Hanya karena kami orang yang tidak punya, kalian sampai enggan untuk mengantar jasad kami.
🍍Dilapidated Boyfriend🍍
Di antara awan gelap, timbul rintik-rintik hujan bertaburan di atas tanah disertai kilat yang menyambar menyebabkan bau khas tanah keluar. Iyan dan Abhi mengeratkan jaketnya sembari berlari kencang. Kalau saja Abhi tidak ingat, mungkin mereka sedang berleha-leha di warung Abah. Iyan mengurangi kecepatan larinya saat tiba di depan pintu kamar. Ia mengatur napasnya agar tidak ketahuan kalau ia habis lari.
"Pak," panggil Iyan saat membuka pintu. Seperti biasa, tidak ada jawaban. Iyan tersenyum ketika ia melihat pak Adit yang sedang membenarkan selimut.
"Iyan bantu." Iyan menaikkan selimut sampai dada pak Adit. Suhu panas tubuh pak Adit kian menambah, mungkin juga efek karena belum minum obat.
"Maafin kami, Pak," lirih Abhi sambil berjalan ke arah Iyan dan pak Adit.
Pak Adit hanya tersenyum, sebagian tubuhnya sedikit kaku, ia tidak kuat untuk sekedar berbicara. "Bapak minum obat dulu, yah," ucap Abhi, kemudian membantu pak Adit untuk meminumnya.
Mereka berdua benar-benar melupakan jadwal minum obat pak Adit, Iyan juga lupa menitipkannya pada Haikal. Padahal, ia sering meminta bantuan Haikal untuk memberi obat pada pak Adit.
"Terima kasih," ucap pak Adit tanpa suara. Iyan dan Abhi mengangguk, seharusnya mereka yang berterima kasih kepada pak Adit.
"Kami juga berterima kasih karena Bapak sudah membesarkan Abhi dan Iyan, terima kasih banyak, Pak." Lagi dan lagi, pak Adit merespon mereka dengan senyuman. Kali ini, senyuman itu terasa sendu, tidak seperti biasanya.
Tidak ada lagi yang membuka percakapan, hanya ada suara hujan yang berjatuhan. Iyan terus menatap pak Adit yang sedang memejamkan mata, serta mulut yang terus bergumam tanpa suara, ia tidak tahu apa yang pak Adit gumamkan. Abhi sedang pergi keluar untuk membeli roti untuk sarapan malam ini dan esok pagi.
Tangan pak Adit mengayun, mengisyaratkan agar Iyan mendekat. Iyan menggenggam tangan pak Adit seraya mendekatkan telinganya pada bibir pak Adit agar ia bisa mendengar gumaman itu.
"Bacakan syahadat." Iyan mengangguk, hatinya berdesir nyeri saat mengetahui hal itu. Ia perlahan membacakan syahadat.
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah." Dengan suara bergetar, Iyan menuntun pak Adit untuk membaca syahadat. Kepalanya mulai pusing, ia ingin menangis tapi tidak bisa. Iyan menunduk, deru napas pak Adit sudah tidak terdengar lagi di telinganya. Ia mencengkeram dada agar hatinya tidak terlalu sakit.
Iyan segera memeluk Abhi erat yang baru saja membuka pintu, sehingga kantung plastik dalam genggaman Abhi terjatuh.
"Ada apa?" tanya Abhi sambil mengusap pucuk kepala Iyan dengan lembut.
"Bapak," lirih Iyan.
"Kenapa?"
"Iyan takut salah ngomong." Perlahan, Abhi melepaskan pelukan Iyan. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana, entah benar atau tidak, ia harus memastikannya.
Dua jari Abhi tiba di dekat hidung pak Adit, lalu berpindah tempat ke pergelangan tangan untuk mengecek denyut nadi. Di sana, tidak ada lagi yang berdetak. Abhi mulai meneteskan air mata, tidak ada lagi yang mengajaknya mengobrol dan bercanda, tidak ada lagi yang memberi mereka nasihat sehabis melaksanakan ibadah, tidak ada lagi yang memarahi mereka ketika ia dan Iyan melakukan kesalahan. Tidak ada lagi.
"Kamu cari abah Dani, Yan," titah Abhi, suaranya begitu lemah. Tidak ada nada semangat seperti biasanya
Dengan lesu, Iyan keluar dari kamar tersebut. "Arrgghh!" teriaknya sambil memukul tembok.
"Anjing lo air mata, gue pengen nangis!"
Buk!
Suara itu begitu keras, mengakibatkan penghuni kamar yang berada di kanan dan kiri memunculkan sebagian kepala di jendela. "Woi! Gue lagi tidur, ngapain lo mukulin tembok. Ngajak gelut yah, lo!" murka seorang bapak-bapak di sebelah kanan. Wajahnya sangat merah, menandakan ia sedang marah.
"Iya nih, gue juga lagi asik-asik nonton, lo malah mukulin tembok. Gak ada kerjaan lain apa?!" timpal pemuda yang cukup tua dari Iyan.
Iyan meringis, apa benar pukulan pada dindingnya begitu kuat. Tapi, tangannya memang terasa kebas juga nyeri di bagian jari-jari. Ia sedikit membungkukkan badannya pertanda ia meminta maaf, orang-orang ini sangat kejam jika ia meminta maaf dengan ucapan. Entah kenapa.
"Awas lu kalau ganggu lagi." Iyan hanya mengangguk. Ia melambaikan kedua tangannya untuk mengantar kepergian kepala yang hinggap di jendela. Setelah semua kepala masuk, Iyan melangkahkan kaki ke arah warung abah Dani, ia harus bergegas memandikan, menyalatkan, serta menguburkan pak Adit sebelum malam tiba.
"Abah!" panggil Iyan ketika ia tiba di warung beliau.
"Masuk aja!"
Mendapat jawaban dari dalam, Iyan langsung masuk. "Ada apa?" tanya abah Dani yang sedang duduk di temani secangkir kopi dan sebungkus rokok.
"Bapak meninggal."
Abah Dani langsung beranjak dari duduknya, tanpa kata lagi, ia segera pergi menuju kamar Iyan. Iyan sedikit kewalahan untuk menyesuaikan langkah abah Dani yang sangat lebar. "Kapan meninggalnya?"
"Sekitar jam tiga sore."
"Kenapa enggak dari tadi manggil Abah, Iyan!" geram abah Dani.
Iyan mengusap tekuknya, lalu bergumam, "Iyan lupa."
Tiba di sana, abah Dani dan Iyan melihat Abhi bersama ustadz Azmi sedang mengafani jenazah. "Tinggal kita sholatkan," ujar ustadz Azmi.
Iyan mengambil sarung dan peci, tidak ada orang lain yang datang untuk sekedar memberi ucapan duka atau pun ikut menyalatkan.
Ternyata gini yah kalau orang miskin, mereka gak mau datang, batin Iyan.
Ia memukul dadanya berkali-kali hanya untuk menghilangkan rasa sesak. "Mari kita bawa ke masjid."
"Abah gali kuburan, dulu."
"Iyan bantu." Abah Dani mengangguk, lalu mereka pergi ke arah hutan yang sedikit jauh dari rumah Balarenik.
Setelah semuanya selesai, tersisa hanya Abhi dan Iyan yang masih diam di atas makam pak Adit. Suara tangis Abhi terdengar kecil, air lendir yang tadinya tidak ada, kini mulai berani berjatuhan dari hidung Abhi.
"Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya," lirih Iyan sambil mengusap papan kayu yang berukiran nama pak Adit.
Andai ... saja tadi tidak melupakan jadwal minum obat pak Adit, pasti beliau masih hidup, batin Iyan dan Abhi.
Tidak saling menyalahkan, mereka berdua merasa bersalah atas kelalaiannya. Hanya saja, ia tidak tahu apa penyakit yang di derita oleh pak Adit. Perawat itu sampai sekarang tetap bungkam, tidak ingin memberi tahu jawabannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/284631097-288-k648319.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Jugendliteratur"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...