CHAPTER NINETEEN

91 40 101
                                    

Ternyata, orang kaya juga merasakan kesulitan. Ku kira tidak. Alasannya simpel, karena mereka mempunyai uang yang banyak.
🍍Bentala Ryan🍍

"Perabot-perabot, dari yang kecil sampe yang besar semuanya serba lima ribu. Ibu-ibu, perabot dapurnya."  Suara itu terus terputar berulang kali di sebuah mobil yang mengelilingi tiap komplek.

Abhi dan Iyan berhenti untuk beristirahat sejenak di dekat gang sempit. Tangan Abhi cukup lelah karena terus menyetir hampir seharian penuh, tapi ... tidak apa, ia sangat membutuhkan uang.

"Bang, panci yang besar berapa?" tanya seorang ibu-ibu dengan pakaian daster dan tiga kalung emas yang berada di leher.

"Cuma sepuluh ribu, bu," terang Iyan.

"Mahal amat Bang, saya belinya empat loh."

"Enggak bisa kurang bu. Ini ke ibu doang sepuluh ribu, sama yang lainmah dua puluh ribu," kata Iyan dengan senyum simpulnya.

"Bener nih?" tanya ibu-ibu itu sambil memincingkan mata.

"Bener kok Bu, buat apa saya bohong? Kan ibu cantik, makanya saya turunin harganya. Gratis foto sama saya, lagi." Mendengar hal yang diucapkan oleh Iyan, Abhi memdengus kesal, dia selalu saja begitu jika pelanggannya sedikit bawel.

"Yaudah, saya beli enam deh. Kan gratis foto sama abang ganteng." Iyan bergidik saat suara ibu-ibu itu menjadi lembut di bagian kalimat terakhir. Sangat menggelikan, udah tua, masih aja mau tergoda sama modelan kayak dia.

"Silakan dipilih, Bu. Mau yang yang mana?" tanya Abhi.

"Bukannya foto dulu sama Abang ini?"

"Nanti yah, Bu, sekarang Ibu pilih, terus bayar dulu. Baru foto sama saya," bujuk Iyan.

"Yang ini ada deh, kembalinya ambil aja, nih," ucapnya dengan memberikan selembar uang berwarna merah, ia sudah tidak sabar berfoto dengan Iyan.

Abhi mengacungkan jempol pada Iyan. Mereka kadang mendapat uang kembalian dari beberapa pelanggan karena selalu ingin berfoto dengan Iyan. Ya, walaupun warna kulit Iyan tidaklah putih.

Setelah sesi foto berakhir, Iyan menghampiri Abhi yang sedang menghitung uang hasil jualan mereka.

"Dapet berapa?"

"Belum beres."

Iyan mengambil satu batang rokok yang ada di dalam mobil, lalu ia menyalakannya dibantu oleh korek api. Ia menghisap rokok sambil menatap ke arah langit. Entah apa yang ada di hati dan pikiran Iyan.

"Dapet enam ratus ribu, Yan. Kita pulang, lagian udah mulai sore juga," ajak Abhi, Iyan mengikuti kata Abhi.

Iyan menyandarkan kepalanya pada kaca, matanya ingin sekali memejam. Badannya serta mulutnya sedikit lelah karena terus berbicara dan mengangkut barang yang dibutuhkan oleh pelanggan. Sayup-sayup matanya mulai terpejam, tapi, ia membukanya kembali saat Abhi memberhentikan mobil di sebuah tempat makan.

"Ngapain Bhi berhenti?" tanya Iyan dengan alis yang terangkat ke atas.

"Makan dulu, kita belum makan dari tadi pagi."  Setelah berkata begitu, Abhi turun dan berjalan menuju ke arah saung kecil dengan tulisan 'PECEL LELE MAK IJAH'. Sudah lama ia tidak makan pecel lele.

Di sini tidak tersedia meja maupun kursi. katanya, kalau dikasih meja sama kursi, kesian nanti yang gak kebagiannya. Harus nunggu dulu. Abhi sangat menyanjung tinggi prinsip Mak Ijah.

Saat hendak duduk di dekat tembok setelah memesan makanan, ia di kagetkan oleh tepukan keras. Saat menengok, ia mendengus kasar melihat Iyan yang sedang nyengir lebar, sampai matanya menjadi seperti orang China.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang