CHAPTER THIRTEEN

89 42 145
                                    

Selamat membaca.

Jangan lupa Bikini Beton Nangkanya🍍🍍🍍

Pagi hari begitu cerah, Ara sudah berada di depan gerbang sekolahannya. Tadi ia diantar oleh Kak Ramla, entah malaikat apa yang merasuki dia hari ini. Biasa Ramla tidak mau merepotkan diri hanya untuk mengantar  bocah sepertinya.

"ALAA!" Refleks, Ara langsung menutup telinganya. Mana orang yang teriak dekat banget sama telinganya.

"Selamat pagi Ara," sapa Bian dengan senyuman yang sangat manis.

"Dih Bian, sok manis banget sih kamu."

"Kalau mau disapa kayak gitu, bilang aja kali." Ara memutar bola matanya. Ini masih pagi, dan mereka sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda perang dunia ketiga.

"Kita ke kelas aja yuk, bentar lagi bel masuk," ajak Ara sambil berjalan, meninggalkan mereka yang masih berdebat. Entah terdengar atau tidak ajakannya, ia tidak peduli.

"Alaa! Tungguin Ifa!" teriak Ifa.

Bian mendengus kesal, sapaannya pada Ara tadi tidak dibalas. Uchhh, sangat sakit sekali. Mau tidak mau, ia berlari mengejar dua anak kecil yang sudah jauh dari jangkauannya. Ketika sudah dibelakang Ara, Bian merangkul pundak Ara.

"Jangan dilepas Ra, kitakan teman. Iya gak Del?" ujarnya ketika Ara hendak melepaskan rangkulan Bian.

"Gak. Kita bukan teman!" sarkas Ifa

"Kasihan," ledek Ara.

Bian langsung melepaskan rangkulannya Pada Ara, ia mencebikkan bibir. Dua bocah ini sangat menyebalkan, selalu saja bekerja sama untuk mengalahkannya.

"Aku marah sama kalian!" Bian melangkah lebih cepat agar mereka tidak bisa menyusulnya.

"Bodo," ucap mereka serempak.

Ifa mengibaskan rambutnya yang hanya sebahu, Ara membenarkan bando. Lalu, berjalan dengan tangan kiri yang dimasukkan ke dalam kantong rok sekolah. Ifa menseok-seokkan tubuhnya seperti model, tangan kanannya ia pakai untuk dilambai-lambaikan.

Ara, ia berjalan biasa saja. Bahkan sekarang wajahnya ditutupi oleh buku agar tidak melihat tingkah ajaib Ifa.

"Jalan yang bener Fa!" tegur Ara sambil melihat kanan kiri.

"Ini udah benel Ara." Mendemgar jawaban Ifa, Ara menepuk dahinya. Dosa apa ia lakukan dikehidupan sebelumnya sampai bisa memiliki teman yang urat malunya sudah terpotong menjadi dua.

"Cepet masuk kelas." Dengan geram, Ara menarik tas Ifa yang hendak melewati kelas mereka.

"Jangan ditalik dong La, sakit nih pundak Ifa," rengek Ifa dengan wajah yang sudah memerah. Sepertinya ia akan nangis.

"Alaaa!" teriak Ifa.

"Duduk. Diam!"

"Kejam sekali," ucap Ifa sambil memalingkan wajahnya ke arah Bian yang sedang tertidur. Melihat hal langka, Ifa memandangi wajah Bian yang seperti pangeran di dalam cerita bundanya. Dengan senyum terpatri di wajah, ia memandangi Bian sampai tidak menyadari kalau Ara sejak tadi melihat dirinya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Ekhem!" Mendengar suara deheman dari depan, Ara dan Ifa sontak langsung membenarkan posisi duduk. Guru didepan sangat disegani oleh kelas ini, untuk bertanya pun tidak mau.

Ara pernah bertanya, tapi pertanyaan itu malah dijawab dengan kata-kata yang kasar. Katanya, "Saya menjelaskannya berkali-kali, masa kalian tetap tidak mengerti?!"

Dari situ, Ara tidak mau bertanya tentang pelajaran matematika lagi. Hatinya sudah tergores begutu dalam ketika ia mendengar kata-kata itu. Huf, sungguh menjengkelkan.

🍍🍍🍍

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi, tali Ara masih berkeliaran di area sekolah. Ia sedang mencari letak tempat lest diadakan, ia lupa karena baru beberapa kali ia ikut lest dance ini.

Ia jarang mengikuti latihan dance karena Mamanya melarang untuk ikut dance, ia ikut latihan ketika Mamanya pulang terlambat, seperti hari ini.

"Mau kemana Ra?" tanya Siti, teman sekelas Ara.

"Mau ke ruang dance, tapi lupa arahnya kemana," ujar Ara sambil mengusap leher bagian belakangnya.

"Astaga! Kamu salah arah Ra. Setelah kelas kita, kamu harusnya ambil jalan ke kanan bukan ke kiri. Nah, setelah itu kamu belok ke arah ruang guru. Itu di sebelahnya," terang Siti.

Ara mendengar itu pun mengangguk-anggukan kepalanya. "Terima kasih, aku pergi ke sana dulu yah."

"sama-sama."

Ara menghela napas saat tiba di ruang dance, kakinya sangat pegal karena hampir mengelilingi sekolah untuk mencari ruangan ini, untung saja Siti memberitahunya. Kenapa juga ia mempunyai otak yang sangat pelupa ini, sungguh merepotkan.

"Kenapa gak suka ikut latihan? Mau dikeluarkan dari grup inti?" tanya Meli, ketua dance sekaligus kakak kelasnya.

Ara terkejut, baru saja ia mendorong pintu, sudah dapat pertanyaan yang membuat dirinya merasa bersalah karena jarang hadir. "Maaf kak, aku bener-bener enggak punya waktu selain Mama pergi keluar."

Mendengar jawaban itu, Meli menghela napas. Jika ia mengeluarkan Ara dari grup inti, ia harus mencari pengganti seperti Ara. Mana susah lagi mencarinya.

"Ya sudah, sana ganti baju. Sebentar lagi,  latihan akan dimulai. Oh ya, dua minggu lagi kita akan mengikuti lomba. Kira-kira ... kamu bisa ikut nggak?"

"Aku pertimbangkan dulu kak," jawab Ara dengan wajah yang ditekuk.

"Sayang loh Ra. kalau kita dapat juara, kita bisa mengharumkan nama sekolah sekaligus kita dapat uang tunai."

"Iya kak, aku mikir-mikir dulu." Setelah mengatakan itu, Ara melangkah menuju ruang ganti. Ara melihat baju yang hendak dipakainya, sudah lama sekali ia tidak memakai baju ini.

Menatap cermin sebentar, Ara pergi keluar ruangan ketika merasa dirinya sudah rapi. Ternyata mereka sudah berkumpul dan berbaris, tinggal dirinya yang belum berbaris.

"Ayo baris Ra," titah Meli saat melihat Ara sudah berganti pakaian. Ara memasuki barisan paling belakang, karema hanya di situ yang tersisa.

"Kita pemanasan seperti biasa. Maya, Pimpin pemanasannya." Maya maju ke depan untuk melakukan pemanasan, wajahnya terlihat berseri-seri dan menjulurkan lidahnya saat melihat Ara.

Ara mengernyitkan dahinya, kenapa dia seperti anjing saat meligat dirinya. Apakah ada yang salah? Atau, bagaimana? Huf, sepertinya Maya memang tidak suka pada dirinya. Ia mengikuti gerakan yang Maya lakukan. Sebentar, bukan gerakan ini yang biasa Kak Meli arahkan. Kenapa banyak yang salah dari gerakan Maya? Ya walaupun ia jarang ikut latihan, tapi ia hapal gerakan pemanasan Kak Meli.

Saat hendak mengangkat tangannya, ia melihat Kak Meli tidak ada di tempat yang biasanya untuk memantau gerakan mereka. Pantas saja Maya melakukan gerakan sesuka hati, ternyata orang yang mengawasinya tidak ada.

Daripada ia menimbulkan masalah, lebih baik ia diam dan mengikuti irama serta gerakan-gerakan yang tidak sesuai. Sangat menjengkelkan.

🍍🍍🍍

Emot Bikini Beton Nangka
Sama senyum🐒nya.

        Tertanda
Calon suaminya Mas blasteran surga
Wokwok.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang