Chapter 22

415 65 56
                                    

Apresiasi kisah ini dengan menekan bintang 🌟. Jangan lupa siapkan camilan karena part ini lumayan panjang, hampir 3200 kata.

Happy reading pembaca setia dan selamat beraktivitas setelahnya🥰

~ • ~ 💜 ~ • ~

"Alia ...?"

Mata Elves ras bulan itu tampak redup, tangannya ditepis oleh Elven ras hutan di hadapannya. Ya Esa, ia tertekan melihat air yang mengalir dari mata birunya. Air mata yang dulu ia hapus, kini mengalir karenanya.

"Alia, maaf, jangan menjauh, kumohon ..., kau mencintaiku, 'kan?"

"Harusnya pertanyaan itu untukmu," sahut Halia, si Elven ras hutan. Ada senyum pedih di bibirnya, lalu ia melanjutkan dengan lembut, "Kau mencintaiku, 'kan?"

"Tentu, aku---"

"Kau merusak masa depanku." Halia memotong, air matanya terus luruh. Bibirnya yang bergetar sekuat tenaga kembali melanjutkan, "Kau obsesi, Rey, yang mencintai akan melindungi, bukan menggerogoti."

"Alia, maafkan aku." Reyfan memejamkan mata sejenak, tangannya terkepal kuat, meredam emosi pada diri sendiri. "Aku akan bertanggung jawab."

Halia mendengkus, ikut mengeratkan kepalan tangannya, pada gaun tidur merah muda yang dikenakan. "Dengan cara apa? Dengan cara apa kau akan bertanggung jawab, Rey? Kita berbeda ras."

Lorong perpustakaan utama akademi yang sepi karena telah larut jadi mencekam. Reyfan mendengar Halia terisak sesaat, membuat hatinya makin perih. Reyfan telah mengutuk ribuan kali pada dirinya karena hal itu. Pun bertanya, kenapa bisa? Tubuhnya seolah dikendalikan.

"Akan kulakukan apa pun, Alia," ujar Reyfan, terdengar pelan, serak, dan juga berat. "Tapi tolong, jangan berbuat hal aneh jika---"

Tatapan mata Halia makin gelap, tubuhnya mendadak lemas karena udara terasa hilang di dunia ini, tetapi dengan itu Halia tertawa pelan, memotong ucapan Reyfan.

Semuanya tahu, sangat kecil kemungkinan hubungan berbeda ras, kaum, apa lagi bangsa yang terikat benang jiwa atau zina mendapatkan keturunan, tetapi Reyfan ....

"Brengsek. Kau memintaku kemari untuk mendoakanku hamil!?"

"Alia!" Reyfan menggertak, murka pada ucapan wanita di hadapannya.

Halia menggeleng, ia pun murka lantas berteleportasi, meninggal Reyfan dalam keheningan yang menyiksa sebelum sempat melengkapi kata-katanya.

Reyfan benci salah paham, tetapi kali ini ia tak bisa berbuat apa pun. Ucapan kebenaran telah seperti tombak dari api hitam yang abadi.

Dalam perpustakaan yang sama, hanya saja tak terbuka atau bisa dibilang ruangan rahasia, siapa sangka ada tiga lelaki berpakaian khas bangsawan sedang duduk di kursi melingkar, berdiskusi, dan jika dilihat dengan saksama, mata mereka yang berbeda warna memancarkan cahaya.

"Target kita ada dua. Asap hitam dan siapa yang terjaga."

Mendengar ucapan si bermanik silver, si bermanik emas berdeham, tanda membenarkan. "Beberapa kali kulihat asap hitam itu seolah mengawasi."

"Jika begitu, cari tahu juga siapa yang asap hitam awasi dan untuk apa," imbuh si bermanik lavender yang dari tadi bersandar dan bersedekap, ia mendapatkan anggukan dari kedua rekannya.

"Aku merasa ... itu salah satu dari kita." Si bermanik silver mengembuskan napas pelan, raut wajahnya tak terlihat, tetapi suara dan gerak-geriknya memancarkan ia sedang gelisah. "Atau keempat nona?"

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang