***
Lisa kehilangan handphonenya. Ia menelepon Jiyong menggunakan handphone kakaknya, namun panggilannya tidak bisa tersambung. Handphone Jiyong otomatis menolak semua panggilan dari nomor yang tidak ia simpan. Malam sudah datang ketika Lisa menelepon pria itu, Minho yang sedang makan malam memperhatikannya dari meja makan. "Tidak di angkat?" tanya pria itu. "Dimana kau menghilangkan handphonemu?" susulnya, yang tetap diabaikan meski sudah berbaik hati meminjamkan handphonenya pada Lisa.
"Aku akan pergi mencari handphoneku," acuh Lisa, melangkah ke kamar tidurnya untuk bersiap-siap, sedikit berdandan karena tadi ia menunjukan sisi buruknya pada Jiyong. "Di pintu kulkas ada nomor telepon bibi yang membersihkan rumah, telepon dia dan suruh dia datang besok," suruh Lisa sementara kakinya tidak berhenti melangkah. Pergi meninggalkan Minho di rumah sendirian.
Lisa mengemudi ke rumah Jiyong. Gadis itu ragu Jiyong ada di rumah atau tidak. Seingatnya Jiyong punya jadwal malam ini, namun ia tidak tahu bagaimana tepatnya jadwal itu. Setibanya di sana, ia tersenyum menyapa beberapa orang yang dilewatinya. Bahkan berbincang dengan seseorang yang berpapasan dengannya di lift, saat ini juga pagi tadi.
Meski sampai di pintu rumah Jiyong ia melihat Nara, senyumnya tidak pudar. Ia melangkah di atas sepatu ketsnya, menghampiri Nara yang malam ini memakai sebuah terusan selutut dengan jaket kulit hitam. "Eonni?" sapanya, tetap tersenyum. "Kenapa berdiri di sini? Jiyong oppa tidak di rumah?" tanyanya kemudian.
"Kau kelihatan berbeda," komentar Nara, memperhatikan Lisa yang malam ini memakai celana jeans-nya, juga kaus pas badan, rambut yang dibiarkan tergerai, kemudian sebuah kacamata bulat manis untuk menyamarkan sedikit bekas tangisannya. Tanpa tas, hanya kunci mobil dan dompet yang ia pegang dengan tangannya.
"Oh ya? Uhm... Karena sedang tidak bekerja?" bingung Lisa. "Jiyong oppa ada jadwal malam ini, mungkin dia di studionya. Eonni mau menemuinya? Aku juga mau menemuinya, tapi ada barangku yang ketinggalan di dalam," santai gadis itu, melangkah melewati Nara, menekan beberapa angka di sana dan membuka pintunya.
Nara pergi lebih dulu. Membiarkan Lisa masuk ke dalam rumah tanpa tuan itu. Begitu masuk, Lisa menghela nafasnya. Bahan makanan sudah tidak ada lagi di atas meja makan. Beberapa mangkuk kotor ada di bak cuci piring dan ada sebuah panci keramik di atas kompor. "Sepertinya mereka benar-benar sarapan bersama," gumam Lisa melihat dapur bersih itu.
Melewati dapur, gadis itu kemudian masuk ke dalam kamar tidur. Ranjangnya masih berantakan seperti ketika Lisa meninggalkannya. Ia melihat ke sekeliling kamar yang luas itu kemudian menemukan handphonenya, masih ada di lantai, sendirian di dalam kamar itu. Jiyong tidak mengambil handphonenya, sepertinya pria itu kesal karena sikapnya tadi pagi.
Lagi, Lisa menghela nafasnya. Ia ambil handphonenya itu namun benda itu tidak mau menyala. Lisa mencoba mengisi daya handphonenya, namun benda itu tetap tidak mau menyala. "Cepat sekali rusaknya," gumam gadis itu. "Handphoneku, juga hubunganku, mudah sekali rusaknya," kesal gadis itu. Kini ia duduk di ranjang, berusaha menyalakan handphonenya namun sia-sia. Barang satu detik pun, handphonenya tidak mau menyala.
Menyerah dengan handphonenya yang tidak mau menyala, Lisa memutuskan untuk pergi. Ia lihat jam di tangannya, menghitung-hitung lama perjalanannya ke studio tempat Jiyong bekerja. Ia tidak ingin melihat Nara di sana. Ia memperlambat perjalanannya, ia mampir ke cafe membeli beberapa gelas kopi, ia mampir membeli beberapa camilan, ia bahkan mampir ke minimarket untuk membeli bir dan soda. Kursi mobilnya sampai penuh dengan semua barang yang ia beli. Barang yang sebenarnya tidak perlu ia bawa.
"Kenapa aku harus datang malam ini? Pulang saja, aku bisa datang besok," keluh Lisa, melihat semua alasan yang ia bawa di mobilnya.
Kini gadis itu tiba di agensi tempat Jiyong bekerja. Merasa kalau ia harus turun meski ia bisa saja mengemudi pergi, ia langkahkan kakinya keluar dari mobil. Satu persatu ia keluarkan barang bawaannya. Dengan tangan yang penuh barang, ia melangkah memasuki gedung itu, masuk lewat pintu basement dan berhenti di depan lift. Perlahan pintu lift terbuka dan semua yang Lisa bawa jatuh ke lantai.
Ada Nam Joohyuk di dalam lift itu. Harusnya pria itu tidak di sana. Joohyuk sudah pindah agensi, ia tidak mungkin ada di sana. Tapi pria itu berdiri di dalam lift, tersenyum dan tertawa bersama teman-temannya. Beberapa model yang beberapa kali Lisa lihat di majalah.
Rasa canggung membuat Lisa bergegas mengambil kembali barang bawaannya. Setengah kopinya tumpah di lantai, namun ia tidak mempedulikannya. Ia ambil semua yang bisa diambilnya kemudian bergegas masuk ke dalam lift, sementara Joohyuk melangkah keluar bersama teman-temannya.
"Kurator Lee, kau baik-baik saja?" tanya Sungkyung, menegur Lisa yang tidak terlihat tenang seperti biasanya.
"Ya, aku baik," singkat Lisa. "Tadi tanganku licin," katanya, tanpa berusaha menahan pintu lift agar mereka bisa berbincang.
Lisa pergi dengan semua barang-barangnya yang berantakan. Sementara Joohyuk masih menatap tumpahan kopi di lantai. "Kenapa dia di sini?" tanya Joohyuk kemudian, berpura-pura tidak mengenal mantan kekasihnya yang tiba-tiba saja muncul.
"Siapa? Kekasih Jiyong oppa?" tenang Sungkyung. "Dia kurator dan direktur di galeri tempat Jiyong oppa akan mengadakan pamerannya. Sepertinya Big Bang sedang sibuk, sampai Jiyong oppa meminta kekasihnya membawa semua itu. Tapi bagaimana ini? Semuanya berantakan. Semoga dia tidak dimarahi," komentar Sungkyung.
"Tapi wanita tadi ballerina," gumam Joohyuk.
"Ya?"
"Lalisa Lee, adik dari aktor Lee Minho."
"Kurator Lee?!" kaget Sungkyung, begitu juga beberapa model lainnya, terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar dari mulut Joohyuk. Mereka hampir tidak mempercayai Joohyuk.
"Dimana galerinya?" tanya Joohyuk kemudian, bercanda, mengatakan kalau nanti ia mungkin ingin menyapa teman lamanya.
Tiba di depan studio rekaman tempat Jiyong bekerja, Lisa mengetuk pintunya. Namun setelah ia mengetuk, gadis itu melangkah ke samping, bersandar di dinding sembari meletakan semua barang bawaannya di lantai. Ia berjongkok di lantai, menekuk kakinya yang gemetar sembari menunggu seseorang keluar.
Asisten produser yang keluar, dan ketika pintu terbuka Lisa bisa mendengar suara Jiyong. "Ulang sekali lagi. Lakukan dengan benar selagi aku masih bersikap baik," kata pria itu, dingin dan ketus seperti yang Lisa duga dalam perjalan tadi.
"Bisa bawa ini masuk dan minta Jiyong oppa keluar? Atau Seunghyun oppa kalau dia sibuk, terimakasih," pinta Lisa, setelah ia bertukar tatap dengan asisten produser itu. Seorang pria dua puluh tahunan yang baru bekerja beberapa bulan di sana. Anak baru, yang selalu disuruh melakukan ini dan itu.
Jiyong yang keluar, sebab asisten produsernya mengatakan kalau ada wanita cantik yang mencari Jiyong. Asisten itu juga bilang kalau wanita cantiknya kelihatan sakit. Tentu sembari menunjukan betapa berantakannya barang bawaan Lisa. Begitu keluar, Jiyong langsung berjongkok di depan Lisa, menyentuh bahu gadis itu kemudian bertanya apa yang terjadi. "Kenapa? Apa yang sakit?" tanya pria itu, terlihat sangat khawatir.
"Maaf, tadi aku jatuh di basement, jadi makanan dan kopinya berantakan," kata Lisa, dengan nafas berat yang kedengaran lelah.
"Tidak apa-apa, sudah ada banyak makanan di dalam, Nara membawa banyak makanan tadi," angguk Jiyong, mengusap rambut kekasihnya, juga pipinya, mencoba untuk menenangkannya. "Apa yang sakit? Kenapa kau pucat? Kau menangis seharian?"
"Nara eonni ada di dalam?"
"Hm... Dia ada di dalam. Kau mau ku antar pulang? Atau ke rumah sakit? Ada apa? Kau membuatku khawatir seharian ini."
Lisa menganggukan kepalanya. "Hm... Antar aku pulang saja."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...