4

682 103 3
                                    

***

"Apa ada yang salah denganmu? Apa ada baut yang lepas dan merusak fungsi tubuhmu? Kenapa kau selalu lelah? Your life is uninspired and small, all you do is sprawl on the couch without stretch limbs like a sloth in slow motion. Where is your devotion to succeed Lisa? Apa dia ada di balik jendela bersama asap rokokmu?" katanya, di depan semua orang. Di tengah keramaian.

"Apa aku harus terus memaksamu untuk disiplin sampai kau menyerah? I cook and I clean and I don't stop, till the soles of my feet bleed, but I'm fine! I'm perfect, be perfect Lisa, be perfect, be perfect like me. Berhenti memakai ripped jeans jelek itu, dan lipstik seperti pelacur dengan double D implants. You only get one chance, stop acting like a cat with nine lives left. Stop committing yourself to songs and stories and spoken slam bullshit, di dunia yang hanya peduli pada gelar dan jabatan!" gadis itu tidak mau berhenti.

"Berhenti mengigit kukumu! Kenapa kau mengigiti kukumu? Untuk menggoda pria? Atau kau menyukai rasanya? Apa kukumu manis? Kau tidak boleh makan makanan manis Lisa, kau akan merusak gigimu seperti kau merusak hidupmu. My teeth are perfect! Clean and pristine, they gleam like the golden hello above my perfectly condition. Aku tidak butuh gula, Lisa. Aku lebih baik dari gula," tidak seorang pun bisa menghentikannya. Selain suaranya yang memenuhi ruangan, hanya ada kesunyian di sana.

"Kenapa kau ada di bawah sana? Padahal kau harusnya ada di atas sini! Ada di atas dengan karir yang menjanjikan! Kau tidak akan bisa ke atas sini, Lisa! Kau bersikap seolah mendengarkanku adalah kejahatan. Kau tidak mendengarkan 666 kali peringatanku! i told you, stop chewing your nails! Berhenti mengigiti kukumu seperti gelandangan. Kau tidak boleh jadi gelandangan! You have to be perfect, be perfect Lisa, be perfect like me!" tangannya bergerak di udara, menunjuk seseorang di depannya, menepuk dadanya sendiri untuk menunjukkan seberapa kuat ia.

"Aku bangun pukul lima setiap hari. Aku memulai hariku dengan cara yang sama setiap hari sampai aku khawatir akan mati dan tulangku membusuk karena membersihkan sampahmu! Kenapa kamarmu sangat berantakan Lisa? Bajumu harusnya ada di lemari! Bukan dipajang di ranjang seperti kurangnya moralmu! Bukan juga di lantai, menumpuk lebih banyak debu daripada harapanku yang layu. Kau tidak menghormati aturanku, with stubborn concept in a substandard attempt at teenage rebellion. But you can't be a rebel Lisa, you're not interesting enough." Ia buat semua yang mendengarkan tertusuk oleh kata-kata dari mulutnya.

"Kau harus patuh, katakan iya dan oke, kau harus melakukannya sambil tersenyum, yang sebenarnya tidak terlalu cantik. Kau harus berusaha lebih keras, kenapa kau tidak tahu caranya tersenyum? Kau mengecewakanku, Lisa! You disappointed, Lisa," ia tidak berhenti bicara meski suaranya kini bergetar, dengan bulir air mata yang sudah menumpuk, menunggu diizinkan untuk meluncur turun."

"Kau tidak pernah menghargai apa yang aku lakukan untukmu. You never tried to be a winner and you never eat your dinner! Kau tidak pernah memakan makanan yang rutin aku siapkan untukmu. Aku rutin menyiapkan makanan untukmu seperti aku rutin menginginkanmu tentang hidup yang sudah aku siapkan untukmu. Makanan itu tidak membayar dirinya sendiri, stop telling me how you feel. Kau harus makan. Kau harus makan, Lisa. Kau harus makan dan minum susumu. Kau butuh kalsium untuk jadi tinggi! Jadi tinggi, be tall, be tall and be perfect, like me!" Tatapan marah menusuk wajahnya, namun ia tidak berhenti. Matanya memanas dan air mata tidak lagi bisa di tahan, namun ia tetap tidak mau berhenti.

"Stop daydreaming, Lisa. Berhenti berbaring dan menatap langit-langit, seolah masa depanmu diplester di sana. You need to organize your life, your life is a disaster, just like your room, just like your teeth, seperti masa depanmu kalau kau tidak segera menaruh pensilmu. Kau harus berhenti menulis, Lisa. Hidupmu bukan buku. Jangan menatapku seperti itu, Lisa. I'm just trying to help you. I'm just trying to love you. I'm just trying to love you, you have to let me love you, so... you can be perfect, be perfect like me."

Lisa menghela nafasnya. Helaan yang menggambarkan dengan jelas bagaimana lelahnya ia. Sementara orang-orang di sana mulai bertepuk tangan. Senyum kemudian muncul di wajah Lisa, ia tatap satu persatu orang yang ada di depannya, tersenyum dengan begitu cantik seperti biasanya.

"Setiap kata yang kalian dengar tadi menyebalkan, bukan?" Lisa kembali bicara, setelah ia hapus sedikit air matanya yang jatuh. "Kalau seseorang berteriak dan mengatakan semua itu padaku, aku pasti sudah memukulnya. Tapi karena semua kata-kata tadi disusun jadi sebuah puisi, aku menyukainya. Aku tidak marah. Aku justru merasakan hal yang sama. Ah... Aku juga pernah ada di posisi seperti itu," kata gadis itu, dengan microphone yang ada di depannya. Ia bicara pada lima puluh remaja yang duduk di depannya, di dalam auditorium dalam galerinya.

"Puisi tadi dibuat oleh Maia Mayor, tentu saja namanya yang ia sebut Maia, bukan Lisa. Lisa itu namaku," katanya lagi, dan remaja-remaja di depannya tertawa. "Kalian sudah kelas sebelas sekarang. Kalian bukan lagi anak TK, atau anak sekolah dasar. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa kalian disuruh duduk di sini dan mendengarkanku. Padahal kalian tidak ingin jadi seniman. Karena itu aku bingung saat guru kalian datang dan melakukan reservasi di sini. Apa yang harus aku katakan pada kalian? Apa yang bisa aku lakukan untuk kalian? Lalu setelah berfikir semalaman, aku memutuskan untuk membacakan puisi tadi untuk menyambut kalian. Bisa kalian menebak apa yang sedang aku lakukan sekarang? Coba pikirkan apa yang sedang aku lakukan sembari menikmati lukisan-lukisan yang kami pajang di sini. Begitu kalian menemukan jawabannya, kalian bisa menulisnya di papan komentar, di sebelah cafe, lalu menikmati latte hangat di sana. Hari ini latte-nya gratis."

Begitu waktunya untuk bicara habis, Lisa melangkah meninggalkan auditorium. Buru-buru ia masuk ke ruang kerjanya lalu melepaskan sepatu hak tingginya. Berdiri terlalu lama di atas panggung, dengan sepatu hak tinggi berwarna merah yang senada dengan pakaiannya membuat dirinya hampir menangis. Rasa sakit menjalar dari jari-jari kakinya, sampai ke kepalanya. Saking sakitnya, gadis itu sampai tidak bisa berdiri lagi. Ia duduk di sofa sembari mengatur nafasnya, menahan sakit.

"Whoa! Lisa! Aku hampir menangis tadi," tegur seorang pria, yang melangkah masuk tanpa mengetuk pintunya. Lisa menoleh, melihat Jiyong yang siang ini mengunjunginya tanpa meneleponnya lebih dulu.

"Aku menangis sungguhan," balas Lisa, setelah menoleh, sedang Jiyong sedang membungkuk. Pria itu mengambil sepatu Lisa di lantai, menyimpan kembali sepatu itu di rak kaca bersama beberapa sepatu hak tinggi lainnya yang di pajang. "Oppa, kakiku sakit sekali," rengeknya, sengaja menaikan kakinya ke atas meja.

"Coba aku lihat," tenang Jiyong. Lepas memastikan sepatu merah Lisa kembali terpajang cantik di rak, pria itu mendekati kekasihnya. Ia duduk di meja kayu di depan Lisa kemudian memijat jemari kekasihnya yang kaku. Masih saja sakit meski sudah bertahun-tahun tidak di pakai menari balet. "Augh... Kasihan, harusnya kau memakai sepatu kets saja," katanya, masih memijat.

"Tapi kenapa oppa datang? Kau datang sendirian? Ini bukan waktunya aku meeting denganmu, kan?"

"Apa aku perlu alasan untuk mengunjungi kekasihku?"

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang