***
Nam Joohyuk tersenyum kecut setelah mendengar pertanyaan seorang temannya. Mereka sedang makan malam bersama hari ini, di sebuah restoran barbeque dengan banyak daging dan bir. "Kemarin aku menonton pertunjukan ballet. Swan Lake. Kau pernah jadi ballerino kan? Ballerina yang memerankan Odette cantik sekali. Harusnya kemarin aku mengajakmu, siapa tahu kalian saling kenal karena sama-sama penari ballet, aku jadi penggemarnya setelah melihatnya menari kemarin," cerita Seo Kangjoon, seorang teman yang dulu berakting bersama Joohyuk di drama Cheese in The Trap. Bukan hanya Kangjoon, Park Haejin, Kim Goeun sampai Lee Sungkyung juga ada di restoran itu. Sebuah reuni kecil setelah beberapa waktu tidak bertemu.
"Oh ya? Siapa namanya?" tanya Joohyuk, berpura-pura tertarik.
"Jennie Kim. Aku dengar dari beberapa penonton, katanya dia terkenal dulu. Dia sekolah di Italia dan terkenal di sana. Kau mengenalnya?"
"Hm..." angguk Joohyuk yang kemudian meneguk birnya. Tiba-tiba saja tenggorokannya jadi sangat kering. "Aku mengenalnya, kami satu angkatan di sekolah. Di Milan."
"Sungguh? Wah... Luar biasa. Apa dulu kalian pernah menari bersama?"
"Beberapa kali. Di angkatan kami, dia yang selalu jadi peringkat satu. Dia ballerina terbaik di angkatan kami," cerita Joohyuk.
Sungkyung yang juga ada di sana kemudian bergabung dalam pembicaraan itu. Ia bertanya ada berapa penari di angkatan Joohyuk dan berapa peringkat pria itu. Dan Joohyuk hanya tertawa. Ada puluhan ballerina dan ballerino di angkatannya. Mereka semua datang dari berbagai negara, berkumpul disebuah Ballet Theater yang sama, belajar dan berlatih bersama. Namun sekeras apapun Joohyuk berlatih, ia tidak pernah masuk dalam sepuluh besar. Sampai ia memutuskan untuk berhenti dan kembali pulang.
"Kau menyerah dengan ballet lalu pulang dan jadi aktor di sini? Kenapa? Cidera?" tanya Sungkyung sekali lagi, tanpa rasa bersalah. "Tidak ingin menari ballet lagi?" susulnya.
"Aku sudah lama tidak menari, aku tidak bisa lagi melakukannya. Tubuhku sudah kaku," balas Joohyuk.
"Adik Minho oppa juga ballerina," celetuk Goeun. "Adiknya juga belajar di Milan. Bukan, bukan hanya belajar tapi dia benar-benar tinggal di Milan. Katanya, sejak kecil dia suka ballet, jadi dia tinggal di Milan sejak kecil, bersama ibunya," cerita gadis itu, membuat Joohyuk kembali menenggak birnya. Kali ini ia terlihat gugup, juga merasa sangat tidak nyaman. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan tentang ballet, tapi orang-orang di sana masih sangat penasaran dengan jenis tarian itu.
"Lee Minho? Dia punya adik?" Haein mulai angkat bicara.
"Punya," angguk Goeun. "Perempuan, mungkin seumuran Joohyuk? Atau lebih tua? Kau tidak mengenalnya? Tapi wajar saja kalau kalian tidak mengenalnya, Minho oppa sangat tertutup tentang keluarganya. Dia tidak pernah membicarakan orangtuanya, setiap kali disinggung tentang keluarga, dia hanya bicara tentang adiknya."
"Lalisa Lee?" gumam Joohyuk.
"Kau mengenalnya?"
"Hm... Dia sangat terkenal, hampir tidak ada penari ballet yang tidak mengenalnya. Semua orang mengenalnya. Orang-orang menyebutnya jenius, dia bisa menarikan apapun hanya dengan sekali lihat. Dia yang paling cepat belajar, tapi berlatih paling lama. Kalau yang lainnya berhasil menghafal tiga gerakan, dia sudah menghafal delapan. Tapi terakhir kali aku bertemu dengannya, dia tidak bisa menari, kakinya cidera."
"Sebelum cidera, siapa yang lebih hebat? Jennie Kim atau Lalisa Lee?" Kangjoon penasaran.
Joohyuk tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia tidak bisa memilih satu diantara dua wanita itu secara objektif. Tidak tahu— hanya itu yang bisa ia katakan. Meski jawabannya tidak mampu memuaskan siapa pun. Lama berbincang akhirnya pembicaraan itu berakhir, mereka berpamitan kemudian pulang.
Setibanya di rumah yang kosong, seorang diri, Joohyuk duduk di depan rak sepatunya. Ia perlu melepaskan sepatunya, namun begitu duduk di atas lantai marmer rumahnya pria itu merasa super lelah. Sangat lelah sampai ia merasa tidak bisa berdiri lagi.
"Dimana kau sekarang?" tanya pria itu kemudian, pada selembar foto yang ia ambil dari sebuah kotak sepatu, di sudut paling dalam rak sepatunya. "Apa kau tahu kalau Jennie kembali naik ke panggung? Waktu itu dia juga cidera, sepertimu, tapi kenapa kau tidak kembali?" katanya, pada Lisa yang tersenyum di foto itu.
"Aku membencimu," kata Joohyuk sekali lagi. "Aku sangat membencimu. Meski merindukanmu, aku tetap membencimu. Dimana kau sekarang? Kenapa kau pergi dan tidak membiarkanku marah padamu sedikit lebih lama? Kau membuatku jadi sangat menyedihkan."
Sembari memandangi foto lama itu, dengan kepala yang pening karena bir dan beberapa soju, Joohyuk mengingat kembali hari-harinya tinggal di Milan. Dalam ingatannya, langit sedang cerah. Ia melangkah meninggalkan flat tempatnya tinggal, berjalan di trotoar sembari menghafalkan melodi dari Tchaikovsky.
Di ujung jalan, ia melihat Lisa. Berdiri dengan ripped jeans dan sepatu ketsnya. Kaus yang gadis itu terlihat ketat, lengannya pendek, hanya sampai bahu. Lekuk tubuh bagian atasnya terlihat sangat jelas, meski ada selembar kemeja biru yang ia ikat di pinggangnya, yang seharusnya bisa menutupi lekuk indah itu. Rambutnya yang panjang di biarkan tergerai, nyaris berantakan karena tertiup angin.
Dalam ingatan Joohyuk, mereka akhirnya bertemu. Berdiri berhadapan, saling menatap dengan senyum alami yang tidak bisa di tahan. "Kau akan memilih Sawn Lake dengan Jennie, kan?" tanya gadis itu, tanpa prasangka, tanpa kekhawatiran. "Kau belum pernah mengambil peran utama di Sawn Lake, ini kesempatan untukmu," susulnya, masih tanpa rasa khawatir.
"Kalau aku ikut Sawn Lake, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Aku lolos casting untuk memerankan Giselle. Tapi aku belum tahu siapa timku."
"Aku juga lolos casting untuk Giselle."
"Kau sudah dua kali berperan di Giselle. Pilih Sawn Lake saja, untuk menambah pengalamanmu."
"Baiklah, kalau menurutmu itu yang terbaik," kata Joohyuk waktu itu. Kata-kata yang ia sesali sampai sekarang, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Seandainya ia tidak memilih Sawn Lake. Seandainya ia bersikeras untuk memilih Giselle. Seandainya ia memilih untuk menari bersama Lisa, bukan Jennie, mimpi buruknya mungkin tidak akan terjadi.
Lama melamun di depan rak sepatunya, Joohyuk kemudian tersadar. Ia sudah duduk terlalu lama di depan rak sepatu itu. Ia sudah terlalu lama memandangi foto mantan kekasihnya. Dan kali ini ia tersadar karena getar teleponnya, Jennie meneleponnya. Ini bukan panggilan yang ia harapkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...