Satu minggu Ara sudah tinggal kembali di negara kelahirannya, Indonesia. Ia tinggal di aparemen Rama bersama Serena. Serena dan Adiptya resmi bercerai tiga hari yang lalu. Hati Ara sangat sedih melihat keluarganya yang tidak utuh lagi."Kak! Ara pergi!" teriak Ara dari ruang tengah. Dengan rambut digerai serta sebuah cepit terselip di atas telinga, ia pergi menuju tempat makan pecel lele yang tak jauh dari tempat ia tinggal.
Sudah lama juga ia tidak makan di tempat seperti ini, Serena sangat melarang keras. Ucapan monoton selalu keluar dari mulut Serena tentang makanan yang tidak berkualitas.
"Hilih, mama. Emang duit kita sebanyak itu apa," gerundel Ara ketika ia mengingat kata-kata Serena yang harus makan di restoran ternama.
Tak lama kemudian, Ara tiba di warung makan pecel lele mak Ijah, aroma ikan dan saos kacang mulai tersebar masuk ke dalam dua lubang pernapasan mengakibatkan suara-suara di dalam perut berbunyi. Suasananya begitu enak untuk mata, tidak ada meja dan kursi, hanya sebuah tikar besar.
Setelah memesan makanan, Ara duduk di dekat pintu. Ia ingin melihat lalu lalang pedagang asongan. Itu juga memudahkan ia untuk membeli sesuatu jika ia menginginkan.
"Silakan, Mbak Ara," ucap Siti dengan ramah sambil menyimpan makanan dan minuman di hadapan Ara.
"Masih kenal gue, Sit?" tanya Ara dengan menaikkan sebelah alis.
"Iyalah gue, kenal. Nih yah, dari hidung lo yang pesek sama mata lo yang kek China itu, telinga lo yang sedikit panjang, bibir lo yang kecil dan tipis banget, udah gitu, kita sekelas lagi selama lima tahun. Ya kali gue gak ngenalin lo, Ra."
Ara terkikik. "Wajah sama sifat lo gak berubah, yah."
"Ngapain juga gue berubah. Lagian ya, muka gue yang estetok dan sifat gue yang cetar membahana ini, buat lo gak canggung," canda Siti.
"Sekolah di mana, Sit?"
"Gak sekolah gue. Lulus SMP gue langsung cari kerja, untung ... mak Ijah mau nerima gue di sini. Kalau lo?"
"Udah mulai masuk SMAN Cakrawala 3, sekolahannya Bian."
Siti mengangguk-anggukan kepala, lalu terdengar suara mak Ijah memanggil Siti. Mau tak mau, ia mengakhiri obrolannya dengan Ara. Padahal, ia masih ingin ngobrol.
"Kalau gitu, lo nikmatin aja makanannya, gue udah dipanggil lagi." Siti melenggang pergi setelah mengatakan hal itu pada Ara.
Ara menggelintingkan lengan bajunya, sudah lama juga ia tidak makan pakai tangan. Justru menurut Ara, makan pakai tangan itu lebih nikmat daripada makan pakai sumpit lah, garpu lah, atau sendok. Kecuali, ia makan sayur yang memiliki kuah.
Di saat ia sedang menikmati rasa makanan, ia dihampiri oleh pemuda dengan baju lusuh dan kotor. "Hai," sapa pemuda itu.
"Juga?" sahut Ara tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Ia merogoh kantong celana untuk mengambil uang, siapa tahu aja pemuda ini sedang meminta sumbangan.
"Lagi apa di sini?" Pertanyaan ini sungguh membuat hati Ara mengebu, tidak lihat apa kalau dia sedang makan. Mana laki-laki ini tidak permisi dulu lagi, main duduk-duduk aja.
"Menurut lo?" Nada bicara Ara mulai jutek, sungguh, ia ingin segera makan.
"Makan pecel lele, apa pecel hati?" Ara mengernyitkan dahi, maksud dari pecel hati itu ... hatinya yang dari hati kambing, dinosaurus, kuda lumping, atau hati ular.
Eh, emang ular punya hati? tanya Ara ketika merasa pikirannya mulai absurd.
"Emang ada pecel hati?" Ara menepuk-nepuk jidatnya, kenapa dari banyak pertanyaan harus itu yang keluar. Perlahan, ia menghembuskan napas agar diri Ara bisa tenang.
![](https://img.wattpad.com/cover/284631097-288-k648319.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Roman pour Adolescents"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...