CHAPTER EIGHTEEN

75 28 7
                                    

Selamat datang dan selamat membaca, wahai anak-anak Adam.
🍍🍍🍍

Bulan dan bintang mulai bermunculan diantara awan-awan gelap. Di luar kamar, Abhi dan Iyan masih terjaga karena mereka sedang berdiskusi untuk mencari pekerjaan tambahan. Mereka butuh uang untuk membeli obat.

Tadi sore, Iyan melihat obat Pak Adit yang tersisa empat butir, dan itu tidak cukup untuk sehari. Lagi dan lagi, Iyan harus meminta gaji di bulan ini lebih awal.

"Kita minta sumbangan aja di lampu merah," usul Iyan.

Abhi menggelengkan kepalanya. Uang dari hasil sumbangan tidak cukup, juga menghabiskan waktu satu hari untuk meminta sumbangan. Ia tidak ingin membuang waktu. Di toko roti pun ia tidak bisa meminta gaji lebih awal lagi.

"Kita tanya aja ke Haikal, siapa tahu dia ada info tentang pekerjaan. Kan dia pertemanannya luas."

"Dari tadi kek Yan kasih idenya, biar kepala gue gak botak." Iyan terkekeh. Memang rambut Abhi sedikit, oleh karena itu, bagian tengah kepalanya agak terlihat.

"Kan baru kepikiran, Bhi."

"Udah malem. Ayo masuk," ajak Abhi.

Sebelum bangkit, Iyan menyeruput kopi hitam yang tersisa sedikit. "Kita cuci kaki dulu Bhi, kotor ini."

Abhi mengangguk, mereka pun pergi ke kamar mandi umum yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Sepanjang jalan, tidak ada pencahayaan sebagai penerang. Mungkin saja, lampunya putus dan belum di ganti.

"Abhi duluan, Iyan mau abisin rokok. Lumayan, sedikit lagi," ucap Iyan sambil mengisap puntung rokok.

Tanpa kata lagi, Abhi masuk. Ia mulai mengisi ember dengan air, lalu mengambil air tersebut ketika sudah berisi setengah menggunakan gayung. Ia pun mulai membersihkan dari jari kaki hingga sela-sela jari kaki. Sejak tinggal di sini, mereka berdua terbiasa membersihkan kaki sebelum tidur. Awalnya mereka enggan untuk mencuci kaki, tapi, karena paksaan dari Pak Adit, Iyan dan Abhi pun mau.

Sekarang, giliran Iyan masuk. Iyan menggeserkan ember ke dekat pintu, ia tidak mau ribet harus menggunakan gayung. Selagi keran berfungsi, ia tetap menggunakan keran daripada ember yang harus diisi terlebih dahulu. Membuang waktu saja.

🍍🍍🍍

Mentari di ufuk timur sudah memantulkan cahayanya pada awan, sehingga membuat warna awan menjadi jingga. Di dalam kamar, terlihat tiga orang laki-laki sedang melaksanakan ibadah subuh. Satu posisi tidur di kasur, dan dua berdiri. Kali ini, Abhi ke bagian tugas sebagai imam subuh.

"Assalamualaikum warahmatullah, assalamualaikum warahmatullah."

Pak Adit tersenyum saat mereka menyalimi tanggannya setelah sholat usai di kerjakan, ia mengusap pucuk kepala Iyan dan Abhi. Hati Pak Adit menghangat melihat kelakuan dua anak ini. Ia tidak menyesal telah mengasuh mereka, malah, ia sangat berterima kasih kepada Tuhan karena telah menitipkan mereka berdua kepadanya.

"Baik-baik yah di sini, jangan sampai kalian lepas tanggung jawab sebagai hamba Allah. Jangan lupa juga, tetap memberi zakat dan bersedekah. Ya ... walaupun kita orang yang tidak punya. Kalau kalian dapat uang seratus ribu, sedekahkan minimal lima ribu." Iyan dan Abhi mengangguk, mereka selalu mendengarkan nasihat Pak Adit.

"Pak, doain kita yah, semoga hari ini dapat pekerjaan tambahan," pinta Abhi.

"Bapak selalu doain kalian. Oh iya, mau cari kerja tambahan, buat apa?"

Iyan menyenggol lengan Abhi agar tidak memberitahu tujuan mereka mencari pekerjaan tambahan. Abhi memberikan tanggapan berupa jempol di dekat kakinya.

"Uang gaji di toko roti enggak cukup untuk kebutuhan sehari-hari Pak," ujar Iyan.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang