CHAPTER THIRTY-SIX

51 11 2
                                    

Suasana di ruang tamu begitu menegangkan bagi Ara, gadis berbandana hijau muda itu menunjukan raut tidak suka terhadap perbincangan orang tuanya dan orang tua Bian.

Rasanya Ara ingin pertemuan ini segera berakhir, ia merasa bosan. Apalagi ini membahas tentang pernikahannya dengan Bian. Sangat menjengkelkan.

Apa gue kabur aja, yah? Mana Ifa kagak ada lagi. Ara menggerutu dalam hati, entah kenapa Ifa hari menghilang dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Padahal, pesan yang Ara kirim tadi pagi sudah centang abu-abu. Tapi, sampai sekarang belum ada balasan apapun dari Ifa.

Ara terkejut saat handphone-nya diambil oleh Bian. Ia menatap malas pada laki-laki di depannya ini. Tangan Ara bersedekap, rasa tidak suka terus menjalar di hatinya.

"Kembaliin handphone gue!" bisik Ara. Memang, keduanya duduk agak jauh dari para orang tua.

Bian memberikan senyuman. Bukan senyum manis. Akan tetapi, senyuman ini lebih mengerikan. "Lo mau hubungin siapa?" tanyanya dengan suara kecil, nyaris berbisik.

"Ck, bukan urusan lo!"

Percakapan keduanya terhenti saat Serena mendekat. "Kami sudah memutuskannya, dua minggu lagi kalian menikah."

Ara terkesiap dengan pernyataan tak bisa terbantahkan itu. "Dua minggu, lagi? Ara gak mau nikah sama dia, Mah."

"Ara!" Walau dengan suara rendah, namun penuh dengan penekanan. Ara menatap Serena dengan pandangan rumit.

"Karena tanggal pernikahan sudah selesai dibahas, kami pamit pulang," pamit nenek Bian, Rani Manira Cakrawala.

Serena memberi anggukan serta senyuman khasnya. Memang, kali ini ada nenek Bian yang mendampingi mereka dalam berdiskusi tadi. Serena mengantar mereka sampai pintu. Tangannya dilambaikan ketika mobil itu pergi.

"Mah!"

Serena menengok ke belakang, netra hitam itu menatap Ara tajam. Yang ada di pikirannya sekarang, Ara selalu membantahnya setelah bergabung dengan anak jalanan yang tidak tahu diri itu.

Namun, tatapan tajam kini berganti dengan lembut sesaat menatap Bian yang masih anteng duduk. "Bian, kamu mau makan apa? Biar nanti Tante yang buatin."

Bian tersenyum manis. "Tidak usah, Tan. Lagian Bian gak lapar."

Ara berdecih, ia sangat membenci pemuda di hadapannya ini.

"Ara, kamu temanin dia, yah," pinta Serena.

"Gak. Ara mau pergi!" bantah Ara.

Mimik muka Serena berubah menjadi merah padam. Ara benar-benar tidak bisa diatur sekarang. "Ara, kamu sekali-sekali dengerin Mama, kek! Kenapa kamu selalu membantah? Apa karena kamu bergabung dengan anak pinggiran kumel itu!" bentak Serena

Bian tersenyum miring. Dia sangat suka situasi yang memojokkan Ara tentang Iyan dan Abhi. Sudah lama ia membenci mereka. Apalagi Ara selalu berlebihan jika menceritakan tentang mereka.

"Mah! Kenapa Mamah jadi bawa-bawa orang lain di masalah kita? Ini masalah keluarga, bukan masalah Iyan, Mah!"

"Oh ... sekarang kamu berani bentak Mamah. Harusnya, dari dulu kamu gak kenal sama mereka! Karena mereka, kamu gak pernah mendengarkan apa yang Mamah bilang."

Ara tertawa. Gadis berbandana hijau  muda itu tertawa miris. Lalu berkata dengan suara lirih, "Apa selama ini Mamah mendengarkan pendapat Ara? Apa selama ini Mamah mendengarkan apa yang Ara gak suka dengan apa yang Mamah bilang? Udah tujuh belas tahun, Mah, Ara selalu mendengarkan apa yang Mamah perintahkan. Walaupun Ara tidak suka." Ara berhenti sejenak.

"Mamah tahu, kali ini Mamah kelewatan. Mamah gak sama sekali dengerin pendapat Ara tentang pernikahan ini. Ara juga mau nikah sama orang yang Ara cintai, bukan di jodohin gini," lanjut Ara.

"A----" Ucapan Serena terhenti kala melihat mobil polisi yang berhenti di depan pintu rumahnya.

Akibat pertengkarannya dengan Ara, ia tidak sempat mendengar suara mobil polisi itu. Di dalam benaknya ia bertanya-tanya, hendak apa dan ada apa orang berseragam cokelat itu kemari.

"Permisi, apa benar di sini ada orang yang bernama Bian Cakrawala?" tanya salah satu polisi kepada Serena.Tidak tahu kenapa, mereka masuk begitu saja.

Serena memincingkan matanya ke arah Bian yang sekarang sedang mengatur rasa paniknya.

"Dia orangnya, Pak." Ara mengarahkan pandangannya pada pemuda yang sedang duduk di sofa.

"Nak Bian, harap ikut kami le kantor. Dan anda bisa jelaskan kasus ini di kantor nanti."

Ara mengernyitkan dahinya, Bian punya kasus? Kasus apa? Ara menatap Bian yang sedang di borgol tangannya dengan pandangan bingung. "Kasus apa, Pak?"

"Tabrak lari. Anda bisa mendengar penjelasannya di kantor nanti."

Ara bergeming. Kasus tabrak lari? Siapa yang Bian tabrak? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benaknya.

Tak berselang lama, gadis dengan rambut di kucir dua itu berjalan menghampiri mereka sembari bertanya, "Pasti lo mau tahu 'kan siapa yang dia tabrak?"

Ara mengangguk, di kepalanya sudah banyak sekali pertanyaan tentang Bian dan Ifa.

"Iyan. Dia tabrak Iyan, Ra."

Tubuh Ara menegang, suara di dalam dada bergemuruh hebat, napasnya memburu, serta genangan air mata yang mulai muncul.

"Bener, Fa? Lo tahu darimana?" tanya Ara, suaranya bergetar, pertanda sedang menahan air mata agar tidak jatuh.

"Abhi. Tadi gue liat Abhi di rumah sakit Bunda Kasih."

Tanpa pikir panjang, Ara berlari ke kamarnya untuk memgambil kunci mobil. Ia tidak mempedulikan tentang Bian yang sekarang menatap punggungnya nanar.

"Ara! Kamu jangan ke rumah sakit! Atau Mamah akan pulangin kamu ke Papah kamu!" ancam Serena.

Namun nihil, ancaman itu tidak berlaku bagi Ara. Kini dia berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Melewati Serena yang masih marah kepadanya.

🍍🍍🍍

Ara menutup pintu mobil dengan kasar, gadis itu melangkahkan kakinya ke tempat administrasi. Sialnya, ia tidak bertanya kepada Ifa di ruangan berapa Iyan berada.

"Permisi, apa ada  pasien atas nama Bentala Ryan?" tanya Ara.

"Sebentar, yah, Mbak. Kami mencari nama tersebut dulu."

Ara mengetuk meja dengan perasaan gelisah. "Sudah ketemu, Mbak?" tanya Ara tak sabaran.

"Pasien atas nama Bentala Ryan ada di ruangan 17."

"Terima kasih."

Ara berlari, ia seolah tidak merasakan lelah karena terus berlari. Meskipun napasnya sudah tidak beraturan, ia terus berlari, hingga melihat punggung tak asing baginya.

"Abhi, bagaimana keadaan Iyan?"

"Lagi diperiksa sama dokter."

Ara menjatuhkan dirinya pada kursi di samping Abhi. Tubuhnya mendadak lemas, padahal tadi ia masih kuat berlari. "Gimana bisa Iyan ke tabrak, Bhi?"

Abhi menghela napas kasar. "Tadi, Iyan lagi mau nyeberang jalan. Padahal udah lampu merah, tiba-tiba mobil datang nabrak tubuhnya. Ini juga salah gue, seharusnya gue gak ninggalin Iyan gitu aja. Seharusnya gue temenin Iyan ngabisin tuh makanan. Gue gak becus jadi kakak, Ra."

Ara terdiam, ia tidak tahu harus berlaku bagaimana. "Intinya, ini bukan salah lo, Bhi. Ini takdir yang harus Iyan jalanin."

Tidak ada yang tahu, bukan? Kenapa kita hari ini bersedih, bahagia, ataupun yang lainnya? Intinya, ini adalah takdir yang diberikan Tuhan kepada kita.

Sampai jumpa.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang