40

541 91 1
                                    

***

"Jangan ditahan, adikku tidak akan pulang," suara ranjang yang berderak mengiringi nafas terengah dan kata-kata yang Minho keluarkan dari mulutnya. Pintu kamar pria itu tidak tertutup rapat, karenanya suaranya sampai keluar ketika Lisa dan Jiyong datang. Beberapa lembar pakaian tergeletak di lantai, di ruang tengah.

Lisa dan kekasihnya jadi sedikit canggung. Mereka sempat menimbang-nimbang untuk tetap di sana atau pergi ke tempat lain, namun akhirnya sembari mengendap-endap keduanya bergegas pergi ke kamar Lisa. Pintu kamar gadis itu di tutup rapat, membuat suara derak ranjang dan erangan lembut Lee Minho tidak lagi terdengar.

"Oppa sibuk?" tanya Lisa kemudian. "Apa oppa akan kembali ke agensi sekarang?" susulnya, berbisik karena takut Minho mendengar mereka. Minho yang seharusnya malu dan jadi canggung, namun Lisa juga Jiyong yang justru mewakilinya merasa begitu.

"Sebenarnya sibuk, tapi aku bisa tetap di sini dan bekerja dari sini," tenang Jiyong, mengeluarkan laptop dari ranselnya kemudian meletakkannya di atas meja rias kekasihnya. "Kau beristirahat lah, aku akan menemanimu di sini," tenang Jiyong, menunjuk kamar mandi dengan dagunya, menyuruh Lisa untuk membersihkan dirinya sebelum naik ke ranjang.

Alih-alih pergi membersihkan dirinya, gadis itu justru menghampiri kekasihnya. Ia berdiri di sebelah kekasihnya kemudian memeluk pria sibuk itu. Jiyong baru saja menyalakan laptopnya ketika Lisa memeluknya. Di atas meja, di sebelah laptopnya, handphone pria itu bergetar, keduanya dapat melihat nama yang muncul di sana— Kwon Nara.

"Kenapa? Kau takut?" tanya Jiyong, membalik handphonenya agar suara getarnya berhenti.

Perlahan Lisa menggelengkan kepalanya, masih memeluk Jiyong sampai pria itu balas merangkul bahunya dengan sebelah tangannya. "Aku lelah," pelan Lisa. "Semua yang terjadi membuatku sangat lelah. Aku ingin melarikan diri," katanya, sengaja memejamkan matanya untuk memperjelas pendengarannya. Ia dengarkan degup jantung kekasihnya, mencoba menyamakan tempo miliknya dengan milik kekasihnya.

"Setelah pameran, pergilah," lembut Jiyong, berusaha menahan diri untuk tidak melempar handphonenya yang terus bergetar di atas meja rias.

Hati pria itu luar biasa sesak sekarang. Ia ingin beberapa hari penuh masalah ini segera berakhir. Ia ingin membalas pukulan Kai pada kekasihnya. Ia ingin tahu darimana semua masalah ini berawal kemudian mengakhirinya. Seandainya ada mesin waktu di depannya, seandainya ia diizinkan untuk melakukan apapun yang diinginkannya.

"Pergilah berlibur setelah pameran nanti," tenang Jiyong. "Aku akan memperbaiki segalanya, kau bisa melarikan diri setelah pameran. Atau kalau kau tidak tahan dan ingin pergi sekarang, aku akan mengusahakannya. Kemana kau mau pergi?" tanyanya dan Lisa yang mendengarnya justru terkekeh.

Ia lepaskan pelukan Jiyong, kemudian melepaskan blazer-nya. "Tidak menyenangkan kalau aku pergi sendirian," katanya, sembari melangkah pergi ke lemari pakaiannya. "Aku terlalu lelah untuk mandi, aku hanya akan ganti baju lalu tidur," susulnya.

"Lalu dengan siapa kau akan pergi? Aku tidak bisa pergi sampai semua urusannya selesai dan pasti butuh waktu, setidaknya beberapa bulan lagi."

"Kalau begitu, aku akan melarikan diri beberapa bulan lagi. Kalau oppa sudah senggang. Ayo pergi ke New York, ke Inggris atau Thailand. Hawaii juga menarik. Tapi kalau oppa tidak bisa pergi jauh, kita bisa ke Jeju. Setiap kali menonton 1N2D aku juga melihat banyak tempat bagus di sekitar sini, kita juga bisa ke sana, kemanapun."

"Terakhir kali kau bilang begitu, kita akhirnya tidak pergi kemana-mana," komentar Jiyong. "Tapi baiklah, kali ini kita harus benar-benar pergi berlibur. Kita bisa merencanakannya dengan serius liburan kali ini," susulnya.

Malam itu Lisa terlelap setelah bosan melihat punggung kekasihnya. Sedang Jiyong, ia terus terjaga, duduk di meja rias sembari mengganggu managernya. Jiyong melaporkan Kai pada pihak berwajib, memastikan pria itu akan di tangkap, di hukum meski hukumannya tidak akan lebih berat dari beberapa juta denda. Sekalipun Kai tidak akan di penjara, Jiyong tetap mengusahakannya, memastikan Kai akan dilarang untuk mendekati kekasihnya lagi.

Sembari bekerja, pria itu beberapa kali keluar dan masuk dari kamar. Ia pergi ke dapur untuk sekedar mengambil minum juga camilan. Hari ini ia bekerja dengan sangat keras sampai di pukul lima dini hari pria itu keluar untuk merokok di balkon namun justru berpapasan dengan Lee Minho yang baru saja masuk ke dalam rumahnya.

"Oh?!" kaget Minho saat melihat Jiyong keluar dari kamar Lisa.

"Selamat pagi," sopan Jiyong, sama sekali tidak terkejut sebab pria itu mendengar saat Minho dan gadisnya keluar dari rumah beberapa menit lalu. Mungkin Minho hanya mengantar gadisnya ke tempat parkir, kemudian kembali ke rumah. "Anda baru pulang kerja?" susul Jiyong, berpura-pura tidak mengetahui apapun demi menjaga hubungan sopan di antara mereka.

"Hm... Ya, baru pulang setelah syuting," bohong canggung Minho. "Kau menginap di sini?" susulnya, setelah ia yakin kalau dirinya mendapatkan kembali rasa percaya dirinya.

"Ya, semalam ada kejadian yang kurang menyenangkan jadi aku menginap di sini."

"Memang ada kejadian menyenangkan selama beberapa hari ini?"

"Tidak ada, ya?" Jiyong tersenyum canggung namun kemudian ia beritahu Minho apa yang telah Kai lakukan pada Lisa, penguntitan dan penyerangan.

Pagi akhirnya datang dan Lisa baru keluar dari kamarnya setelah ia membersihkan dirinya. Gadis itu melihat laptop Jiyong masih ada di meja riasnya, lantas begitu bangun dari ranjangnya ia bergegas pergi ke kamar mandi. Jiyong masih belum kembali bahkan setelah gadis itu selesai dengan urusannya. Lepas berpakaian, ia duduk di depan meja riasnya, bukan untuk memoles wajahnya namun melihat apa yang Jiyong kerjakan sepanjang malam.

"Kalau aku menghapus semua yang ada di sini, Jiyong oppa pasti murka," gumam gadis itu, sembari melihat-lihat beberapa berkas tentang tuntutan, pekerjaan sampai laman-laman tempat liburan yang Jiyong buka di laptopnya.

Gadis itu baru keluar dari kamarnya setelah memastikan semua berkas yang Jiyong buka di laptopnya tersimpan dengan benar. Ia melangkah keluar kemudian melihat kekasih serta kakaknya sedang bicara di meja makan dengan beberapa makanan di atas mejanya. Awalnya keduanya terlihat sangat serius, namun begitu Lisa muncul mereka mengganti arah pembicaraan itu.

"Kau akan tetap pergi kerja?" tanya Minho, yang lebih dulu melihat Lisa menghampiri meja makan.

"Tentu saja," jawab Lisa. "Aku merasa ada banyak hal yang sangat menganggu dalam diriku, jadi aku ingin menemui seorang psikiater," susulnya sembari mengusap bahu kekasihnya, menggantikan pelukan yang biasa ia berikan dengan beberapa usapan lembut di bahu. "Tidak apa-apa, kan? Kalau ketahuan reporter pasti akan ramai lagi. Masalah yang sebelumnya saja belum selesai," tanyanya, sebab Jiyong mungkin tidak akan setuju kalau kekasihnya menjadi pasien di bangsal psikiatrik, begitupun dengan Minho yang mungkin enggan disebut sebagai kakak dari seorang pasien sakit jiwa.

"Tiba-tiba?" tanya Jiyong, sedikit terkejut dengan informasi kekasihnya.

"Aku sudah memikirkannya sepanjang malam. Ada banyak sekali hal mengejutkan beberapa hari ini, dan aku merasa tidak bisa mengatasinya. Oppa keberatan?"

"Seniman yang menyimpan karya mereka di galerimu, orang-orang yang menyumbangkan uang mereka ke galeri, lalu publik mungkin tidak akan menyukainya, kau sudah memikirkannya?" ragu Jiyong. Bahkan sekarang posisi mereka ada di tempat yang sulit, kalau Lisa ketahuan pergi menemui seorang psikiater, orang-orang akan meragukan kemampuannya sebagai direktur di galerinya.

"Aku akan mencoba untuk tidak ketahuan," bujuk Lisa. Ia ingin mengatakan rencananya sejak semalam, namun Kai justru menyakitinya dan kini meski dirinya yakin bisa membujuk Jiyong, waktunya sebelum berangkat kerja tidak lagi panjang. "Lalu kalau ternyata aku ketahuan, dan harus turun dari jabatanku, kurasa aku-"

"Tidak bisa begitu," potong Jiyong juga Minho hampir bersamaan. "Siapa yang akan menggantikanmu kalau kau berhenti jadi direktur? Aku? Aku tidak bisa melakukannya," Minho menggeleng.

"Lalu bagaimana? Aku- heish... Aku akan memikirkannya lagi," bahkan belum sempat berdebat, gadis itu menyerah— tidak seperti rencana dan kayakinannya semalam. Ada rasa khawatir, kalau ia akan dipukul lagi jika terus memaksakan keinginannya.

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang