Chapter 1. ARC 1: Sebagian dari takdir

4.5K 461 386
                                    

Bijaklah dalam memilih bacaan. Pastikan umur kamu cukup untuk membaca bacaan beradegan kekerasan atau adegan dewasa lainnya. Tidak semua yang tertulis di cerita ini patut ditiru. Cerita ini fiksi dan 100% murni pemikiranku.

❗TETAPLAH JADI PEMBACA TANPA MEMPLAGIAT KARYA❗

Selamat membaca dan selamat memulai tahun baru, semua :)

~ • ~ 💜 ~ • ~

Dari awal kelas tujuh SMP, Metra, Maula, Aluna, dan Chiya bersahabat. Sudah begitu lama. Sekarang, mereka sudah dewasa, sudah kuliah dan akan memulai semester enam. Mama bahkan sudah menganggap gadis selain Aluna adalah anaknya.

Mereka memiliki minat yang beragam pun kampus yang mereka pilih berbeda pulau dan kota. Namun, ikatan mereka tidak kendur; tetap kentara; tetap saling menyokong meski jarak memisahkan raga.

"Metra? Dari kapan pulangnya?" tanya mama, sembari beliau meletakkan tempe di meja, duduk di samping kiri gadis yang ditanya.

"Dua hari lalu. Di sini Cuma seminggu, Ma, aku mau urus LHS sama KRS soalnya," sahut Metra, masih fokus pada sarapannya.

Metra adalah gadis tertua di antara sahabat Aluna dan yang paling kaya. Metra sangat bijak, sifatnya indah dan tenang seperti teratai. Metra juga punya aura pemimpin yang kuat meski sering gelagapan karena kepunyaan. Mata almond kehijauan, otak tajam, dan lidah pedas membuatnya selalu unggul dalam perdebatan.

"Hmm." Mama mengangguk, lalu beralih lah tatapan beliau pada Chiya. "Chi?"

Chiya melotot. Gadis itu buru-buru mengunyah makanannya dan minum. "Nilai Chi turun, Ma!" sahut Chiya merengek, menghentakkan kakinya. "Chi sakit! Hampir tiga minggu Chi gak masuk. Nilai Chi minus A semua!"

Terkikik, mama menggeleng pelan. Selalu blak-blakan. Ternyata gaya bicara Chiya tidak berubah. Tiga gadis lain hanya menyimak seraya mengunyah makanan. Mereka tidak heran jika Chiya mendapatkan nilai sempurna, padahal gadis itu sudah absen sebulan bulan penuh. Chiya lah yang paling pintar di antara keempatnya. Sayang, sifat childish gadis itu kentara.

Chiya tidak bisa bersikap dewasa. Chiya pengidap sindrom Peter Pan; ia kekanakan karena trauma diculik waktu belia. Meski begitu, Chiya ibarat bunga matahari yang selalu ceria. Apa pun yang Chiya lakukan selalu mengundang tiga sahabatnya untuk tertawa.

Menyadari tatapan mama beralih padanya, Maula berkata, "Jangan tanya Maula, Ma. Lagi kesal."

"Kenapa?" Aluna penasaran, apa yang membuat Maula yang ia sendiri juluki mawar circle karena ayu dan menyandang sabuk biru pencak silat ini bisa begitu kesal?

"Si Abi gak sengaja robek KRS, alhasil minta tanda tangan tiga kali!" ujar Maula, tiba-tiba mengebrak meja kaca, sukses membuat yang lain terkejut karena suara yang timbul.

Sedetik setelah kejadian itu, Maula meminta maaf diiringi kikih. Ekspresi kaget dari ketiga orang disekitarnya, terlebih Chiya, membuat Maula tergelitik. Kekacauan terjadi begitu saja, Chiya tidak terima kerupuknya terbang dan sialnya Aluna, ia malah menggoda Maula. Dalam benak Aluna, tumben Maula dekat dengan lawan jenis.

~ * ~

Jalanan utama menuju kota ramai, tetapi tidak sedikitpun macet. Suasana yang sangat ideal. Alunan musik yang diputar selama perjalanan juga sangat menenangkan. Mereka berempat sangat menikmati dua jam perjalanannya. Diselingi obrolan random Chiya yang selalu mengundang tawa.

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang