7

592 90 7
                                    

***

Di Milan, ketika matahari berwarna oranye sebelum malam datang. Ia baru saja keluar dari gedung dengan dinding batu tempatnya biasa berlatih. Helaan nafasnya terdengar amat berat, seolah ingin memberitahu semua orang kalau ia sudah sangat lelah. Kakinya yang berat, melangkah masuk ke sebuah toko roti. Ia beli segelas kopi dan sepotong roti di sana, lantas duduk menikmati sedikit makanannya.

Ini masih terlalu awal untuk makan malam, namun sudah sangat terlambat untuk makan siang. Ia tidak ingat kapan terakhir kali perutnya diisi makanan, namun rasa perih yang terasa di sana sudah jadi alarm baginya, kalau ia harus menelan sesuatu sekarang.

Sembari memaksa mulutnya mengunyah roti yang ia pesan, ia perhatikan seisi toko itu. Tidak ada banyak kursi di sana. Hanya ada tiga pasang tempat duduk dan satu pasangnya ia pakai sendirian. Di depannya, ada sepasang wanita dan pria, duduk bersama setelah memilih roti mereka. Si pria memilih roti dengan isi selada dan daging, sedang lawan bicaranya memilih kue dengan banyak krim dan cokelat.

"Kekasihku juga suka kue cokelat," gumamnya, memperhatikan pasangan manis yang tertawa renyah di depannya. "Wah... Aku jadi merindukannya lagi. Apa yang dia lakukan sekarang?" susulnya penasaran. Tangannya bergerak lincah, meraih handphonenya untuk melihat sebuah foto yang selalu ada di sana. Fotonya bersama seorang gadis berambut hitam. Ia menatap ke cermin— mirror selfie— sementara gadis berambut hitam itu sedang memasang sepatu baletnya, duduk di lantai sembari tersenyum.

Awalnya ia tersenyum saat melihat foto itu, namun perlahan senyumnya pudar. Tidak pernah ia duga sebelumnya, kalau kutukan Giselle akan mendatanginya bagai perang dingin yang tidak kunjung berakhir. Tanpa menghabiskan rotinya, pria itu meninggalkan toko. Ia kembali ke bangunan dengan dinding batu klasik tadi, kembali masuk ke dalam dan kembali melakukan rutinitasnya— menari sampai lelah dan jatuh terlelap dalam kesepian.

Begitu yakin kalau tubuhnya akan langsung terlelap begitu tiba di rumah, ia akhirnya memutuskan untuk pulang. Tiba di flatnya, ia mendapatkan sepucuk surat. Suratnya ada di sela pintunya, terselip di sela pintu itu agar tidak terbang dan pergi. Bukan tukang pos yang mengantarkan surat itu. Seseorang yang tahu tempat tinggalnya lah yang meninggalkan suratnya. Sembari melangkah masuk ke dalam flatnya yang berdebu, ia buka surat tadi, untuk tahu siapa yang mengirimnya.

Ciao, Kai.

Aku meninggalkan Milan sekarang. Aku meninggalkanmu sekarang. Kau bilang aku sakit, kau bilang aku gila, karena itu aku pergi. Kau membuatku sakit, kau membuatku gila, karena itu aku pergi.

Kai, apa kau tahu? Kau juga sakit. Kau juga gila. Tapi jangan sembuh terlalu cepat. Tidak adil bagiku kalau kau sembuh lebih dulu, bukan begitu? Jangan terburu-buru pergi dari neraka, kau belum pantas untuk itu. Kau harus tinggal di neraka lebih lama lagi.

Aku membencimu, sangat.
Gadis naif yang pernah sangat mencintaimu.

Membaca surat yang mirip kutukan itu, Kai meremas kertasnya. Ia lempar kertas itu ke lantai, menginjaknya lantas meninggalkannya sendirian di sana. Tidak pernah ia pahami, kenapa gadis itu terus menganggunya. Terus berusaha menyiksanya meski sebenarnya ia sudah sangat tersiksa karena gadis lain. Kai tahu dirinya pernah melukai gadis naif itu, namun kini ia pun terluka, tidak bisakah gadis naif itu berhenti? Kai benar-benar tidak bisa memahaminya.

Surat dari si gadis naif tadi membuat Kai tidak bisa lagi memejamkan matanya. Tidur dan beristirahat setelah hari yang panjang kini hanya jadi rencana yang tidak bisa direalisasikan. Jangankan tidur, bahkan mengedipkan matanya saja terasa berat. Duduk di sofa dengan tubuh lelah, ia menatap layar TV-nya yang sudah lama rusak. Layarnya pecah dan ia yakin bukan pencuri yang melakukannya. Pasti ia dan emosinya yang melakukan itu.

Entah berapa lama dirinya melamun menatap bayangannya sendiri di layar pecah TV-nya. Namun begitu matahari terbit, ia kembali bangkit. Matahari yang menyusup masuk lewat celah tirai membuatnya berdiri, menutup rapat tirai itu kemudian kembali duduk. Kali ini ia duduk di lantai, bersandar pada dinding yang menopang jendela flatnya. Ia kelelahan dan merasa akan mati karenanya.

Handphonenya berdering di pagi buta itu. Satu panggilan ia lewatkan. Panggilan kedua pun ia lewatkan. Ia abaikan panggilan itu sampai sebuah pesan masuk ke handphonenya. "Jawab panggilanku, ini penting," tulis seseorang dalam pesan itu. Tidak lama setelah Kai membaca pesannya, sebuah panggilan kemudian masuk, dari Ravi, seorang temannya.

"Dimana kau sekarang?" tanya Ravi, begitu panggilannya dijawab. "Jennie kembali ke Seoul. Kau juga kembali? Kenapa tidak mengatakan apapun padaku? Aku bisa menjemputmu kalau kau-"

"Aku sudah lama putus dengan Jennie."

"Bercerai juga?"

"Hah?"

"Kalian berpura-pura menikah untuk dapat beasiswa ke Italia! Kalian mendaftarkan pernikahan itu, aku ikut menandatanganinya, lupa?! Aku saja ingat!"

"Wah... Aku lupa. Tapi kenapa kau menelepon? Hanya untuk menanyakan itu?"

"Tidak. Dimana kau sekarang?"

"Milan."

"Kau tidak ingin kembali?"

"Aku tidak bisa kembali. Ada seseorang yang harus aku tunggu di sini."

"Kau punya kekasih baru di sana?"

"Hm..."

"Tapi kenapa kau menunggunya di sana? Dia tidak ada di sana?"

"Dia sedang berpergian. Apa yang baru kau dengar dari Jennie? Kenapa kau banyak bertanya?"

"Aku tidak bertemu dengannya. Aku hanya tahu kalau dia akan mengadakan pertunjukan di sini. Aku tidak sengaja melihat posternya saat lewat Gedung Kebudayaan. Tega sekali dia mengadakan pertunjukan di sini tapi tidak mengabariku sama sekali? Bahkan, walaupun kalian putus, apa aku bukan temannya lagi?"

"Telepon saja dia, jangan mengeluh padaku. Aku sibuk sekarang, hanya ini hal penting yang ingin kau bicarakan?"

Ravi lama terdiam. Seolah tahu apa yang akan Kai katakan, pria itu sudah mempersiapkan dirinya lebih dulu. "Kau tidak ingin kembali, iya kan? Meskipun aku sakit?"

"Kenapa kau memberitahuku kalau kau sakit? Beritahu kekasihmu."

"Kalau ini bukan masalah besar, aku tidak akan memberitahumu. Aku sakit, kanker. Bisa sembuh, tidak akan mati besok. Tapi aku tidak berani memberitahu orangtuaku. Kau tidak akan datang ke sini untukku, hanya karena aku kanker, karena itu... Tolong aku... Bagaimana caranya memberitahu ibuku? Aku tidak pernah bersiap untuk sakit separah ini."

"Aku akan pulang."

"Untukku? Tidak perlu, cukup beri aku kata-kata untuk ku katakan pada ibuku."

"Tidak. Bukan untukmu."

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang