Satu minggu telah terjadi, pasca kejadian itu tangan Iyan sudah sembuh. Ya ... walaupun tidak sembuh secara sempurna. Di area pipinya masih terdapat cakaran samar.
Seperti hari-hari biasa yang Iyan jalani, pria itu sedang berjualan koran ke setiap mobil saat lampu merah. Sama halnya dengan Iyan, Abhi juga sedang menawarkan korannya pada orang-orang yang lewat.
Lelah, uang juga belum cukup untuk membeli nasi. Iyan meneguk air aquanya dengan cepat, tenggorokannya benar-benar kering serta isi perutnya yang mulai berteriak meminta agar segera di isi.
Abhi menghitung jumlah uang receh sembari bersandar pada tiang ruko kosong. Tak lama kemudian, laki-laki itu menghela napas ketika mengetahui uangnya benar-benar tidak cukup untuk membeli nasi satu bungkus.
Saat ini, nasi satu bungkus sekitar lima belas ribu. Itu pun sudah termasuk lauk yang paling murah. Seperti telur, mie, dan sambal.
"Kita beli roti aja, yah."
Iyan mengangguk lemah, sudah tiga hari mereka tidak makan nasi. Arrghh! Gue pengen kaya! teriaknya dalam hati.
Tiga hari ini menurutnya hal yang paling sial. Sudah tidak makan nasi, orang lain juga tidak membeli koran mereka. Kata orang-orang, hanya kaum tua yang akan menikmati koran dengan secangkir kopi di sore hari. Padahal menurut Iyan, koran juga cocok untuk kaum muda.
Roti berwarna cokelat dengan rasa blubery dan bersampel 'Aoka' pada kemasannya di sodorkan Abhi tepat di depan mata. "Jangan ngelamun mulu, in syaa Allah besok makan nasi. Berdoa dan berikhtiar."
Iyan tersenyum, Abhi selalu menjadi penyemangat utama di antara yang lain. Sosok Abhi lah yang Iyan butuhkan. Sikap Abhi yang kalem dan sabar menghadapi tingkahnya, ada saat dia ingin mencurahkan seruan hati yang begitu bergejolak laksana air mendidih diikuti luapan-luapan yang keluar dari pancinya.
"Ambil, tangan gue pegel. Kalo gak mau, yaudah."
Belum sempat Abhi menarik tangannya, roti itu sudah berada dalam mulut Iyan. "Buka dulu plastiknya, Ryan. Astaghfirullah."
Iyan memindahkan roti Aoka dari mulut menuju tangan kanan. "Bosen gue, tiap hari makan roti mulu," keluhnya.
"Lo harus bersyukur, Yan. Segini juga ada makanan buat ganjel perut."
Iyan menghela napas. "Alhamdulillah."
Walau dalam hati terdapat keengganan untuk memakan roti, tapi perutnya sudah tidak kuasa menahan lapar. Minum air saja tidak cukup mengenyangkan.
Iyan menggigit roti dengan kasar, bola matanya menatap aneh mobil yang melaju dengan ugal-ugalan ke arahnya. Tangannya mendorong tubuh Abhi agar jatuh ke dalam selokan. "Bhi, minggir." Laki-laki itu juga ikut menjatuhkan dirinya ke selokan.
"Sial," ucap seseorang dalam mobil sambil memukul stir. Dia pun melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Aroma tak sedap yang pertama kali masuk dalam penciuman kedua laki-laki tersebut. Mereka saling pandang, tak lama kemudian muncul suara kekehan dari keduanya.
Abhi meloncat agar bisa naik ke atas, lalu membantu Iyan. "Lo kenapa dorong gue ke got, anjir," gerutu Abhi saat Iyan sudah berada di sampingnya.
"Tadi aneh banget, kayaknya sengaja mau nabrak gue," gumam Iyan.
"Apa?"
"Ada mobil yang bawa ugal-ugalan. Jadi, mending jatuhin diri ke got dari pada ditabrak."
Mata Abhi menyipit, meneliti dari bawah hingga atas tubuh Iyan. Pria yang ditatap oleh Abhi seperti itu melangkahkan kakinya menuju ruko kosong setelah mengambil minum aquanya.
"Lo tahu sesuatu, 'kan?" tanya Abhi.
"Sesuatu apa?"
"Sesuatu yang gak gue ketahui, buktinya tadi gue liatin doang lo langsung pergi."
"Serah lo, gue gak minat buat ngelawak." Iyan merebahkan tubuhnya, tangan kanan ia pergunakan untuk menutup area mata agar dirinya cepat tidur.
"Siapa yang suruh lo ngelawak?!"
Tak ada respon dari Iyan, Abhi mendengus kasar. Kalau bukan jalinan persaudaraan tanpa darah, mungkin laki-laki yang sedang tidur ini sudah ia hempas sejauh mungkin. Atau ... ia titipkan pada beruang kutub selatan untuk dijadikan santapan di saat lapar.
"Kita pulang, ganti baju. Masa lo jualan koran dengan baju yang bau kek gini," ucap Abhi.
Iyan mengangguk tanpa melihat objek yang sedang mengajaknya berbicara. Ia benar-benar sedang dalam suasana hati tidak baik. Sungguh, benar-benar buruk, umpat Iyan dalam hati.
"Cepat, Yan."
"Iya, Bhi."
Biasanya Iyan berjalan dengan centil. Namun kali ini berbeda, tidak ada ocehan-ocehan serta gombalan pada perempuan di sini. Suara mobil dan motor mendominasi setiap langkah mereka, juga hanya terdengar suara pedagang kaki lima yang memecahkan suasana di antara Iyan dan Abhi.
"Yan," panggil Abhi.
Iyan berdehem, ia sedang malas mengeluarkan suaranya.
"Nanti, kalo gue sukses, lo harus jadi orang pertama yang makan banyak dengan uang gue."
Iyan tersenyum sendu. "Emang lo mau jadi apa? Gue doain deh, biar lo jadi Tentara. Biar bisa ngelindungi masyarakat."
"Gue ogah jadi tentara, gue mau jadi milyader. Terus gue tinggal duduk di kursi-kursi kek di koran."
"CEO, maksud lo?"
"Nah, itu. Kita berdua pokoknya harus bisa sukses."
Iyan bisa melihat mata Abhi yang berbinar-binar ketika berbicara.
"Lo mau jadi apa, Yan?" tanya Abhi tiba-tiba.
Iyan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Gue ... mau apa yah? Gak tahu. Yang penting gue bahagia, lo bahagia, dan bisa makan nasi setiap hari."
"Iyan," lirih Abhi.
Langkah mereka terhenti karena Abhi memeluk Iyan dengan erat. "Gue gak bisa napas Abhi. Anjirlah," sungut Iyan. Tangannya digunakan memukul punggung Abhi pelan.
"Sorry, Yan."
Iyan mengatup bibir, tangannya bersedekap dengan mata memutar malas. Iyan pun melanjutkan langkah yang tertunda tadi.
"Tungguin gue, Yan."
"Banyak bacot sekarang lo yah, Bhi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Teen Fiction"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...