CHAPTER TWENTY-SIX

50 14 5
                                    

Ternyata memang benar, orang yang tidak punya selalu terbelakangkan.

~Abhipraya~

🍍🍍🍍

Tidak ada yang enggan membuka pembicaraan, kedua remaja itu hanya duduk di sebuah kursi panjang sehabis berkeliling pasar malam. Napas mereka masih memburu akibat terlalu bersemangat mencicipi segala makanan.

Di sisi bibir gadis yang rambutnya di kepang terdapat sisa sambal, tak luput dari mata laki-laki di sebelahnya. Iyan ingin menghilangkan sambal itu, tapi ia malu untuk memulai pembicaraan. Apalagi dirinya sedang mengalami stomatitis pada lidah bagian depan.

Tanpa sadar, tangannya bergerak menuju sisi bibir kanan Ara, tubuhnya juga ikut condong. Mendapati hal tersebut, badan Ara menegang serta napasnya tertahan, matanya mengerjap ketika sapuan tangan Iyan berlanjut ke seluruh area bibir. Dengan cepat, gadis tersebut menghempas tangan Iyan dengan kasar.

"Lo---" Ucapan Ara terhenti saat melihat Bian yang sedang berdiri di samping Iyan.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Ara dengan wajah beku.

"Orang rumah pada panik karena lo kabur, eh malah enak-enakan maen sama anak jalanan. Mana kumel lagi," sindir Bian.

Iyan mendelik, ia paling tidak suka jika direndahkan seperti itu. Kalau saja tidak ingat ucapan Abhi yang menyuruhnya untuk tidak membalas ucapan Bian, mungkin Iyan sudah menghabisinya. Memang benar, Iyan adalah anak yang terlantarkan oleh orang tuanya. Tapi setidaknya, jangan memperjelas status itu. Dirinya tidak menyukai hal tersebut.

Laki-laki itu selalu mengutuk diri sendiri ketika segala macam hinaan masuk ke gendang telinganya, orang tuanya juga sudah tidak mengingatkannya apalagi orang lain. Bahkan langit tidak berpihak kepadanya.

"Ah, lo mau kasih gue sumbangan satu miliar yah? Duh ... gue cuma mau bilang, sebelumnya makasih banget udah mau nyumbang, tapi gue lagi gak butuh sekarang. Nanti aja deh, sekalian buat tahlilan gue," canda Iyan dengan cengengesan.

Ara mendelik tak suka saat mendengar kalimat terakhir Iyan. "Ngomong yang baik-baik aja, Yan."

"Lah? Gue kan bener ngomongnya, sapa tahu pas gue tahlilan abang gue si Abhi lagi  kehabisan stok mas batangan di kantongnya."

"Ekhmm!" dehem Bian, ia merasa diabaikan oleh dua bocah ini.

"Sakit mag Bang? Gue ada kok permen kiss, mau gak?" Iyan mengeluarkan satu biji permen yang sudah di makannya.

Bian menatap jijik pada permen itu, ia tidak bisa memakan hal-hal yang sudah bekas dari mulut. "Iuhh, jorok banget."

Iyan terkekeh, tidak tahu saja jika permen bekas dari mulut sering terjadi di pramukaan. Iyan sering melihatnya ketika ia pergi ke sungai ataupun pergi ke bukit.

"Ara pulang!" titah Bian, menatapnya dengan tajam.

Sontak Iyan tertawa melihat mimik muka Bian yang seperti sedang melawak, di sana tidak ada ekspresi amarah.

"Iyan," bisik Ara disusul cubitan pada perut Iyan.

"Oke. Lo mau pulang, kan?" tanya Iyan pada Ara.

Ara melihat jam di pergelangan tangannya kemudian mendongak pada Bian. "Gue masih pengen di sini, lagian ini baru jam sembilan malam."

"Rara! Lo tuh sekarang tunangan gue! Lo, anak tikus, jangan pernah deketin tunangan gue lagi!"

Bola mata Ara melebar, sontak ... dirinya melihat Iyan sambil menggelengkan kepala. "Gue belum setuju kok, Yan!" jelasnya dengan nada panik.

Iyan balas menatap Ara, hatinya bergemuruh serta berdenyut nyeri. Tangannya mengepal, meninggalkan bekasan kuku pada telapak tangan.

"Kenapa gak bilang dari tadi, Ra? Lo tahu, gue nyesel udah nyentuh bibir lo," lirih Iyan.

"Gak! Gue gak setuju dengan perjodohan ini, Ryan!"

Iyan tertawa hambar, lalu mengubah ekspresinya menjadi hal yang membuat Ara sakit melihatnya. Pandangan kecewa serta mata menahan air yang terus menumpuk.

"Iyan, gue---" Ara dilanda perasaan panik, ia tidak tahu harus bicara seperti apa.

"Marga lo Cakrawala, bukan?" Iyan beralih menatap Bian.

"Ya, napa lo?" Iyan tak mengacuhkan pertanyaan sewot dari Bian.

"Cakrawala dan Nabastala, persatuan yang cocok untuk kalian berdua. Cakrawala dan Nabastala. Bukan, Bentala dan Nabastala," lirih Iyan. Tapi masih bisa di dengar oleh Bian dan Ara. Iyan mendudukkan dirinya di kursi, tangannya bersedekap.

"Bentala terlalu berharap  agar Nabastala bersatu dengan Bentala. Nyatanya, itu adalah sesuatu mustahil  yang tidak akan pernah terjadi." Tanpa mendapat titah dari si pemilik tubuh, air mata sudah mengumpul di kelopak mata, hanya saya ... air itu tidak ingin turun membuat kepala Iyan pusing. Iyan memukul dadanya kencang, berharap rasa sakit ini segera hilang, tak mengindahkan kepalanya yang sakit akibat dirinya tidak bisa menangis lagi.

"Bentala tidak akan pernah bersatu dengan Nabastala, bukan? Nabastala itu susah untuk dicapai. Seperti dirimu Ara ...."

Setelah mengatakan itu, Iyan pergi dengan cairan berwarna bening mulai bermunculan dari hidungnya. Ia sangat membencinya, padahal laki-laki itu tidak menjatuhkan sedikit barang pun air mata. Meninggalkan Ara yang sedang termenung.

Bian menarik tangan Ara dan membawanya pulang, ia tidak ingin terlalu lama di sini. Apalagi suasana semakin dingin.

Bumi, tempat manusia hidup termasuk hewan dan yang lainnya. Tempat di mana kisah manusia dimulai, dan tempat di mana banyak kejadian yang tidak pernah terduga dan tidak masuk logika.

Langit. Langit adalah tempat para bulan, bintang, dan matahari berada. Tempat mereka yang menyinari dunia dari kegelapan, serta tempat turunnya hujan dan yang lainnya.

Bumi dan langit. Perpaduan yang sangat mustahil jika disatukan. Langit terlalu tinggi untuk bumi yang selalu di pijaki oleh segala makhluk. Baik makhluk halus maupun makhluk kasar.

🍍🍍🍍
Jangan lupa pencet bintang, sama emot bikini beton nangkanya. Oke?

Tertanda
Calon istrinya mas blasteran surga

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang