3

839 117 6
                                    

***

Di tempat lain, seorang wanita berdiri di dalam ruangan penuh cermin. Ia pandangi dirinya sendiri dalam balutan leotard-nya. Baju ketat itu menggambarkan dengan jelas bentuk tubuhnya. Sebuah rok tutu melingkar di pinggangnya, menutupi sedikit bentuk tubuhnya. Rambutnya masih tergerai, belum diikat ketat ke belakang kepalanya. Tanpa mengatakan apapun, ia tatap matanya sendiri. Merasakan tajamnya tatapan itu.

Setelah mengulang semuanya dari awal selama hampir lima tahun terakhir, ini kali pertamanya berdiri di panggung sebagai pusat panggungnya. Ia adalah pemeran utama untuk malam ini. Black Sawn sudah berkali-kali dipentaskan, tapi meski terlambat ini kali pertama Jennie Kim menjadi tokoh utamanya.

Rasa gugup menjalari seluruh tubuhnya. Harusnya ia beristirahat sekarang. Harusnya ia masih ada di rumahnya pagi ini. Harusnya ia masih berbaring, menenangkan dirinya. Pertunjukannya nanti malam, ia tidak boleh kelelahan sebelum pertunjukan itu. Namun berada di rumah terasa sangat menyesakan. Ia tidak bisa menahan dirinya dari pikiran-pikiran buruknya, karena itu ia datang ke tempatnya biasa berlatih, dekat dengan gedung pertunjukannya.

Di tengah rasa gugup itu, seorang senior datang. Seorang pria, yang beberapa tahun lalu juga pernah tinggal di Italia. Tahu kalau temannya di perantauan akan tampil sebagai tokoh utama, senior itu berkunjung, memberi semangat, memberi dukungan. Mereka berbasa-basi khas teman lama yang kembali bertemu. Sembari minum kopi di bangku panjang sebelah mesin kopi— di lorong gedung kebudayaan itu— mereka bertanya-tanya tentang hidup orang lain.

"Setelah berhenti jadi ballerino, Joohyuk jadi aktor. Dramanya baru saja tayang, lawan mainnya Kim Taeri, keren bukan? Kau menonton dramanya?" cerita senior itu— Song Kang.

"Tidak," singkat Jennie sembari menyesap kopi instannya.

"Tidak? Ah... Kau sibuk untuk pementasan kali ini? Itu wajar," angguk Kang. "Lalu, apa kau tahu kalau Lisa juga sudah kembali ke Seoul? Sekitar dua tahun lalu? Sepertinya sudah selama itu aku tidak bertemu dengannya."

"Dua tahun lalu kalian bertemu?"

"Ya," katanya. "Kami tidak sengaja bertemu di sini. Aku menyiapkan pertunjukanku dan entah apa yang dia lakukan waktu itu, dia tidak memberitahuku. Hanya menemui seseorang, katanya. Dia tidak menari lagi."

"Dia tidak menari lagi?"

"Tidak," geleng Kang. "Dia bilang kakinya cidera. Dia mengajar anak-anak sekarang."

"Berengsek."

"Ya? Kau baru saja mengumpat?"

"Tidak," geleng Jennie. "Aku tidak mengatakan apapun. Sayang sekali, Lisa tidak menari lagi."

"Hm... Sayang sekali, padahal kalian berdua sangat mempesona kalau menari bersama. Seperti pasangan yang diciptakan Tuhan. Tapi mau bagaimana lagi? Kakinya cidera dan sepertinya cukup parah."

Hari berlalu dan malam akhirnya datang. Lisa duduk di ruang kerjanya, di kantor direktur galeri seni milik ayahnya. Lee Minho yang harusnya duduk di sana. Atau setidaknya galeri itu dibagi dua, karena mereka berdua pewarisnya. Namun Minho menolak segalanya. Ia tidak ingin menerima sepeserpun dari warisan orangtuanya. Semuanya milik Lisa, semuanya untuk Lisa, dia tidak menginginkan apapun— begitu katanya pada pengacara ayahnya.

Meski begitu, Lee Minho tidak akan jatuh miskin. Ia bisa hidup mandiri tanpa semua harta warisan itu. Bahkan Lisa yakin kalau kekayaan aktor sekelas Lee Minho pasti lebih banyak daripada milik ayah mereka. Setidaknya, berkat kakaknya yang tidak ingin ambil bagian dalam semua warisan mereka, Lisa jadi punya pekerjaan sekarang.

Handphone Lisa bergetar di tengah lamunannya. Jiyong mengirim pesan— aku pergi menonton pertunjukannya bersama Daesung, Dara noona, Tablo hyung dan anaknya. Kau benar-benar tidak bisa datang? Sayang sekali— tulisnya.

"Bersenang-senanglah sayang, maaf karena aku tidak bisa ikut," kata Lisa, terdengar ceria dalam voice note yang ia kirim pada kekasihnya. "Kita bisa menonton pertunjukan lain kapan-kapan," susulnya dengan kiriman voice note yang kedua.

Jiyong membalas pesan itu dengan beberapa emoticon hati, lantas Lisa berhenti membalas pesannya. Ia letakan lagi handphonenya di atas meja, kemudian meletakan kepalanya di atas meja. Mensejajarkan pandangannya dengan sebuah bingkai foto berisi fotonya. Foto itu sudah sangat lama, foto dirinya saat kecil, berjinjit dengan dua kakinya dalam balutan pakaian balet merah muda. Ayahnya yang memajang foto itu, membuat Lisa yakin kalau ayahnya pernah sangat merindukannya.

"Hari ini Jennie memerankan Black Sawn," cerita Lisa, dengan sangat pelan pada sebuah bingkai foto lama yang melindungi selembar foto keluarga. Foto lama, saat ayah dan ibunya masih muda, saat ia masih terlalu kecil untuk mengerti kenapa orangtuanya berpisah. Foto ketika Lisa merasa paling bahagia seumur hidupnya. "Ayah tidak mengenal Jennie. Dia teman kuliahku. Ibu mengenalnya, dia gadis yang membuatmu kesal karena aku selalu dibandingkan dengannya. Cideranya pasti sudah sembuh, jadi dia berdiri lagi di atas panggung. Maaf... Aku tidak bisa melakukan itu juga. Jangan terlalu kecewa karena putri kalian berhenti menari. Kalian ikut bertanggungjawab atas pensiunku. Tapi sepertinya Mino oppa tidak tahu apapun. Dia memberiku tiket pertunjukannya tadi. Dia menyebalkan. Dulu dia bilang, dia akan bunuh diri kalau kalian berpisah, tapi sampai sekarang dia masih hidup. Dia hidup dengan sangat baik sampai tega memberikan semua tanggung jawab di galeri ini padaku. Jahat sekali."

Gadis itu terus mengoceh, bicara pada sebingkai foto yang tidak akan pernah menjawab pertanyaannya, tidak akan pernah menanggapi ceritanya. Namun di tengah obrolannya dengan bingkai bisu itu, pintu ruang kerjanya di ketuk dari luar. Lisa menutup mulutnya saat mendengar pintu itu diketuk. Ia perbaiki posisi duduknya, menatap pada pintu yang perlahan terbuka dan melihat Minho berdiri di sana. Pria itu datang dengan sekantong belanjaan dari minimarket, perlahan melangkah masuk meski direktur di galeri itu belum memberinya izin.

"Aku bertemu dengan kekasihmu di pertunjukan tadi. Dia datang dengan teman-temannya tapi kau tidak ada di sana," kata Minho, yang akhirnya duduk di sofa sedang adiknya masih menatap kesal padanya. "Dia bilang kau sibuk malam ini. Pekerjaanmu belum selesai?" tanyanya karena diabaikan. "Kau tidak kelihatan sibuk. Kau tidak bertengkar dengan Jennie kan? Kekanakan sekali kalau kau tidak datang ke pertunjukannya hanya karena kalian bertengkar," komentar pria itu yang akhirnya menarik perhatian adiknya.

"Apa yang oppa inginkan dariku?" ketus Lisa kemudian. Akhirnya menanggapi.

"Tidak bisakah kita berbaikan sekarang? Sudah lebih dari lima tahun kita begini. Kau tidak lelah?"

"Apa aku melakukan kesalahan padamu, oppa? Tidak kan? Oppa yang mengabaikanku saat aku menangis dan memberitahumu ibuku meninggal. Ibumu juga. Aku ingat sekali kalau saat itu oppa bilang oppa sedang syuting. Drama dengan Kim Goeun? Syutingnya menyenangkan, iya kan? Aku bisa mengerti, oppa marah karena saat ayah dan ibu bercerai, kau ditinggalkan di sini. Hanya aku yang diajak ke Italia. Kau pasti sangat kecewa. Tapi apa ditinggalkan di sini bersama ayah sangat buruk? Sampai kau juga menolak datang saat ayah meninggal? Dua minggu pemakaman ibu dan sepuluh hari pemakaman ayah, kau sama sekali tidak datang. Saat aku mengantar tubuh ibu dari Italia ke sini, kau juga tidak datang. Aku mengurus dua pemakaman sendirian, seolah aku satu-satunya putri mereka. Hatiku diperas habis-habisan waktu itu. Aku bahkan harus berbohong untukmu. Aku harus bilang kau terlalu sedih sampai masuk rumah sakit karena kematian ayah dan ibu. Setelah semua itu aku tidak boleh marah? Ini baru lima tahun. Bahkan sepuluh tahun rasanya tidak cukup untuk aku bisa memahamimu."

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang