CHAPTER TWENTY-FOUR

55 14 19
                                    

Abhi memandang hamparan langit yang sedang turun hujan, duduk di pemberhentian bus seorang diri. Dari siang tadi ia menunggu hujan reda, hingga kini rintik-rintik air dari awan tidak mau berhenti.

Abhi terkekeh saat merasa tidak ada gunanya untuk hidup, sejak kecil ia dibuang ke jalanan oleh keluarganya. Abhi bahkan tidak tahu kesalahan besar apa yang ia lakukan hingga mereka ingin sekali menyingkirkannya.

"Bodoh!" umpat Abhi.

Apa sih yang spesial dari hidupnya? Ia bahkan merasa sangat membosankan dengan hidupnya, tidak ada yang menarik. Andai saja ia tidak menjadi Abhi, andai saja ia dilahirkan sebagai kakaknya yang banyak disayang, andai saja ia tidak lahir ke dunia ini. Ia membenci orang yang memberi nama Abhipraya, ia juga membenci orang yang telah meninggalkan dirinya di tengah hiruk piruk manusia dengan segala kebingungan. Serta, ia menbenci dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa ketika ia ditinggalkan.

Abhi tersentak saat merasa ada gerakan di sebelahnya. Ia pun menoleh untuk melihat siapa yang duduk di samping dirinya. Abhi menaikkan alis sebelah saat melihat seorang gadis dengan muka memerah serta ada bercak pada rok bagian samping.

Suara tangisan dan gerutuan membuat Abhi mendengus kesal, padahal ia sedang menikmati kesendiriannya. Tapi ... itu harus terganggu karena gadis yang ada di sampingnya ini. Mana cadel lagi.

"Bisa diem gak sih?! Telinga gue lagi males dengerin tangisan manusia!" sentak Abhi.

Hanya saja, bukan tangisan itu hilang malah semakin menjadi. Mau tak mau, Abhi sedikit menepuk-nepuk pundak gadis asing itu. Hatinya memang sedikit iba, tapi pikirannya sedang malas untuk mendengarkan curahan hati perempuan tidak dikenalnya.

"Pelut gue sakit, bego!"

Sudah baik Abhi memberi ketenangan pada gadis ini, lihatlah balasannya yang sedikit menyakitkan jika Abhi masukkan ke dalam hati. "Gue kira pundak lo yang sakit," ucap Abhi dengan santai.

Ia menatap bingung saat gadis asing itu mencubit dirinya, apa yang salah dari perkataannya? Perempuan benar-benar sulit dipahami.

"Udah ngatain gue bego, nyubit lagi lo. Mau lo apa sih?" sungut Abhi sambil mendelikkan mata. Hatinya menyesal sudah memgasihani gadis asing ini.

"Kok lo ngengas sih! Pelut gue benelan sakit, anjir!" Tanpa sadar, gadis itu pun meninggikan nada suaranya.

"Terus? Apa masalahnya sama gue? Kita 'kan gak kenal, yeh!"

"Yaudah kenalan. Gue Syifa Mahera Dirgantara." Ifa mengulurkan tangannya agar pemuda di depannya ini bisa menjabat, sebagaimana mestinya berkenalan.

"Oh." Luncuran kata itu membuat Ifa menarik kembali tangannya. Sumpah, baru kali ini ia diabaikan oleh orang. Apalagi dilihat dari pakaian pemuda ini biasa saja. Apakah dia tidak tahu kalau marga Dirgantara itu sedang trending topik pertama di media sosial.

"Lo gak terkejut gitu?" tanya Ifa.

"Ternyata lo nungguin reaksi gue yang wow, gitu? Sorry, image gue lebih berharga buat ngelakuin hal itu." Lama-lama ia bisa darah tinggi menghadapi orang dihadapannya ini, mana hujan tidak ingin berhenti lagi. Mungkin Iyan sedang menunggunya, ia tidak ingin menerobos hujan karena tubuhnya sedikit sensitif terhadap air hujan.

"Dih, sok lu!" sindir Ifa.

Abhi menghela napas lelah, dirinya berusaha untuk tidak menyuarakan suara emasnya ini.

"Napa lo diem? Kalah debat lo?"

"Gue lagi gak debat sama lo. Gue diem karena lo cewek, kalau cowok dah gue tendang ke kutub timur biar tahu rasa!" Karena rasa kesal Abhi sudah berada di ubun-ubun, ia beranjak pergi dari sana.

"Nih, rok lo ada darahnya. Mungkin lo lagi kedatangan tamu, makanya ngelampiasin amarahnya ke gue." Abhi memberikan hoodie-nya sebelum ia pergi, untung saja ia memakai pakaian lagi dengan lengan baju seperempat.

Dengan modal tangan yang menutupi kepala, Abhi berlari menembus air hujan. Memang percuma ia menutupi kepalanya dengan tangan, hanya saja ... itu mungkin dapat mengurangi rasa pusing setelah melewati hujan.

Ifa menatap hoodie di tangannya, kemudian beralih menatap pemuda yang yang sedang berlari menerobos hujan. Ia sedikit menyesal karena audah bersikap judes pada pria itu. Bahkan ia tidak tahu nama dan alamat rumahnya.

"Huf, kenapa gak nanya namanya, sih!" gerutunya.

🍍🍍🍍

Tiba di kamar, Ifa langsung merebahkan tubuhnya. Cukup lama ia berada di halte, kalau saja sopir pribadinya tidak menjemput, mungkin dirinya sedang asik melamun atau bahkan ada kejadian yang tak terduga.

Ifa kembali menatap hoodie yang sudah ia lepas, tidak ada aroma harum atau pun aroma bau pada pakaian itu. Bisa jadi ... ini baru di cuci oleh pemiliknya.

Merasa dingin, Ifa pun pergi ke kamar mandi dan berganti pakaian. Tadi pakaiannya juga ikut basah karena ia lari menerobos hujan untuk sampai halte. Ia juga tidak ingin menerobos hujan kalau taksi online yang ia pesan mogok di tengah jalan.

"Non Ifa, di suruh turun untuk makan malam bersama."

Ifa mengganguk, ia baru saja selesai mandi. Dengan cepat, ia bergegas memakai pakaian. Ia tidak mau mereka menunggu lama, bisa abis kena semprot sang kepala keluarga jika ia sedikit terlambat.

"Ifa," panggil Novi, mama Ifa, saat dirinya berada di undakan terakhir.

"Ya?"

"Sini duduk dulu, kita ada pembicaraan serius mengenai kelanjutan sekolahmu nanti."

Ifa memutar bola matanya dengan malas, apakah tidak ada pembicaraan yang lebih seru gitu, selain membicarakan hal tersebut.

"Papa sudah mendaftarkan kuliah kamu di Swiss. Setelah ujian kelulusan nanti, malamnya kamu langsung berangkat tanpa menunggu ijazah. Itu urusan Papa."

"Tapi Pa, gak bisa apa istirahat sejenak? Ifa juga butuh menyiapkan otak untuk kuliah di sana."

"Tidak Ifa, kamu adalah penerus keluarga ini! Papa dan Mamamu menginginkan hal terbaik untuk majunya sebuah perusahaan."

"Iya deh, gimana kalian. Bi, bawakan makanan saya ke kamar!" Ifa beranjak pergi, percuma juga ia makan malam bersama keluarga jika membahas hal seperti ini.

"Syifa! Papa belum selesai bicara!" teriak Steven saat punggung Ifa berada di belokan.

"Syifa sudah ngerti!"

Membosankan. Satu kata untuk malam ini. Padahal ia sudah merencanakan kuliahnya di Indonesia, tapi gagal. Ifa mengambil kertas origami berwarna hijau dan lem, tanpa menulis atau meninggalkan jejak, ia tempelkan pada dinding yang berwarna merah ati berpaduan abu.

Sudah kebiasan Ifa, jika ia sedang malas untuk segala sesuatu, ia menempelkan berbagai kertas pada dindingnya. Hampir penuh, kaca lemari ikut ia tempeli.

"Pengen yang gak ada di bumi, tapi apa ya?" Sungguh random sekali, ia ingin memakan sesuatu yang lezat, tapi asing.

Ketukan pintu membuat Ifa menoleh. "Masuk," titah Ifa.

"Ini Non," ucap pelayan yang tadi Ifa suruh untuk membawa makan malamnya.

"Terima kasih."

🍍🍍🍍

Jangan lupa emot bikini beton nangkanya.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang