Sepanjang jalan, Bian menggeram kesal. Mata dan wajahnya memerah. Lelaki itu menghela napas ketika melihat gerbang rumahnya. Dengan tidak sabaran, tangannya membunyikan klakson mobil.
Tak lama kemudian, muncul pria yang cukup tua seraya berlari tergesa-gesa. "Tuan Muda," sapa satpam tersebut setelah membuka gerbang sambil menundukkan kepala.
Bian tidak menjawab. Ia memakirkan mobilnya tepat di depan sebuah pintu lalu melempar kunci yang berada di tangannya kepada satpam.
"Masukkan ke dalam garasi," titahnya.
"Baik, Tuan Muda."Wajah Bian tidak menunjukkan ekspresi sedikit pun tatkala kakinya mulai melewati pintu rumahnya. Berhenti sejenak seraya bola mata hitam kelam itu mengamati sekitarnya.
Melihat dua orang yang cukup tua di meja makan, Bian pun melangkah ke arah mereka. "Udah lama, Pih?" tanya Bian bersamaan muncul suara decitan kursi akibat tarikan tangannya.
"Ya," jawab Steven, papih Bian dengan nada tak humoris.
"Bagaimana dengan pertunangan kamu dengan Ara?" tanya April.
"Kami baik-baik saja."
"Ingat, kamu hanya perlu memindahkan harta warisan keluarga Nabastala menjadi milikmu. Walaupun itu dengan cara kotor sekali pun."
Bian menggeram pelan, lagi dan lagi Steven selalu menuntutnya untuk berbuat demikian pada keluarga tunangannya. Apalagi April tidak pernah membela atau pun membantu dirinya.
"Bian capek, Pih," keluhnya. Dia tidak bisa menyangkal rasa sukanya kepada Ara, ia bisa saja menyingkirkan hama-hama kecil seperti Iyan.
"Kamu harus sadar, di sini kamu bukan anak kandung saya!"
Bukan sekali atau dua kali April dan Steven mengatakan bahwa dirinya bukan keturunan dari keluarga Cakrawala. Setiap kali mereka mengatakan hal itu, setiap kali juga mereka tidak pernah menjawab pertanyaannya.
"Sekali ini saja, tolong jawab dengan benar. Siapa orang tua aku yang sebenarnya?!"
Di dalam bola matanya terdapat harapan dan kekhawatiran. Ia berharap bahwa darah yang mengalir dalam tubuh ini masih ada darah keturunan Cakrawala. Namun, lelaki itu tidak tahu apa yang dikhawatirkannya.
"Belum saatnya kamu mengetahui jati dirimu yang sesungguhnya." Setelah mengatakan hal tersebut, Steven pergi tanpa menghabiskan makan malamnya.
"Sebaiknya, kau jangan menanyakan itu lagi. Bukankah kau tahu bahwa papihmu tidak akan menjawab? Walau kau berusaha sekuat mungkin." April juga sama dengan Steven, pergi meninggalkan makan malamnya yang belum habis, serta meninggalkan Bian dengan segala pikiran yang berkecamuk.
Entah sudah berapa kali helaan napas yang cowok itu keluarkan. Jelaganya menatap makanan yang belum habis, namun ia juga tidak berniat untuk mengambil makanannya.
Kakinya ikut mengikuti jejak orang yang selama ini ia sebut keluarga. Hanya saja ... Bian menaiki tangga untuk menuju ke lantai atas, di mana letak kamarnya berada.
Pintu berwarna hitam dibuka dan menampilkan sebuah ruang tidur dengan ukuran tidak terlalu besar, dindingnya berwarna abu tua disertai walpaper dinding bermotif awan.
Lelaki yang masih mengenakan hoodie abu dengan berpaduan celana berwarna hitam itu menjatuhkan setengah tubuhnya ke atas kasur. Kedua tangan dijadikan bantal.
"Kapan yah, gue dapet orang yang bener-bener percaya dan menetap? Ya, walaupun gue ngelakuin kesalahan yang fatal." Kali ini ia merasa sendiri. Tidak ada yang menemaninya. Bahkan untuk menanyakan kabarnya pun tidak ada.
Suara kekehan terdengar samar di dalam ruangan itu. Perlahan, jarinya ikut menutupi telapak tangan. "Kayaknya, motong urat nadi keren, deh."
Bian mengambil sebuah pisau cutter kecil yang berada di bawah bantal. Sengaja ia menyimpannya di sana, supaya cowok itu tidak perlu berjalan lagi untuk mengambil pisaunya. Lalu mengarahkannya pada pergelangan tangan, di mana letak urat nadi.
"Arghhh, anjing!" umpatnya. Bian melemparkan pisau cutter, ia benar-benar frustrasi.
Suara ketukan pintu mengalihkan pikirannya. "Siapa?" tanya Bian.
"Bibi, Tuan Muda," sahut pelayan dengan sedikit meninggikan nada suaranya.
Dengan langkah lunglai, Bian membukakan pintu kamar. "Mau apa?"
"Ini makanan dan susu cokelatnya. Tadi bibi liat, Tuan muda belum menyentuh makanan sedikit pun."
Bian mengambil alih nampan. "Makasih, Bi."
Setelah kepergian pelayan yang mengantar makanan, Bian segera menutup pintu dan menguncinya. Ia menatap piring berisi nasi dan sayur capcay dengan tidak minat.
Cowok itu menaruh nampan di nakas, berniat membiarkannya sampai besok pagi. Namun, hal tadi tak terjadi akibat suara gemuruh yang berasal dari dalam perutnya berbunyi nyaring.
"Makan ajalah, daripada gue gak bisa tidur," gumamnya.
Awalnya Bian makan dengan pelan, lama kelamaan kunyahan itu berubah menjadi cepat karena saking enaknya masakan bi Sari. Cukup membutuhkan lima menit, piring yang tadinya berisi makanan penuh, kini sudah habis tak tersisa sebiji nasi pun.
Bian tak membiarkan satu nasi yang tertinggal di piring. Huf, ia seperti anak yang tidak makan satu hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Novela Juvenil"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...