Chapter 33

142 8 1
                                    

Kalian nggak karatan nunggu aku up, kan? Di chapter ini panjang banget, hampir 6000 kata wkwk.

Siapkan tempat ternyaman kalian. Btw, ini part terakhir di Arc. Up selanjutnya udah beda. Kita sudah pangkas kesalahpahaman sebelum jadi kebencian. Apa tuh? Tunggu aja.

Jangan lupa tinggalkan jejak, biar aku tau kalian baca, biar makin semangat juga nulisnya :)

~ • ~ 💜 ~ • ~

Setelah ucapan, ingatan adalah belati paling tajam dan Halia lemah ditikamnya semalaman. Untuk keluar dari selimut Halia tidak bisa, hampa pun dari semalam membelenggu. Kehangatan dari selimut ini yang menguatkan Halia. Lalu, seperti apa kuatnya Halia jika Reyfan ada di sini? Memeluknya seperti selimut ini.

Kenapa juga para dokter tidak berkata, jika diam di posisi yang sama selama berjam-jam mampu membuat kontraksi? Rasanya nyeri. Halia mengembuskan napas, beranjak, duduk bersandar di kepala ranjang.

Selimut yang tadi menutupi hampir seluruh tubuh, luruh begitu saja ke paha. Gaun tidurnya sedikit transparan, udara segar dengan cepat menyelinap, menyapa tiap inci kulit putihnya.

Tato berbentuk pentagram sihir Reyfan juga terlihat di perut bagian bawah Halia. Warna tato itu pun persis seperti warna mata Reyfan. Halia tersenyum, tidak tahan untuk tidak menyentuhnya.

"Lyorna ..., Reylyorna."

Begitu Halia berbisik, sebelum menilik langit-langit menahan air mata agar tak kembali jatuh. Terkikik sejenak, Reyfan tidak hanya meninggalkan nama, tetapi juga meninggalkan pemilik namanya.

Halia takut. Benar-benar takut. Mampukah Halia? Halia membutuhkannya. "Setidaknya kau harus hadir di mimpiku agar aku kuat," gumam Halia. Sumbang, lantas memejamkan mata.

Jatuh sudah air mata itu dari kelopaknya. Andaikan tidak ada suara gemericik dan Halia langsung membuka mata, Halia pasti benar-benar terlelap dengan air mata yang tidak berkesudahan.

Secarik kertas yang muncul tersebut diraihnya. Hanya terdapat tulisan Aldrick yang bertanya, "Sudah menangisinya? Jika iya, turun. Waktunya sarapan, jangan tidur."

Halia tersenyum. Padahal di jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan, Halia yakin Aldrick sendiri masih memeluk mesra Rooseansa di kamar sebelah.

Suara mereka terdengar samar-samar semalam. Pantas lah Aldrick tidak menempatkan anak-anak di kamar ini. Padahal, kamar ini adalah posisi paling aman sebab posisinya di tengah-tengah.

Berbicara tentang keamanan, Halia tahu jika maksud Aldrick bukan sekadar agar anak-anak tidak mendengar aktivitas menyenangkannya bersama Rooseansa, tetapi memang Halia sedang dilindungi.

Kedelapan anak-anak di sebelah kiri kamar ini sudah bisa menjaga diri sendiri. Hanya dua orang yang belum memasuki Aze, yakni Lycia dan Leria. Keduanya pasti segera menyusul.

Datang lagi secarik kertas, kali ini bukan dari Aldrick, melainkan dari Reagal yang berkata jika ia akan tiba beberapa jam lagi bersama Lilith, Jaerion, dan Sona. Mereka memutuskan berlatih di kawasan hotel yang telah dipesan.

Disusul surat dari Francis, masih berisi kata-kata yang sama, akan menyusul. Kini, hanya surat dari Archer dan Kana yang belum datang. Pasti keduanya masih sibuk berputar di hutan mencari tanaman obat.

Selesai menggerai rambutnya yang semalam dikepang dan turun dari kasur, Halia meregangkan tubuh. "Mari lihat, apa sarapan kali ini cocok denganmu," celetuknya. Kembali mengelus perut yang masih benar-benar rata dan melangkah ke kamar mandi.

Book I : Ambroise Immortality {Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang