Orang yang tidak punya itu selalu di pandang dengan rendah oleh orang-orang. Bahkan orang kaya selalu bertindak semaunya kepada kami.
~Abhipraya~
Bukankah kami juga berhak menolak perintah dari kalian, wahai orang yang suka bertindak semena-mena.
~Bentala Ryan~
🍍🍍🍍
Abhi menatap Iyan dengan malas, waktu sudah hampir siang tapi Iaki-laki itu masih tidak mau bergerak dari tempat tidurnya. Bukan apa-apa, mereka ada panggilan dari bos perabot."Iyan, bangun! Lo mau dipecat karena telat?!"
"Bentar, Bhi." Iyan mengerjapkan matanya karena cahaya matahari masuk ke sela-sela jendela.
"Gak ada waktu buat mandi, lo cuci muka aja," ujar Abhi.
Laki-laki itu bangun dari tempat tidurnya setelah Abhi meninggalkan dirinya. Dengan mata yang masih layu, ia berjalan lesu ke kamar mandi untuk mencuci muka.
"Bilas, multicair." Iyan bernyanyi menirukan iklan Fair and lovely di televisi tetangga yang sering ia tonton secara sembunyi. Sebenarnya, ia tidak begitu hafal. Hanya saja ... lirik itu terngiang-ngiang di otaknya.
"Iyan! Udah belum!" teriak Abhi yang membuat Iyan cepat-cepat membilas wajahnya secara brutal.
"Yuk, Bhi," ajak Iyan.
"Lama banget, konser lo di dalem?!"
Abhi mengetuk dahi Iyan dengan sedikit bertenaga, membuat laki-laki itu mengusap dahinya.
"Biasa aja, Bhi. Sakit banget ini," rengek Iyan.
Abhi mengedikkan bahu, ia tidak mau mendengarkan rengekan manja dari Iyan. Sungguh menggelikan. "Sudah dewasa, jangan bersikap seperti anak-anak yang meminta permen pada ayahnya."
Iyan mencebikkan bibirnya, kesal akan perkataan Abhi ia pergi dengan kaki sengaja dientakkan. Pemuda di belakangnya menggelengkan kepala melihat tinggah ajaib Iyan. Menyadari cukup tertinggal jauh oleh Iyan, ia pun berjalan santai.
Tiba di tempat mereka bekerja, Abhi dan Iyan dikagetkan oleh bantingan buku catatan di hadapannya. Iyan menyatukan alisnya.
"Ada apa, Bos?" tanya Iyan seraya mengambil buku.
"Kenapa barang yang kalian jual sisanya banyak yang hilang?!" bentak Jefri.
"Hilang? Perasaan kami tidak mengambil dan memberikan data yang benar," ujar Abhi. Dirinya benar-benar bingung, kenapa bisa hal seperti ini terjadi.
"Hanya perasaan, kan?! Kami bisa mengalami kerugian besar! Saya tidak bisa mempertahankan kalian di sini!"
Iyan menghembuskan napas berat, kalau tahu begini tadi ia tidak akan pergi dan lebih baik tidur. "Gak usah marah-marah kalo ujungnya kami dipecat."
Tanpa sepatah kata, mereka berdua keluar dari ruangan tersebut. Wajah Abhi merah, ia merasa ada yang janggal atas pemecatan mereka. Bukankah selama ini data yang ia catat tidak pernah mengalami kesalahan?
Getaran kecil di saku Abhi mengalihkan pikirannya, ia merogoh kantung baju untuk mengambil handphone yang bermerk Nokia yang sudah ketinggalan jaman. Laki-laki berkulit sawo matang itu membaca pesan dari atasannya di toko roti.
"Kita harus segera ke toko roti."
Iyan mengangguk lesu, ia menghentikan angkot. Jarak dari sini cukup jauh jika mereka berjalan kaki, lagian ongkos angkot lebih murah. Angkot hari ini lumayan lenggang dari biasanya.
Iyan menatap pemandangan dari jendela mobil, pemuda itu sedang merenungi nasib ke depannya. Uang mereka bahkan tidak cukup untuk makan selama satu minggu. Anehnya mereka tidak diberi uang pasongan oleh Jefri selaku bosnya.
"Turun, Yan." Abhi mendahului Iyan setelah membayar sebesar sepuluh ribu, ia tahu apa yang Iyan pikirkan. Abhi pun sama, memikirkan nasib mereka yang entah bagaimana ke depannya.
Mereka memasuki ruangan manager. "Siang, Pak," sapa Abhi dan Iyan.
"Saya tidak ingin berbasa-basi lagi. Akhir-akhir ini, perusahaan toko roti mengalami penurunan. Jadi ... kalian saya pecat. Ini gaji kalian selama sebulan."
Iyan menandai hari ini sebagai hari tersialnya, bagaimana tidak? Ia dan Abhi diberhentikan oleh kedua tempat kerja. "Terima kasih sudah menerima kami di sini," ucap Abhi, lalu pergi.
Iyan tersenyum paksa saat pekerja lain menyapanya. Ia sedang tidak mood untuk sekedar tersenyum. Abhi menepuk bahu Iyan.
"Gak apa-apa, Yan. Mungkin ini adalah ujian, kita harus semangat agar bisa hidup ke depannya. Abhi akan usahakan hal tersebut, apapun rintangannya. Semangat!" ucap Abhi ketika sudah berada di luar toko roti.
Iyan tersenyum simpul, Abhi adalah saudara terbaik. Abhi selalu mengerti Iyan saat ia terpuruk, Abhi selalu peka jika ia sedang lapar. Bahkan Abhi selalu mengutamakan Iyan. Tidak peduli saat dirinya kesakitan atau apa, Abhi selalu ada jika ia meminta bantuan.
"Makasih Abhi, kita usahakan bareng-bareng. Jangan sampai Abhi berjuang sendiri untuk hidup kita, harus sama Iyan!"
Abhi mengangguk, ia mengacak-acak rambut tipis Iyan. "Baik Tuan Raja Bumi," balas Abhi dengan nada mengejek.
"Sorry, gue bukan Raja Bumi. Gue Bentala Ryan, Abhipraya!" kesal Iyan. Abhi selalu mengejek arti namanya.
"Abisnya, nama lo gak sesuai dengan hidupnya." Abhi tertawa seraya berjalan.
"Dih, gini-gini temen gue banyak, yah. Kalau gue ke mana-mana, pasti ada aja yang manggil gue." Iyan berkata sambil menyisir rambut dengan jari tangannya.
"Iya yang banyak temennya, gue mah kalah."
"Makanya, jangan baca buku aja. Otak lo bisa gosong karena banyak kebanyakan materi."
Kali ini Abhi menggeplak kepala bagian belakang Iyan dengan keras membuat Iyan hampir terjungkal jika kerahnya tidak Abhi tarik.
"Anjir, sesak napas gue, Abhi. Kebiasaan banget sih, lo!" gerutu Iyan.
"Kalo gak gue pegang tuh baju lo, muka yang katanya gantengnya naudzubillah itu bisa ancur karena aspal. Mau lo?!" sindir Abhi.
Iyan mengatup bibirnya, jika ia debat dengan Abhi akan selalu kalah. "Dasar tua!"
"Daripada lo, bocil!"
Sepanjang jalan menuju rumah, mereka terus saling meledek, bercanda, dan bercerita tentang hal yang random yang membuat mereka tertawa seperti tidak memiliki beban, padahal mereka baru saja dipecat di tempat kerja.
Sepanjang jalan pula, orang-orang melihat mereka ikut menarik sudut bibirnya. Menyaksikan dua remaja itu tertawa tanpa henti. Seolah-olah dunia ini hanya milik berdua.
🍍🍍🍍
Jangan lupa emot bikini beton nangkanya.Salam hangat dari
Calon istrinya mas blasteran surga
KAMU SEDANG MEMBACA
Because He's Bentala
Teen Fiction"Ini makanan buat kamu, tapi kamu jangan bilang ke orang itu yah." "Nama kamu siapa?" "Ara, kalo gitu aku pergi dulu." "Tante, saya itu bukan orang miskin." "Mana buktinya?" "Buktinya atap rumah saya seharga lebih dari 1 triliun." "Kamu maling yah?"...