CHAPTER SEVENTEEN

66 30 7
                                    

Tadi di jalan, liat ada foto nangka rasa semangka. Jadi pengen, kayaknya enak. Kalau ada yang tahu tempat jualan nangka rasa semangka, kasih tahu ya.

Dapet salam dari bikini beton nangka

🍍🍍🍍

Delapan tahun telah berlalu, banyak sekali rintangan dan cobaan yang berhasil di lewati oleh Iyan dan Abhi. Mereka mampu bertahan hingga saat ini. Walau kadang, mereka di pandang rendah oleh orang-orang. Tapi mereka tidak menyerah begitu saja, malahan mereka berdua membuktikan kepada dunia bahwa mereka bisa hidup sampai ajal menjemput mereka.

"Abhi," panggil Iyan saat melihat Abhi yang sedang duduk di rumput liar.

"Iya Yan?"

"Kita berhasil melewati banyak rintangan di masa lalu."

"Belum Iyan. Saat dewasa inilah rintangan akan banyak berdatangan, tapi kita tidak boleh menyerah begitu saja."

"Ya Abhi. Iyan tidak akan menyerah, kalau menyerah kasihan perut Iyan. Nanti, mereka pada rewel minta jatah makan."

Abhi terkekeh mendengar ucapan Iyan, Iyan tidak berubah sama sekali. Masih saja memikirkan perut.

"Abhi kenapa tertawa, hah?! Kan Iyan ngomong apa adanya." Iyan mencebikkan bibirnya, pura-pura marah pada Abhi.

"Dih ngambekan jadi orang," ledek Abhi sambil mengusap kepala Iyan dengan gemas.

Sikap Iyan masih sama, tetap manja. Tapi Abhi selalu menyayangi, bagaimanapun mereka berdua sudah hidup berdua, suka dan duka melewati bersama-sama.

"Iyan, kalau nanti Abhi gak ada di samping Iyan lagi, jangan pernah mencari ya."

"Emang Abhi mau kemana?"

"Gak kemana-mana kok. Abhi hanya mengingatkan."

Mereka terus berbincang dengan ditemani oleh sebungkus rokok sampoerna kretek, serta secangkir kopi. Di sekilingnya, terdapat beberapa orang yang sedang memegang pena dan buku. Ada juga, yang sedang bermain kertas batu gunting.

Tak lama, datang seorang pria berkaca mata yang cukup tua diantara mereka. Dia membawa beberapa buku yang lumayan tebal bagi Iyan. "Kalian baca buku ini, dan tanyakan jika ada kata yang tidak dimengerti," titahnya, lalu membagikan buku pada tiap meja.

Iyan memilih duduk di tikar dengan Abhi sambil bersandar di tiang meja. Lebih enak begini, ia bisa leluasa duduk dengan gaya apapun. Ia meletakkan buku di wajahnya, kepala Iyan disandarkan pada kursi panjang. Ia paling malas membaca buku puisi, menurutnya, itu sungguhlah membosankan. Apalagi, nada bicara guru yang mengajarnya mendayu-dayu jika membaca puisi. Lebih tepatnya, Iyan tidak menyukai semua guru dan pelajaran yang ada di sini.

Berbeda dengan Abhi, ia jelas sangat menyukai pelajaran ini. Bahkan, ia tidak bisa di ajak bicara saat membaca atau mendengarkan penjelasan dari pelajaran ini. Kadang juga, Abhi mempraktikkannya di depan Iyan. Padahal, Iyan sangat enggan untuk mendengarkan.

"Huf." Iyan menghela napas saat Abhi menyenggol tangannya. Sedikit lagi, ia akan pergi menuju alam mimpi. Tapi, Abhi mengacaukannya. Dasar.

"Apa?" tanya Iyan dengan nada kesal.

"Perasaan, setiap pelajaran lo tidur mulu Yan. Gak lelah apa?"

"Gak." Sekarang, Abhi yang menghela napas. Iyan susah sekali untuk belajar.

"Kita harus belajar Yan, biar gak selalu di pandang rendah sama orang-orang," nasihat Abhi.

Iyan menutup telinganya. Lagi dan lagi, Abhi mengucapkan hal yang sama jika ia sedang malas untuk belajar.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang