, mencoba untuk membuat Nindi sedikit tenang. Wanita itu terus menangis kencang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Everything is Revealed (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang