Chapter 34. ARC 4: Zuarat

139 11 5
                                    

Aku kembali!

Jujur semangat banget, soalnya mau end dan bakal lanjut nulis di S2 yang pertarungannya bakal epic banget karena dibantu adikku yang maniak fantasi, sampe dia punya karakter sendiri😂

Kalian bisa coba tebak siapa karakter si bocah ini😂

Jangan lupa vote, komen, dan sebarkan.

Di S1 ini cuma perkenalan, perkembangan, dan konflik dikit-dikit, tapi nanti bakal ada puncaknya. Kalau kalian ingat arti Zuarat, pasti tau klo di ARC ini bakal gimana ke depannya😉

Ambroise amat besar, terus berkembang, satu season gak cukup buat aku deskripsikan 10%-nya saja.

Jangan bosen nungguin, ya. Aku tu kalau ada yang vote seneng banget😭💜

~ • ~ 💜 ~ • ~

Beranikan diri membuka pintu, Halia menemukan Archer dan Jaerion, duduk bersebelahan di kasur, baru bangun. Senyum lembut terpatri. Manis sekali dua pemuda tiga belas tahun itu.

"Bangun." Halia berucap lembut. Begitu keduanya mengangguk, Halia akan menutup pintu, tetapi ... di mana Emir?

Halia menyelisik ke segala arah mencari lelaki tersebut, sampai napasnya tercekat pun ia mendelik begitu pintu kamar mandi dalam terbuka. Cepat-cepat Halia menutup pintu, duduk, bersandar pada pintu tersebut, dan mengembuskan napas jengah.

Sementara Archer dan Jaerion kaget tak kepalang lantaran suara pintu yang ditutup begitu keras, Emir yang menyugar rambut hitamnya dengan handuk bingung. Mengernyit, lantas disusullah wanita itu.

Begitu pintu dibuka, Halia yang bersandar langsung terjengkang, menjerit tertahan. Andaikan tidak ada Emir di belakangnya, sudah terbentur kepala belakang Halia ke lantai. Halia sungguh terkejut, berbanding balik dengan Emir yang mendengkus.

"Kau ini kenapa?" Emir mendadak emosi pada wanita yang bersandar di kakinya pun menatap matanya.

"Kenakan pakaianmu, bodoh!" hardik Halia, sudah melupakan rasa malu melihat Emir telanjang dada.

Emir berdecih. "Seperti tidak pernah lihat saja," cibirnya sembari mengulurkan tangan, membantu Halia berdiri.

Halia ikut berdecih, berdiri tegak di hadapan Emir dan ditatapnya nyalang mata hijau kelam lelaki tersebut. "Memang."

"Kau Fighter wanita, satu-satunya di angkatan kita---"

Halia mengembuskan napas pelan. "Kau pikir aku melihat mereka?" tanyanya dengan kerutan kening yang kentara.

Emir berdeham. Menaikkan sebelah alisnya, sedikit ragu dengan pernyataan Halia, tetapi jika itu benar, luar biasa kesabaran Halia. "Kakakmu?"

"Kakakku?" Halia santai pun menyeringai. "Kau bandingkan laki-laki lain dengan kakakku?"

"Bagaimana dengan ... Reyfan?"

Halia mengembuskan napas, menunduk, mengulum bibirnya sejenak. "Bedakan keinginan dan sihir---" Halia mendelik begitu saja. Refleks ia berpegangan pada lengan kokoh Emir, memejamkan mata lantaran Emir menarik dirinya ke dalam pelukan, sampai dirasa punggungnya bertemu sesuatu yang lembut.

Dua kali. Sebelum jam enam pagi, Halia mendelik, merasakan sentuhan pada paha bagian dalam. Terus bergulir ke bawah, menyelinap dari gaun tidurnya. Dua kali. Halia merasakan sensasi itu lagi. Seluruh tubuhnya menegang, napasnya tidak beraturan, pipinya dijatuhi air dingin yang membuatnya jengah dan kelimpungan.

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang