31

477 85 1
                                    

***

Jiyong membawa Nara ke sebuah hotel tidak jauh dari hospice itu. Nara menolak untuk pulang— ke rumah orangtuanya. Ia ingin terbang ke Tokyo namun Jiyong melarang gadis itu terbang sampai emosi Nara reda. "Kalau kau memang khawatir, harusnya kau membawaku ke rumahmu," gerutu Nara, tetap duduk di dalam mobil yang Jiyong kemudikan meski mereka berdua sudah tiba di basement hotel. 

"Tidak mau keluar? Aku lapar," Jiyong membalas, namun tidak menanggapi keluhan Nara tadi.

"Kau khawatir aku akan melukai diriku sendiri kalau aku kembali ke Tokyo?" kesal Nara, menatap sinis pada pria yang sibuk mengetik di handphonenya. "Kau pikir aku tidak bisa melakukannya di sini? Apa bedanya aku kembali ke Tokyo dan tinggal di sini sendirian?" susulnya.

"Kau tidak akan tinggal di sini sendirian. Turun," jawab Jiyong. Ia lebih dulu keluar dari mobilnya setelah masker dan topi terpasang nyaman di kepalanya, menutupi sebagian besar wajahnya.

Tapi belum sempat Jiyong menutup pintu mobilnya, seorang yang familiar melangkah keluar dari hotel itu. Gadis itu membawa sebuah tas jinjing besar di tangannya, seperti tas olahraga. Itu Jennie Kim, Jiyong mengingatnya, ia ingat rambut ballerina yang digelung rapi itu. Penasaran kenapa Jennie Kim ada di sana, mata pria itu mengikuti arah Jennie bergerak.

Jennie balas melihat Jiyong, namun ia kelihatan tidak mengenalinya. Merasa diperhatikan, Jennie balas menatap Jiyong, melangkah ke mobilnya sembari menilai Jiyong dari ujung kepala ke ujung kakinya. Tidak ada pembicaraan, keduanya hanya saling menatap untuk beberapa detik sampai Jennie menghilang dibalik pilar basement juga pintu mobilnya yang di parkir tidak jauh dari mobil Jiyong.

"Sekarang dia yang diselingkuhi?" gumam Jennie setelah ia menyalakan mobilnya kemudian mengemudi meninggalkan basement, juga Jiyong yang masih harus menunggu Nara. "Kasihan, tapi itu bukan urusanmu Jennie, jangan ikut campur," susulnya, tentu bicara pada dirinya sendiri. Meski sudah menutupi wajahnya dengan masker, mengenali G Dragon yang punya banyak tato tidak lah sulit.

Sedang Jennie melaju pergi bersama mobilnya, Jiyong menoleh pada Nara yang baru saja keluar dari mobil dengan wajah curiga. "Apa maksudmu aku tidak akan sendiri di sini?" tanya Nara, melangkah mendekat pada Jiyong yang kini masuk ke dalam hotel berbintang itu. "Kau tidak menyuruh kekasihmu ke sini kan? Kau tidak meminta kekasihmu untuk-"

"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja tidak, " potong Jiyong. "Dia sudah kesal karena aku mencarimu, dia tidak akan mau datang ke sini meski ku suruh," katanya.

Kini mereka berdiri di dalam lift, diam di sana menunggu ruang persegi itu membawa mereka ke restoran hotel. Masih sembari menatap layar handphonenya— berkirim pesan— Jiyong mengajak Nara bicara, "apa yang ingin kau makan?" tanya pria itu, tanpa menoleh seolah dirinya sama sekali tidak peduli.

"Padahal aku hanya ingin kembali ke Tokyo," ketus Nara. "Tapi apa oppa memberitahu Lisa kalau oppa bersamaku sekarang? Dia membiarkanmu melakukannya?"

"Tidak," Jiyong menggeleng. "Dia kesal, pasti cemburu, karena itu tolong bantu aku agar kami tidak perlu bertengkar. Jangan bersembunyi, jangan melarikan diri, jangan sampai terluka, jangan membuatku khawatir," tegasnya, yang kemudian melangkah keluar dari lift. Berjalan masuk ke sebuah restoran di dalam hotel itu.

Mereka mengambil tempat di sudut sepi yang tidak diperhatikan orang lain. Duduk berdua di sana, namun Jiyong terus melirik handphonenya setiap kali kesempatan datang. "Untuk apa oppa ada di sini kalau kau terus melihat handphonemu?" lagi, Nara memprotes pria yang tetap menggenggam handphonenya meski seorang pelayan sudah berdiri sejak tadi, menanyakan pesanan mereka.

"Pesan apa saja yang kau mau," kata Jiyong, abai pada keluhan Nara barusan. "Aku pesan kopi dan steak, tenderloin, medium rare," susulnya, bicara pada pelayan yang ada di sebelahnya tanpa menyentuh buku menu yang sedari tadi ada di atas meja.

Nara mengeluh lagi, ia hela nafasnya keras-keras, sengaja untuk menyadarkan Jiyong kalau sikapnya sekarang sangat menyebalkan. Mereka belum membicarakan apapun yang berarti sejak bertemu di hospice tadi. Lalu kemudian, tidak lama setelah pelayan yang mencatat pesanan pergi, Nara mengulurkan tangannya untuk merebut handphone Jiyong. Ia tarik handphone Jiyong dari genggam pemiliknya kemudian meletakannya di atas meja.

"Aku ingin kembali ke Tokyo, sekarang," kesal Nara dan Jiyong ikut menghela nafas karenanya.

"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Tunggu sebentar, kau masih bisa pergi besok. Tidak harus hari ini, bukan? Sebentar lagi malam."

"Lalu kenapa kalau malam? Apa bandara tutup saat malam?" Nara tetap bersikeras.

"Apa yang akan kau lakukan begitu tiba di Tokyo? Apa kau akan langsung pulang ke apartemenmu begitu tiba di sana? Apa yang bisa kau lakukan di sana? Pergi ke bar dan tidur sembarangan dengan pria asing? Memotong nadimu seperti beberapa tahun lalu? Hal gila apa lagi yang akan kau lakukan? Aku sudah lama sekali mengenalmu, aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu kalau kau sedang kacau."

"Sebelumnya, oppa bahkan tidak menyadarinya," gumam Nara. Ia bahkan tidak tahu alasanku datang ke Seoul— batin Nara. "Kita hanya beberapa kali bertemu, dan hampir tidak pernah bisa bicara. Kau sibuk dengan pekerjaanmu, kekasihmu yang manja itu, sekarang setelah aku memutuskan untuk pergi kau justru menahanku di sini? Apa itu masuk akal?" kesal Nara, seolah Jiyong sudah melakukan sebuah kesalahan yang amat besar padanya— mengabaikannya.

"Tidak perlu menyinggung kekasihku, karena dia tidak begitu," kata Jiyong. "Kita tidak bisa membicarakan hal lainnya karena kau terus membuatku kesal dengan komentar-komentar sinismu tentang kekasihku, bukan begitu? Meski kita dekat, tolong jaga sedikit kata-katamu," tanyanya, yang akhirnya bisa berbincang sembari menatap lawan bicaranya. Tidak lagi sembari menatap layar handphonenya.

Nara mencibir, mengatakan kalau Jiyong tidak perlu bersikap sekeras itu padanya. "Toh kau tidak akan menerimaku, kau tidak perlu terus menyakitiku begitu," keluh gadis itu, membuat Jiyong ikut mengeluh kesal. Bukan maunya melukai Nara, tapi gadis itu yang lebih dulu membuat Jiyong kesal dengan komentar-komentarnya.

"Kenapa kau jadi sangat menyebalkan sekarang? Aku tidak berharap kau bisa akur dengan kekasihku. Kasihan kekasihku kalau harus mendengar cibiranmu itu," sebal Jiyong.

"Berhenti bicara kalau oppa hanya ingin memamerkan hubunganmu dengan kekasihmu," ketus Nara, hampir bersamaan dengan datangnya pelayan yang membawakan pesanan mereka.

Kini keduanya diam. Menelan suap demi suap makanan yang dipesan. Tidak ada sedikitpun kenikmatan dalam makan malam ini. Meski lapar, Jiyong tidak merasa perutnya bisa mencerna daging yang ia pesan. Perutnya akan sakit sepanjang malam ini— pria itu sangat yakin. Lalu, setelah piring mulai kosong, seorang pria mendekat— Lee Soohyuk, yang langsung terbang ke Seoul setelah Jiyong hubungi beberapa jam lalu. Tanpa Jiyong minta, pria itu datang ke Seoul setelah yakin kekasihnya tidak kembali ke Tokyo.

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang