Chapter 37

110 7 6
                                    

Banyak yang bilang, Fighter Wanita itu berbeda daripada yang lain, tapi nggak gini juga bedanya, ya, Halia, ya😭

Malah seneng gituloh😭

Btw, vote, komen, dan bagikan biar aku makin semangat up-nya.

Oiya, nanti setelah tamat S1, aku cuma kasih kalian waktu 3 hari buat baca, setelahnya bakal revisi keseluruhan dan up tiap hari. Bakal banyak yang berubah, salah satunya ....

Reagal yang kalian tahu kakak sepupu Korvin, bakal jadi kakak kandung Korvin.

Aku bilang sekarang, biar selanjutnya aku gak revisi lagi, haha, di part selanjutnya mereka kakak-beradik kandung soalnya.

Setelah mikir lebih lanjut, emang lebih realistis mereka jadi sekandung.

Komen kalau ada typo⚠️

~ • ~ 💜 ~ • ~

Meskipun Deline cukup bingung dengan tingkah Halia di depan sana, itu sedang ditangani oleh Emir, jadi Deline tidak berani ikut campur. Deline hanya mendengkus. Ingin bersandar di kepala kursi, mendadak manik matanya menangkap kilau yang menyakitkan.

Deline mengadah, tangannya refleks terangkat melindungi mata. Sembari mengernyit menatap kaca di atasnya yang mungkin digunakan untuk menjadi penerang alami saat siang hari, ia bergumam, "Panas." padahal hari belum menunjukkan jam tujuh pagi.

"Jangan melarangku menemuinya."

Deline menoleh. Halia di sana, menatap gusar pada Emir sambil mengambil tempat duduk tepat di sampingnya. Di sebelah Halia, Emir sedang mengembuskan napas. "Tidak melarang. Hanya saja ... bersabarlah," kata lelaki tersebut, lantas ikut duduk.

Dari kata-katanya, Deline langsung tahu jika itu mengenai ayahnya yang tadi melintas. Maka Deline menoleh dengan senyum mengembang dan berucap, "Ayah ke Viane, nanti ayah ke sini."

Terlihat Halia tersentak, sebelum akhirnya tertegun dan pelan-pelan tersenyum kikuk. Dari mimik wajahnya, Deline bisa menebak kakaknya tersebut berkata dalam hati, benar, meskipun aku ingin bertemu ayah, tapi Viane lebih penting, ini pengalaman pertamanya.

Sebenarnya, kapan ini akan dimulai? Ini sudah lebih jam tujuh. Mata Deline menyipit, kesal. Apa lagi merasakan punggungnya panas terpapar sinar matahari. Emir berpamitan keluar membeli camilan beralasan lapar tadi, tapi tujuan utama lelaki itu pergi karena menyadari tatapan Halia pada anak kecil yang memegang gulali.

Deline mendadak merasa geli. Pria yang peka, katanya berseru dalam hati sembari mencondongkan tubuh, meraup seluruh bulir popcorn terakhir di pelukan Lycia. Deline tidak tahu jika Leria ternyata amat menyukainya, sampai menoleh padanya dengan bengis lalu berkata, "Bagi!"

Deline menggeleng angkuh. "Tak mau!"

Leria akan melontarkan ucapan, tapi Deline langsung melahap semuanya, gadis kecil berambut merah sepunggung itu langsung mendelik. Pupus sudah. Leria mendengkus, sebelum akhirnya membenahi duduk, membuat senyum Deline mengembang dengan cepat.

Sia-sia rasanya Deline mengunyah popcorn dengan pelan, Deline hampir tersedak begitu melihat wanita paruh baya elegan nan mencolok, entah dengan make-up atau dengan banyak perhiasan permata Ruby di tubuhnya. Namun, yang menariknya adalah hal kedua---permata.

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang