***
"Ini kekasihku dan ini kakakku," kata Lisa memperkenalkan dua pria yang ada di rumahnya pagi ini. Lisa tahu keduanya sudah saling kenal, G Dragon Big Bang dan aktor Lee Minho, semua orang mengenal mereka. "Kenapa oppa datang?" tanya Lisa, setelah kekasih dan kakaknya saling menyapa dengan sangat canggung, kemudian Jiyong pergi ke kamar mandi.
"Kenapa? Aku tidak boleh pulang?" tanya Minho begitu Jiyong menghilang di balik pintu kamar tidur Lisa. "Apa yang kau pikirkan sampai berani membawa kekasihmu pulang? Bagaimana kalau ada reporter yang melihatnya? Dia G Dragon. Apapun yang dia lakukan akan jadi tranding-"
"Kau sudah punya rumah sendiri kenapa ke sini?" potong Lisa, sebelum nada bicara kakaknya jadi semakin tinggi dan Jiyong bisa mendengar semuanya. "Urus saja urusanmu sendiri, jangan ikut campur urusanku. Dan sayang? Sejak kapan oppa menyayangiku? Sejak oppa melihat sepatu pria di depan pintu? Kau bahkan tidak datang saat ayah dan ibuku meninggal," cibir Lisa, membuat pria di depannya harus menghela nafasnya. Helaan nafasnya terdengar keras dan terganggu. "Oppa membuatku mengurus pemakaman ayah dan ibuku sendirian, itu yang kau sebut menyayangiku? Pergi. Aku tidak ingin melihatmu."
"Itu sudah bertahun-tahun lalu, kenapa kau masih marah karena itu? Aku sudah minta maaf. Aku bahkan tidak mengambil sedikit pun bagian-"
"Ayah dan ibu juga sudah sangat lama bercerai. Tapi oppa tetap marah sampai mereka meninggal, apa aku salah? Karena itu, pergi dari sini, aku tidak mau bertengkar denganmu sekarang. Cepat sebelum Jiyong oppa selesai mandi," usir Lisa, mendorong kakak laki-lakinya, satu-satunya keluarganya, untuk pergi meninggalkan rumah itu. Sebuah unit apartemen peninggalan ayahnya yang tiga tahun lalu meninggal dunia. Ayahnya meninggal tepat satu tahun setelah ibunya meninggal.
Saat Jiyong keluar dari kamar setelah mandi dan mengganti pakaiannya, Lee Minho sudah pergi. Kekasihnya berdiri sendirian di dapur, menatap pada tiap tetes kopi yang sedang dibuat di mesinnya. Gadis itu tersenyum begitu melihat Jiyong melangkah mendekat.
"Oppamu?" tanya Jiyong, melangkah mendekati kekasihnya, memeluk kekasihnya setelah yakin tidak ada orang lain di sana, selain mereka.
"Sudah pulang," tenang Lisa, masih sembari tersenyum. "Dia minta maaf karena tidak bisa menyapamu lebih lama. Dia hanya mampir untuk mengantarkan itu sebelum pergi ke tempat syutingnya," jelas Lisa, menunjuk sebuah amplop berwarna emas yang tergeletak di atas meja.
"Apa itu? Undangan?"
"Hm... Tapi bukan undangan pernikahannya. Tiket pertunjukan, Black Sawn. Mau menontonnya?"
"Kau mengajakku menontonnya?"
"Tidak," geleng Lisa. "Tontonlah bersama temanmu. Aku tidak bisa menontonnya. Tidak ada waktu. Sayang sekali. Ada lima tiket, kau bisa mengajak teman-temanmu, oppa."
"Akan aku pikirkan-"
"Jangan, langsung tanya teman-temanmu, mereka luang atau tidak malam ini. Pertunjukannya malam ini," potong Lisa.
Pagi masih panjang, mereka menikmati kopi pagi dengan roti yang dipanggang di mesin untuk sarapan. Ada selai kacang dan strawberry buatan sendiri sebagai teman roti panggangnya. Sembari sarapan, Jiyong menghubungi teman-temannya. Ia ajak Daesung, ia ajak Sandara, ia ajak Minzy, juga ia ajak Yongbae dan istrinya, Seungri dan kekasihnya juga ia ajak, membuat Lisa bertanya— bagaimana kalau tiketnya kurang?
"Tidak akan," tenang Jiyong. "Beberapa dari mereka pasti menolak. Seungri sudah menolak. Katanya dia sibuk malam ini."
"Seunghyun oppa?"
"Aku tidak mengajaknya. Dia bilang dia tidak ingin keluar malam ini. Minzy juga menolak, Yongbae juga menolak. Hanya Daesung dan Sandara yang mau ikut."
"Masih ada dua tiket, lalu bagaimana? Tidak apa-apa, pergi saja bertiga?"
"Akan ku suruh Dara noona dan Daesung mengajak teman mereka. Tapi siapa yang membuat selai strawberry-nya? Kau yang membuatnya?"
"Hm... Aku yang membuatnya saat musim strawberry bulan lalu, di galeri dengan anak-anak dari Panti Asuhan. Rasanya aneh ya? Aku sedikit menghanguskannya. Aku yakin, aku sudah mengaduknya dengan benar tapi sebagiannya tetap hangus. Mungkin itu karena pancinya?"
"Orang yang tidak berbakat biasanya memang menyalahkan alatnya," angguk Jiyong, tetap melahap semua roti yang sudah terlanjur mereka panggang.
"Wahh... Oppa bisa bicara begitu padaku? Aku kecewa," protes Lisa, berpura-pura marah dengan mengerucutkan bibirnya, menekuk bibirnya seolah ia benar-benar sedih karena ucapan Jiyong.
Jiyong tertawa mendengarnya. "Rasakan selaimu," kata pria itu, meledek Lisa sembari mengoleskan sendok selainya ke bibir Lisa. Kali ini ia benar-benar membuat Lisa kesal. Pasalnya gadis itu sudah memoles lipstik di bibirnya dan lipstik itu akan berantakan kalau nanti ia menyeka bibirnya dengan tisu. Bagaimana caranya membersihkan selai yang mengotori mulutnya tanpa tisu dan tanpa merusak lipstiknya, Lisa benar-benar kesal meski Jiyong tetap tertawa dan sama sekali tidak peduli dengan gerutu kesal kekasihnya.
"Mau aku bersihkan bibirmu sayang? Dengan bibirku?" ledek Jiyong, berteriak dari meja makan sementara Lisa pergi lagi ke kamarnya, menata ulang riasannya.
"Berisik! Habiskan saja rotinya!" balas Lisa, di tengah-tengah keluhannya.
Akhirnya mereka berangkat. Di pintu depan, mereka duduk di atas sebuah rak kayu yang merangkap jadi bangku panjang, memakai sepatu masing-masing. Jiyong sudah lebih dulu selesai karena ia hanya menginjak bagian belakang sepatu ketsnya. Sedang Lisa masih mengikat tali sepatunya, memastikan tali itu tidak akan lepas ketika ia melangkah.
"Dulu kakiku jelek sekali," komentar Lisa, memperhatikan sebelah kakinya yang sudah terbalut sepatu ketsnya. "Sangat jelek sampai aku tidak berani menunjukkannya. Aku selalu memakai sepatu kets, kaus kaki, apapun yang bisa menutupi kakiku."
"Kenapa?"
"Latihan balet membuatnya begitu. Jariku patah, kukuku lepas, kakiku memar, terkilir, bentuk tulangnya juga berubah."
"Bukan. Kenapa ditutupi? Itu bukti kalau kau sudah bekerja keras. Kalau kita bertemu lebih awal, aku pasti menyukainya. Aku suka pekerja keras."
"Kurasa kau tidak akan menyukainya," balas Lisa, lebih dulu berdiri lalu mengulurkan tangannya. Ia pegang tangan Jiyong untuk menggandengnya, menarik pria itu lalu berjalan bersamanya keluar rumah.
Ia tinggal di sebuah unit apartemen mewah, meski sudah tua. Dahulu, sebelum orangtuanya bercerai mereka berempat tinggal di sana. Pada masa kejayaan orangtuanya, gedung itu adalah gedung apartemen pertama yang dibangun. Hunian untuk banyak konglomerat— pada masanya. Sebuah gedung apartemen sepuluh lantai dengan bangunan bergaya Eropa klasik. Jendela-jendelanya di buat menjorok ke depan dengan sedikit ceruk untuk duduk. Balkon berukuran sedang yang dibatasi besi-besi melengkung dan kursi minum teh kecil. Tidak ada basement, tidak ada tempat parkir di dalam gedung. Semua mobil, semua kendaraan di parkir di depan gedung.
Melangkah ke tempat parkir yang paling sulit bagi Jiyong. Ia selalu gugup setiap kali melangkah di sana. Takut seseorang mengenalinya. Takut reporter mendapatkan fotonya di sana. Sembari menunduk dalam-dalam, menutup wajahnya dengan topi dan masker, pria itu melangkah ke mobil kekasihnya. Tidak pernah sekalipun Jiyong datang ke rumah Lisa dengan mobilnya sendiri. Alasannya selalu sama, ia takut seseorang mengenali mobilnya. Ia takut ketahuan. Mereka menyembunyikan hubungan itu, hampir dari semua orang.
Karena itu mobilnya, Lisa yang menyetir pagi ini. Dengan santai gadis itu keluarkan mobilnya dari tempat parkir dan mulai melaju di jalanan. Sementara Lisa mengemudi, Jiyong mengambil foto gadis itu. Ia minta Lisa tersenyum, berpose untuknya namun Lisa menolaknya sembari terkekeh. "Aku sedang menyetir, jangan mengangguku," pinta Lisa di tengah tawanya. Malu karena pria di sebelahnya terlihat begitu menyukainya. Ragu karena ia tidak yakin dirinya berhak mendapatkan semua perasaan itu, semua cinta itu, semua kebahagiaan itu. Bagaimana kalau ternyata ia tidak berhak merasakan semua kebahagiaan itu lalu kembali terbangun di neraka?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...