Bel pulang sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi Ara belum beranjak dari kursinya. Sudah tidak terhitung helaan napas yang keluar dari hidungnya. Ia melihat ke arah kaki yang agak bengkak karena kecerobohan Ara dalam berjalan.
Lubang yang tertutupi oleh rumput menyebabkan kaki Ara masuk ke dalamnya. Ara bahkan tidak tahu kalau di taman belakang ada lubang itu.
Ara mengurut pelan kakinya, dipegang saja sudah sakit. Apalagi ia bawa jalan. Ara melihat jam dinding di atas papan tulis. "Ternyata sudah sore, gimana gue pulangnya kalau sakit gini. Mana gak bawa kendaraan lagi!" gerutu Ara.
Mau tak mau, Ara harus segera pulang sebelum gerbang sekolah di tutup. Dengan pelan, ia melangkahkan kakinya. Rasa nyeri membuat ia berhenti melangkah. Ah, kalau begini, ia ingin memakan roti.
Ara berjalan kembali, langkah pincangnya berhasil melewati gerbang sekolah. Ara menyesal karena tidak membawa kendaraan.
"Pesen roti deh, nanti gue datang, roti juga datang." Setelah memesan tiga bungkus roti di Bakery Nona, tempat ia biasa membeli roti.
"Neng, mau ikut?" Ara refleks memegang dadanya karena terkejut. Ia mengernyitkan dahinya saat melihat pria yang sedikit tua darinya, terlihat dari kumis sedikit tebal dan dagu dipenuhi jenggot.
"Engga Pak, duluan aja," tolak Ara.
"Kakinya sakit, 'kan? Ikut aja yuk, sekalian kita ngobrol-ngobrol."
"Enggak, Pak."
"Anaknya pak Adiptya, bukan?" Ara mengangguk, dalam benaknya masih bertanya-tanya, siapa pria ini?
"Ayo naik, saya temennya pak Adiptya kok. Ayo masuk." Entah kenapa Ara merasa pria ini sangat memaksanya untuk naik ke dalam mobil itu.
"Terima kasih sebelumnya, rumah saya sudah ada di depan, Pak." Ara sedikit berbohong karena sedikit takut. Ia tidak mau menaiki kendaraan dengan orang tidak dikenali oleh Ara.
"Ya sudah kalau begitu, saya duluan." Ara menghela napas lega, akhirnya pria itu pergi juga.
Setelah menempuh selama tiga puluh empat menit menuju apartemen milik kakaknya, ia segera menjatuhkan diri ke sofa. Hah, cukup melelahkan. Rotinya juga pasti belum datang.
Bel rumah berbunyi, dengan malas Ara beranjak untuk membuka pintu. Siapa tahu itu adalah roti pesanannya.
"Dengan Mbak Rara Cantika?" tanya seorang yang memakai jaket hitam serta masker hitam. Suaranya tidak asing di telinga Ara, tapi ... Ara tidak dapat mengingatnya dengan jelas.
"Benar, saya sendiri."
"Ini pesanan Anda, silakan tanda tangan di sini," ucap kurir itu sambil menunjuk kertas bagian bawah yang harus di tanda tangani oleh Ara.
"Iyan," gumam Ara. Ara hanya ingin memastikan tebaknnya benar atau salah.
"Ya?" Jawaban itu mengejutkan Ara. Benarkah ini Iyan? Benarkah di hadapannya ini adalah sosok yang selama ini ia ingin temui? Tanpa ia sadari, degupan jantung berirama begitu dahsyat.
"Kau benar, Iyan?" tanya Ara lagi.
"Benar, ada apa Ara? Apa kau sudah mengingatku?" Ara tanpa sengaja menjatuhkan pulpen dan kertas, bahkan ia belum menandatanginya.
"Ck! Tanda tangan terlebih dahulu." Iyan mengambil kertas dan pulpen lalu memberikannya pada Ara.
"Lo bekerja di toko roti?" Ara kembali bertanya, ia sungguh penasaran. Apalagi mereka sudah lama tidak bertemu.
Iyan membuka sebelah maskernya. "Seperti yang lo duga."
"A-" Ara tidak melanjutkan perkataannya, ia hanya menampilkan senyum. Kemudian menandatangani kertas itu. Usai tanda tangan, Ara mengambil roti yang berada di tangan Iyan, membuat si empu terkejut karena roti di tangannya sudah diambil alih oleh Ara.
Ara dengan cepat membuka bungkusan roti dan melahapnya. Sudah lama ia tidak merasakan roti selembut ini. "Nih, ambil." Ara memberikan dua bungkus roti pada Iyan dengan memegang tangannya. Ara tahu, Iyan pasti belum makan. Terlihat dari wajah yang sedikit pucat.
"Ara, bisa dilepas pegangan tangannya. Gue mau ngirim beberapa roti ke tempat lain."
Refleks Ara melepaskan genggamannya, roti yang ia berikan tidak diterima oleh Iyan. Padahal niatnya mau berbagi.
"Iyan perginya cepet banget, padahal Ara masih rindu."
Ucapan Ara sukses membuat semburat merah di pipi Iyan keluar, ia bahkan dapat merasakan hawa panas di pipinya.
Jantung, jangan berdetak kenceng banget. Tar kalo Ara denger gimana. Bisa malu gue! batin Iyan, kemudian melangkah pergi.
"Iyan, kalau besok sore gak ada sibuk, Ara tunggu di danau biasa tempat kita bertemu dulu!" teriak Ara ketika melihat Iyan yang jaraknya agak jauh darinya.
Huf. Padahal ia masih ingin berbincang dengan Iyan, kenapa susah banget sih. Ara menatap dua buah roti di tangannya, Ia sedikit khawatir jika Iyan belum makan sedikit pun.
"Ngapain di luar?"
"Kandang kuda," latah Ara. Ia mengusap dadanya karena efek terkejut. Kakaknya ini seperti jelangkung saja, datang tak diundang, pergi pun tak diantar.
"Masuk," titahnya. Ara mencebikkan bibir, Rama memang tidak pernah melembutkan perkataannya.
"Mau roti, Kak?"
"Gak."
Menyesal dia basa-basi pada Rama, padahal niat dia baik karena ingin menawarkan roti kesukaannya. Toh, kalau dia tidak mau juga tidak masalah. Malah itu akan mengenyangkan anaknya yang ada di dalam perut.
"Masuk kamar, jangan keluar! Temen gue mau datang, awas aja kalo lo keluar!"
Untung saja Ara membeli roti, kalau tidak, ia bisa kelaparan karena teman Rama yang akan pulang sekitar jam tiga malam. "Iya! Ara juga tahu!"
Dengan kesal, Ara menuju dapur dan menuangkan air pada botol minum. Berjaga-jaga bila ia haus saat tengah malam tiba. Ara juga harus menyiapkan headset agar bisa tidur dengan tenang, tanpa gangguan makhluk asing di sekitanya.
Jangan lupa, emot bikini betin nangkanya.🍍🍍🍍
Tertanda
Calon istrinya mas blasteran surga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Novela Juvenil"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...