Chapter 21. ARC 3 : Pangkas sebelum bertunas.

413 88 80
                                    

Ceritanya mulai berat dan perlu aku ingatkan, jika kita akan kehilangan :)

Happy reading dari GadisWaktu untuk para pembaca🥰
Terima kasih juga, buat pembaca yang vote dan komen cerita ini Tanpa diminta. Seneng banget sama keberadaan kalian😭💜

~ • ~ 💜 ~ • ~

"Tidak, tidak! Jangan katakan apa pun!" Mendengkus sejenak setelah mengacungkan jari telunjuk pada Deline, Leria memijat pelipisnya. "Ucapan adalah doa."

Deline bungkam, ia menunduk memainkan jemarinya. Deline merasakan, gundah ini sama persis dengan gundah yang dirasakannya sebelum bereinkarnasi.

"Kau ..., kau pasti melihat tanda-tandanya, kenapa tidak bilang?" tanya Leria pada Lycia di sebelah Viane yang diam seribu bahasa.

Embusan napas Lycia terdengar pelan, ia menatap Leria nanar dan berkata, "Aku tahu kak Halia suka kak Reyfan, begitu juga sebaliknya, tapi mereka tidak berbuat aneh, kecuali berpegangan tangan dan sekali berciuman karena kecelakaan. Aku pun tak menyangka dengan apa yang kulihat!"

Leria melengos, meraup wajahnya frustrasi. Satu hal yang Deline tahu, kekecewaan Leria lebih besar daripada Lycia, ia, dan Viane. Leria sangat dekat dengan Halia. Kakak perempuan mereka itu selalu bersifat dan bersikap sempurna, teladan bagi mereka, tetapi cinta telah membutakannya.

"Gimana sekarang?" Tak pernah sekalipun Deline berpikir akan terjerat masalah ini lagi. Hubungan yang telah diikat dikhianati, mahkota perempuan lepas karena kecelakaan. Rasanya sesak hingga tangannya gemetar. Ya Esa, Deline tidak tahan.

"Orang tua saja tidak tahu jawabannya apa, Deline. Kakak melakukan hal yang akan menghancurkan dirinya sendiri." Suara Leria terdengar bergetar. Gadis itu menunduk, meremat seragam formalnya. "Harusnya kau beritahu aku, Lycia. Meski tak sengaja, semua kejadian tak terduga bisa jadi biang."

Ya, apa yang Leria ucapkan adalah kebenaran. Lycia pun menyesal. "Ya Esa, masalah terus datang. Bagaimana kita bisa mencari tahu pembunuh ibu, jika kak Halia berada di tepi jurang?!" Lycia menunduk dalam, Ivy miliknya memancarkan keputusasaan.

"Sudah kubilang, tidak perlu. Sebagai kandidat Kylarzo kita diincar musuh---berkali-kali. Andai para Lord tidak ada, tamatlah riwayatnya kita. Jadi, tolong jangan menggigit cacing di kail."

Keheningan begitu cepat menelan begitu
Leria selesai dengan kata-katanya. Hanya detik jam di kamar Lycia yang menemani mereka. Mereka tidak dilatih, itu benar, tak ada kata perang dalam hidup mereka enam tahun terakhir, tetapi saat memasuki akademi, semuanya berubah.

Keempatnya tentu tahu seberapa besar Kylarzo dan Morstan mengawasi, tetapi kini tidak. Di bawah naungan Purefic, mereka harus belajar bertahan untuk diri sendiri dan yang disayangi. Kodrat pemimpin selalu mengalir di nadi, mereka terus terdorong melindungi yang lemah, seperti kejadian Nata, dulu, dan kini.

Di fase Aze, Deline dan Viane mulai bisa merasakan aura khas dari seseorang, bukan lagi aura makhluk Immortal lain. Keduanya menoleh ke arah jendela, lalu sama-sama melongok. Dua orang yang mereka bicarakan tadi berada di bawah sana, membuat tangan Viane di pembatas jendela mengepal.

"Vi! Viane!" Pandangan Deline kabur karena kesal dan ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika adiknya melompat.

Panik pun melanda Lycia dan Leria, keduanya beranjak, tergopoh-gopoh menuju Deline, menatap Viane yang dengan bakat alami kaum Elf hutan menumbuhkan daun tanaman menjalar di sekitar kastil menjadi raksasa, menangkap Viane, lalu kembali mengecil saat Viane mendarat ke tanah.

Menakjubkan, orang-orang yang melihatnya akan berpikir demikian, tanpa menyadari amarah membeludak pada sang pengendali. Embusan napas terdengar dari Lycia dan Leria, sementara Deline masih ternganga, Deline tidak menyangka Viane juga cerdas mengendalikan bakat miliknya dibandingkan Leria.

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang