29. Makasih!

15 2 0
                                    

Selamat membaca semuanya!😍❣️
Semoga suka!🤗💞

🖤*****>_<*****🖤

'DOR!'

Suara tembakan itu, membuat suasana berubah menjadi hening satu detik. Kedua bola mata Arden, Disya, juga Nindi, membulat sempurna melihat peluru itu mengenai jantung Rizal. Pria tersebut lantas berjongkok seraya memegang dadanya yang mengeluarkan darah dengan deras. Tidak lama kemudian, para pasien dan orang yang berada di taman, berlarian histeris entah ke mana. Mereka takut jika ada seseorang yang akan menembak lagi.

Darah mulai keluar dari mulut Rizal. Hal itu, membuat Disya berlari cepat mendekati kakaknya dengan kedua mata yang mengeluarkan bulir-bulir air mata. Nindira juga hendak berlari, namun, netranya tidak sengaja melihat seorang pria berbadan tegap. Memakai pakaian formal khas kantoran.

"Papa?!" gumamnya sangat terkejut melihat papanya yang menatap Rizal dengan senyum sinisnya. Setelah itu, memasuki mobilnya bersama orang yang menembak Rizal. Jarak dari sana ke arah Rizal, sekitar sepuluh meter.

"Nggak. Gak mungkin." Nindi menggeleng cepat, napasnya tidak beraturan. Ia pun memilih untuk berlari mendekati Disya yang memangku kepala Rizal di pahanya.

"Kak! Aku mohon, sadarlah!" suruh Disya seraya menepuk-nepuk pelan pipi Rizal.

"Ambulance sebentar lagi akan datang. Tolong bertahanlah," kata Arden sama halnya panik. Untung saja, mereka berada di area rumah sakit.

Nindira tidak bisa berkata-kata. Ia menangis tanpa suara menatap Rizal yang masih bisa menatapnya dengan senyum seolah mengatakan, "jangan menangis. Aku baik-baik aja." Tapi, tetap saja, Nindira tidak bisa melakukan itu. Air mata terus keluar tanpa diminta, hatinya sungguh sesak. Kedua matanya hanya melihat dada Rizal yang tanpa henti mengeluarkan banyak darah.

Tanpa menunggu lama, empat orang perawat wanita dan pria datang dengan membawa brankar. Tangan mereka lincah membuka brankar tersebut, lalu, segera memindahkan tubuh Rizal agar berada di atas brankar. Setelah itu, mereka mendorongnya dengan cepat, sampai memasuki rumah sakit. Disya sudah menyusul kakaknya, Arden juga hendak melakukannya. Namun, keningnya berkerut saat melihat Nindira yang melamun.

"Kak, ada apa? Ayo kita pergi!" kata Arden kepada kakaknya yang malah menggelengkan kepalanya.

"Kamu dan Disya saja. Nanti kakak akan menyusul," balas Nindi menampilkan senyumnya meski kedua matanya terus mengeluarkan air mata.

"Apa maksud kakak? Kenapa kakak akan menyusul? Ayo kita cepat pergi! Memangnya, kakak akan pergi ke mana?" Arden benar-benar bingung.

"Sebenarnya, kakak melihat papa berdiri bersama orang yang memegang pistol. Kakak yakin, orang yang menembak Rizal, adalah suruhan dari papa. Jadi, kakak akan pergi menemui papa untuk meminta penjelasan kenapa papa melakukan itu," terang Nindira setelah memikirkannya dalam waktu cepat.

"Apa?! Papa?!" ulang Arden. Takutnya dirinya salah mendengar. Nindi langsung mengangguk yakin. Arden tentunya sangat terkejut.

"Tap--

"Kamu harus terus di samping Disya. Dia butuh kamu," sela Nindira seraya menepuk lembut bahu sang adik. Raut wajahnya berubah menjadi serius.

"Hubungi kakak jika terjadi apa-apa dengan Rizal. Kakak harap, dia baik-baik saja setelah operasi," lanjutnya seraya menyalakan ponselnya. Tangannya dengan cepat menghubungi supir pribadi keluarganya untuk datang menjemputnya.

Arden mengangguki ucapan kakaknya. Setelah itu, ia pun pamit pergi yang langsung dipersilakan oleh Nindira. Arden berlari cepat memasuki rumah sakit, hingga ia melihat Disya yang menangis kencang di depan ruangan operasi. Hatinya tiba-tiba sakit, ia lantas mendekati gadis yang disukainya tersebut.

Everything is Revealed (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang