Malam minggu, jalanan di padati oleh berbagai kendaraan. Sebagian besar para remaja melakukan kegiatan dari yang mulai positif sampai negatif. Ada juga yang hendak pulang ke rumahnya, ada pula yang nongkrong di warung kopi.
Seperti remaja lainnya, Abhi dan Iyan kini sedang menjelajahi jalanan. Terdengar jelas di gendang telinga suara motor dan mobil. Mereka berdua hanya diam sambil menikmati cilor.
Duduk di pinggiran trotoar, dengan mata yang menatap lurus ke depan. Menunggu lampu menjadi merah agar mereka bisa menyeberang.
"Lampu merah, Yan." Abhi bangun dari duduknya sambil membuang tusuk cilor ke tong sampah yang ada tak jauh darinya.
"Bentar, cilor gue belum abis," sahut Iyan.
"Lelet lo, gue tinggal," gerundel Abhi, lalu melangkah pergi meninggalkan Iyan yang masih asik memakan cilor.
Bertepatan dengan lampu rambu-rambu lalu lintas berganti menjadi hijau, Iyan sudah menghabiskan cilornya. Embusan napas kasar seketika keluar dari lubang hidung Iyan. Sedangkan Abhi sudah berada di seberang sana. Bersiap untuk mengamen di tempat makan mak Ijah.
Iyan menelusuri trotoar, matanya terpejam sesaat angin menerpa wajahnya dengan halus. Seketika rasa dingin bercampur segar masuk melalui pori-pori kulit.
Kedua tangannya memeluk tubuh, mencoba untuk memberi kehangatan. Kepalanya menengadah ke langit yang sedang berduka. Tidak ada bintang dan bulan, mereka berdua meninggalkannya di kegelapan malam.
Pikirannya menerawang ketika ia masih kecil, rasanya sangat susah untuk melupakan kenangan bersama sang nenek. Sudah lama dia tidak mengunjungi makam beliau.
Rasa sesak menghantam dadanya, bahkan dia sudah merasakan pusing di kepala. Lagi dan lagi, Iyan ingin menangis, namun tidak bisa mengeluarkan air mata. Entah kenapa.
Tangan kirinya memukul dada, berharap rasa sakit ini bisa hilang. Hanya saja ... tidak ada hasilnya. Rasa ini semakin menjadi-jadi.
Sampai sekarang, Iyan tak habis pikir dengan orang tua yang membuangnya di jalanan seperti ini. Apa benar, dia bukan bagian dari keluarga itu? Apa benar, dia hanya sebuah rumput ilalang yang kebetulan singgah di dalam rumah tersebut?
Jika hal itu benar, siapakah dia? Di mana asalnya? Identitasnya seperti apa? Apakah dia bayi yang di buang lagi?
Sulit sekali menemukan identitas yang asli pada dirinya. Kenapa tidak ada yang bisa menjelaskan semua ini? Bahkan neneknya 'pun.
Iyan menatap kaki, bekas cambukan gesper masih ada dan belum hilang sampai sekarang. Garis-garis panjang itu sepertinya tidak ada niatan untuk menghilang dari kulitnya, walaupun tidak semerah saat dirinya masih kecil.
Sejenak memberhentikan langkahnya saat melihat lampu merah menyala. Ia menengok ke arah kendaraan yang berhenti dan kembali melanjutkan langkahnya.
Di antara kendaraan yang berhenti, seseorang di dalam mobil menatap nyalang Iyan. Tangannya mengerat pada stir, siap melakukan sesuatu yang tidak masuk akal.
Iyan yang sibuk dengan pikirannya tak menyadari mobil yang mendekat. Kecepatan laju mobil itu melebihi rata-rata. Namun, Iyan ketika Iyan menyadarinya, mobil dengan plat A 1314N C sudah menghantam tubuh kurusnya.
Gitar yang tadi bersama Iyan terlepas begitu saja bersamaan tubuh cowok kurus terpental sejauh lima meter ke tepi jalan. Iyan meringis, semua badannya terasa sakit. Terlebih di area punggung begitu nyeri, ia sadar kalau punggungnya menabrak tembok trotoar.
Cairan merah keluar dari kepala bagian belakang serta di dahinya. Karena saking banyaknya darah, sampai-sampai mengotori baju berwarna biru langit.
Iyan menatap sekitar, hanya beberapa orang yang sedang menatapnya. Detik berikutnya, dapat Iyan dengar begitu jelas teriakan histeris dari manusia kalem yang selama ini dekat dan paling cerewet jika ada hal yang ia salah lakukan.
Abhi menggeser kerumunan secara kasar bersama Haikal yang kebetulan ada di rumah makan mak Ijah. Iyan tersenyum, kepalanya kini sudah berada di pangkuan Abhi.
"Kepala Iyan kotor, Bhi. Jangan di pangku," lirih Iyan.
"Diem bego!" bentak Abhi.
"Tolong, siapapun panggilkan ambulans," titah Haikal pada orang-orang yang sedang menatap mereka.
"Lo kenapa sih bandel banget, kan tadi gue juga ngajak lo buat cepet nyeberang!" omel Abhi, air matanya bercuruan. Ia tidak bisa menyangkal, ia khawatir setengah mati saat melihat Iyan begini. Lelaki yang sedang memangku kepala Iyan itu tidak bisa berpikiran jernih.
Iyan tersenyum. "Iyan bahagia, Bhi. Maafin Iyan, gara-gara kepala Iyan yang di pangku sama Abhi, baju Abhi jadi kotor."
Haikal mengelap cairan bening di hidungnya. "Astaga Iyan, lo sempet-sempetnya bercanda sat keadaan lo kek gini."
"Bhi, sakit banget," cicit Iyan, matanya terpejam untuk mengalihkan rasa sakit.
Bersamaan datangnya ambulans, Iyan tak sadarkan diri. Dengan cepat, Abhi mengangkat tubuh tak sadar Iyan dan meletakkannya di brankar. Para petugas langsung menutup pintu mobil begitu Abhi dan Haikal serta Iyan sudah berada di dalam.
"Cepat, Mas," pinta Abhi, genggaman pada tangan Iyan tidak ia lepaskan. Sedangkan Haikal menepuk bahu Abhi, berharap bisa menyalurkan kekuatan kepada Abhi.
"Bodoh banget sih gue, harusnya gue tadi gak ninggalin dia, Kal. Seharusnya gue nunggu dia abisin cilornya, Kal."
Haikal mengangguk meski air matanya terus mengalir. "Gue tahu." Haikal tidak jago menenangkan orang yang sedang berduka, tidak seperti Iyan yang selalu menghibur mereka di saat senang maupun sedih.
Abhi memejamkan mata, ia sandarkan kepalanya pada kaca mobil, tapi cairan-cairan dari mata tidak berhenti mengaliri wajah tirusnya.
"Di sisi lain gue takut sama darah, tapi kalo liat Iyan begini, gue---" Abhi menahan sakit yang mendera kepala serta rasa mual akibat bau amis darah.
"Tahan, Bhi."
Kini mata Abhi tidak terpejam, melainkan mempehatikan tubuh Iyan yang tidak bergerak sama sekali.
"Gue akan lakukan apapun buat lo sembuh, Yan," lirih Abhi.
Abhi menerawang kejadian tadi, ia rasa tidak asing terhadap mobil dengan plat A 1314N C itu. Namun, Abhi menyangkalnya. Dia tak mau berpikiran negatif, sekiranya untuk sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Novela Juvenil"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...