Gue tahu, lo orang kaya.
Tapi setidaknya, lo gak boleh semena-mena sama yang lebih rendah dari lo.~Syifa~
Ranting-ranting di pohon bergoyangan, daun-daun kering berjatuhan ke tanah akibat tiupan angin yang begitu kencang. Matahari juga ikut menenggelamkan diri di ufuk barat.
Suara gemuruh petir di langit tak membuat Abhi menyerah untuk mencari uang. Sejak pagi, pemuda itu berjualan koran. Bahkan ... ia membiarkan perutnya kosong.
Hanya beberapa lembar koran terjual seharian ini, mayoritas orang menolak membelinya dengan alasan karena koran sudah tidak dibutuhkan lagi.
Abhi dan Iyan sengaja berpencar agar mendapatkan uang yang bisa mengisi perut mereka hari ini dan hari esok. Rasanya Abhi ingin menyerah saja, kehidupan di luar ternyata lebih kejam daripada di dalam rumah.
Mungkin saja ... jika orang tuanya masih memperbolehkan dirinya tinggal di rumah, keadaan seperti tidak akan terjadi. Jika tidak pandai dalam bergaul dan mencari uang, barangkali mereka akan mati karena lapar yang begitu menguasi diri.
Laki-laki dengan baju yang sudah kumal itu mendudukkan diri di sebuah kursi di depan kafe. Langit dengan awan berwarna kelabu masih saja menggemakan gemuruh petir. Tapi ia tidak berniat untuk pulang.
Di tangan kanannya, terdapat empat lembar uang berwarna kuning, ia menghela napas kasar saat menatap lembaran uang berjumlah dua pulub ribu itu.
Tidak mungkin juga ia pulang hanya membawa sepuluh ribu. "Mana cukup buat makan nasi," lirihnya dengan sendu.
Jalanan sore dipenuhi oleh kendaraan bermobil, Abhi menatap iri pada mereka yang mempunyai kekayaan seperti itu. Untuk membeli roti saja ia tidak bisa, apalagi mewujudkan mimpinya.
Pemuda itu tertawa miris, dan terus berpikir kenapa dirinya mau dilahirkan ke dunia jika kehidupan ini yang akan terjadi. Bisakah ia lahir kembali menjadi manusia yang bisa membuat orang lain bangga?
Abhi berjalan gontai, koran yang tadinya berada di tangannya kini berada di atas kepalanya untuk menghalangi sinar matahari. Helaan napas yang keluar begitu kasar saat memikirkan esok hari.
"Kagak becus banget gue jadi orang. Udah jelek, nyusahin lagi," gerutu Abhi sambil menendang batu kerikil.
"Kenapa lo jahat banget sih, Bian! Mereka itu gak punya salah sama lo, hidup Iyan gak lebih baik daripada kita!" Abhi mengernyitkan dahi ketika mendengar nama Iyan disebut. Ia mencari sumber suara yang familiar.
"Dia rebut perhatian Ara dari gue!"
Abhi mendekat ke sumber suara itu, laki-laki dengan koran masih di kepalanya itu bersembunyi di balik pohon. Matanya menajam untuk memindai siapa orang yang sedang membicarakan Iyan.
"Kenapa sih lo harus suka sama Ara? Perhatian gue selama ini sama lo dianggap apa? Mainan?"
"Syifa Mahera, pasang telinga baik-baik. Gue gak suka sama lo. Lo tahu kenapa gue gak suka?" Orang yang dipanggil Syifa itu menggeleng, matanya berair, serta hidungnya yang mulai mengeluarkan air lendir.
"Karena lo jelek! Oh ya, lo juga gak tahu diri. Mana gue suka sama cewek jelek kek lo!" sarkas Bian.
Syifa tertawa miris, kini matanya menatap Bian dengan sengit. "Tapi, kenapa harus Iyan dan Ara yang jadi keserakahan lo, Bian!"
"Gue serakah? Serakah apa?"
"Gue tahu apa rahasia keluarga lo tentang keluarga Ara. Bahkan gue tahu, lo orang di balik mereka dipecat, kan?"
Mimik muka Abhi berubah menjadi merah, kemudian ia menghela napas pelan. Dirinya tidak boleh gegabah untuk menghakimi Bian.
Tangannya mengepal untuk menahan amarah sampai kuku panjangnya melukai kulit telapak tangan. Abhi kembali menghela napas.
"Mereka pantas mendapatkan itu," ujar Bian dengan sebelah bibir menyungging.
"Gue tahu, lo orang kaya. Tapi setidaknya, lo gak boleh semena-mena sama yang lebih rendah dari lo!"
"Lagian, kenapa juga mereka hidup miskin," hina Bian.
Syifa semakin ingin menendang Bian sampai ke angkasa. Sikap Bian sudah keterlaluan. "Mereka juga gak ingin hidup kayak gitu! Lo juga gak mau 'kan hidup dalam kekangan orang tua lo?!"
"Lo gak usah bawa-bawa masalah keluarga gue, bangsat!" Bian mendorong Syifa hingga terjatuh.
Abhi yang dari tadi hanya diam dan bersembunyi, kini ia mulai melangkah ke arah dua orang itu. Lelaki berbaju kucel itu membantu Syifa untuk bangun.
"Sakit gak?" Pertanyaan tersebut keluar tanpa perintah dari pikirannya.
"Gue baik-baik aja, makasih."
"Aiyo, ternyata ada tikus got. Iuh!" hina Bian menutup hidungnya.
Abhi memutar matanya malas, rasanya ingin memutar leher Bian dengan kasar. Mulutnya lemas sekali.
"Iyasih yang si paling katak sawah," sahut Abhi. Ia sedang berusaha untuk tidak terbawa emosi.
"Apaan lo! Gue bukan katak sawah!"
Abhi terkekeh. "Sebenernya lo emang gak pantes sih sama kata katak sawah. Emm ... bentar gue mikir dulu."
"Gue emang gak pantes disamain dengan katak sawah, harusnya lo samain gue sama mas batangan. Baru itu bener." Bian berucap sambil mengangkat dagunya.
"Aha! Gue tahu, lo kek cacing kepanasan!" Abhi segera menarik Syifa sebelum Bian mengamuk seperti banteng.
Dalam larinya, Abhi tertawa puas karena berhasil membuat Bian emosi. Ternyata membuat orang emosi semenyenangkan ini. Pantes Iyan suka sekali menjailinya sampai marah.
"Berhenti. Gue cape." Abhi tersadar tawanya. Tangannya masih menggenggam tangan Syifa dengan erat.
"Ah, gue lupa kalo gue bawa lo lari." Abhi menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum tak enak.
"Lo denger semuanya?" tanya gadis itu setelah mendudukkan diri di trotoar.
"Hm. Gue denger."
"Maafin Bian, yah. Dia kek gitu karena tekanan juga dari keluarganya."
"Gue kira, jadi orang kaya itu enak. Makan enak juga gak akan ngabisin duit, apalagi gak mikirin besok harus makan apa."
"Lo salah pemikiran tentang orang kaya. Emang sebagian dari mereka mungkin hidupnya tentram, tapi beda dengan Bian. Dia terlalu lemah. Apalagi dengan sifat naifnya itu. Mungkin yang ada di pikirannya, dia harus berada di atas nyokap dan bokapnya."
Abhi terdiam, ia tidak mengerti tentang pola kehidupan orang kaya. Ada baiknya juga ia hidup sebagai anak yang tak dihiraukan oleh orang tuanya bahkan orang lain.
Ternyata benar kata guru puisinya, hidup di dunia ini tidak ada yang lembut. Semuanya bersifat kasar.
🍍🍍🍍
Jangan lupa, emot bikini beton nangkanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Teen Fiction"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...