Chapter 31

187 23 31
                                    

Ini part panjang bener!

Siapkan camilan, cari tempat ternyaman, bacalah perlahan, dan maaf jika ada salah dalam penulisan, hanya Allah lah satu-satunya kesempurnaan.

Apresiasi karya yang apalah ini, beri vote dan komentar.

~ • ~ 💜 ~ • ~

"Semua tahu, Anda mampu," ujar wanita lanjut usia, berpakaian serba cokelat muda, rambut yang hampir sepenuhnya putih pun digelung rapi.

Mata bermanik kuning keemasan yang dihalangi kacamata tersenyum seperti bibir. "Tapi tidakkah Anda merasa bosan? Panggil lah teman dari Purefic, satu saja, agar Anda menikmati kompetisi ini "

Ketika ucapannya selesai, tidak ada jawaban. Anak laki-laki di hadapannya terus membaca buku, tetapi ia tahu jika ucapannya tadi didengarkan. Selang semenit, anak laki-laki itu telah menatapnya, membuat senyuman makin kentara.

"Bisa rekomendasikan? Selain Vinson dan jangan Varrel."

"Baiknya, Anda sendiri yang memikirkan. Saya tidak tahu tipe rekan Anda."

Anak laki-laki itu berdeham. Keheningan itu datang lagi, meski sekelebat mata. "Setelah semua yang terjadi, jika itu Viviane Morstan, apa akan diterima?"

"Entahlah, Pangeran." Wanita lansia tersebut menggeleng pelan. "Mari kirim surat, jika ia mau, ia akan kemari. Jika tidak, kita cari yang baru. Kompetisi selanjutnya masih tiga hari lagi."

Diamnya anak laki-laki itu berarti setuju. Mata khas sang raja iblis kembali menilik buku. Wanita lansia di hadapannya bertindak sebelum berbicara.

Entah siapa opsi kedua itu, tetapi sekali ia berpikir, pasti terdengar jelas. Kaum iblis satu ini memang bisa membaca pikiran.

Namun, lebih daripada itu, anak laki-laki itu entah mengapa begitu berharap pada opsi pertama, pada Viviane Morstan yang kini berlari di koridor menuju ruang guru.

Jujur saja, Viane tidak pernah dipanggil ke ruang guru selama hampir empat bulan di Purefic. Pertama kali dipanggil ya sekarang ini dan Viane malah khawatir setengah mati.

Apa Viane melakukan kesalahan? Atau apalah yang membuat nilainya terancam! Namun, semua pikirannya sirna begitu menghadap doktor Greyy yang membaca selembar kertas hitam sembari tersenyum.

"Jika diajak ke olimpiade Areta, apakah kau bersedia?"

Keluarnya Viane dari ruangan sang doktor Gross dengan terbirit-birit, bukan berarti Viane menolaknya. Viane malah terlampau senang.

Viane berniat berbicara pada kakaknya, tetapi bukan pula pada Lycia dan Leria yang berjalan beriringan di depan sana, sebab Viane melewatinya. Viane ingin berbicara pada Halia!

Wanita yang Viane maksud sedang duduk di ruang tengah asrama barunya di gedung master, membaca buku ditemani susu strawberry yang belum disentuh.

Manik biru pelan-pelan bergerak pada minuman tersebut, tampak menggugah, tetapi begitu saja mual menggerayangi perutnya, hingga akan keluar rasanya.

Di detik yang sama saat Viane masuk, Halia langsung beranjak, membekap mulut dan memegangi perut, berlari menuju wastafel di dapur.

Emir, tunangan Halia yang bersedia menjadi master demi memenuhi syarat yang diberikan Era juga melihat saat itu karena baru keluar dari kamar dan langsung menyusul diikuti Viane di belakangnya.

"Haa ...." Halia mendengkus, menyentuh kening. Rasanya lumayan tenang setelah punggungnya dielus begitu selesai memuntahkan sarapan yang satu jam lalu ia makan.

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang