Mata Abhi menunjukkan kekosongan, sedari tadi laki-laki terus menatap hamparan air danau. Laki-laki dengan gaya rambut terbelah di bagian tengah itu menghela napas dengan kasar. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk bertahan hidup ke depannya.
Bukan hanya dirinya, ia juga harus memikirkan bocah di samping kirinya yang sedang memejamkan mata. Mencari pekerjaan pun tidak akan ada yang mau menerimanya. Ia tidak punya ijazah sekolah tinggi. Untuk ijazah sekolah dasar saja laki-laki itu tidak punya.
Selama ini mereka hanya di ajarkan bagaimana cara membaca, menulis, dan menghitung. Itu pun tergantung pada gurunya. Tak ayal, mereka mendapatkan kekerasan dari guru tersebut hanya karena kesalahan kecil.
"Ngamen aja kita." Abhi menoleh ke arah sumber suara. Ah, kenapa ia tidak kepikiran sampai situ.
"Lagian, uang hasil dari ngamen 'kan lumayan. Minimal dapet makan nasi," ujar Iyan. Matanya masih setia terpejam. Iyan tahu apa yang ada di pikiran Abhi. Tangannya di bawah kepalanya mengepal kuat, dirinya selalu saja menjadi beban untuk Abhi. Sejak kecil, bahkan sampai sekarang ia selalu merasa berhutang budi pada Abhi.
Abhi tidak menatap Iyan lagi, kini dirinya ikut merebahkan diri sembari melihat hamparan langit dengan awan kelabu.
"Kapan kita mulainya?" tanya Abhi.
"Sekarang kalau lo mau, nanti gue pinjem gitar ke Haikal."
"Di mana?"
Iyan membuka kelopak matanya. "Bus juga boleh."
Tidak ingin membuang waktu, keduanya bangkit dan melangkah pergi dari danau.
🍍🍍🍍
"Kal, gue boleh pinjem gitar lo?" tanya Iyan.
Haikal terkejut. Baru saja ia hendak duduk, Iyan tanpa basa yang sudah basi langsung menanyakan gitarnya. Padahal, Iyan dan Abhi baru saja tiba di rumahnya.
"Lo gak nanya kabar gue dulu, gitu? Ya, sekedar cipika cipiki."
Laki-laki yang ada di hadapannya berlagak muntah. Sungguh, Haikal selalu membuat darah tinggi Iyan kambuh.
"Yang gue liat sekarang, fisik lo baik-baik aja. Kagak tahu deh kalau ususnya." Iyan mengamati Haikal dari ujung rambut sampai mata kaki.
"Biasa aja kali matanya, gue masih normal."
Iyan mendelik tajam, bocah seperti Haikal seharusnya dimusnahkan saja. Ia tidak peduli. Apalagi Haikal berani-beraninya mempermainkan darah tinggi Iyan. Ya ... walaupun laki-laki itu tidak mempunyai penyakit darah tinggi.
"Ayo berantem, gue suka. Seru! Kalau kalian pake keris, pasti tambah mantep. Tar, yang satu muntah marjan. Yang satu lagi, jantungnya bolong. Mantep dah!" seru Abhi.
Kini, empat mata menatap Abhi tajam. Cowok itu menggaruk lehernya yang tak gatal. Kenapa mereka natap gue kek gitu? Emangnya gue salah ngomong apa? batin Abhi.
Haikal beranjak menuju kamarnya, ia malas meladeni orang yang tidak waras seperti mereka.
"Jangan lupa, ambil gitar! Gue pinjem buat satu minggu kalau gak lebih!" teriak Iyan saat melihat punggung Haikal mulai menghilang dari pandangannya.
Mau tak mau, Haikal kembali dengan sebuah gitar kecil berwarna hijau lumut, warna kesukaannya. Entah kenapa Haikal memilih warna itu untuk menjadi favoritnya. Bahkan pakaian Haikal mayoritas berwarna hijau lumut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Teen Fiction"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...