***
"Perkenalkan, ini aktor Nam Joohyuk yang akan jadi model untuk MV kita, dan Tuan Nam, perkenalan ini Jennie Kim, ballerina yang akan membantu koreografinya," kata Song Mino, rapper di grup bernama WINNER yang siang ini mengadakan pertemuan perdana mereka sebelum mulai merekam MV-nya. "Mereka berdua temanku," susulnya membuat suasana yang sebelumnya sangat serius perlahan-lahan melunak.
"Kami sudah saling kenal," kata Jennie, membuat Joohyuk yang berdiri di depannya menganggukan kepalanya, di depan sebuah meja kayu panjang yang penuh dengan orang penting. "Dia juga penari ballet, sebelum jadi aktor. Di Milan, satu sekolah denganku. Sepertinya, kalau dia yang jadi modelnya, kalian tidak membutuhkanku?" susul Jennie, membuat Joohyuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tidak bisa," geleng Mino. "Aku sudah memintanya, tapi dia sudah lama tidak menari ballet. Aku juga tidak pernah menari ballet. Kami semua tidak pernah menari ballet. Lalu aku ingat kalau aku pernah punya tetangga yang menari ballet. Untung saja ibuku masih menyimpan nomor telepon ibumu," cerita Mino.
"Sebenarnya kami mengenal seorang ballerina lain, tapi kami ditolak," susul Seunghoon. "Kami beruntung karena kau? Anda? Noona? Bagaimana aku harus memanggilmu? Pokoknya, kami beruntung karena kau tidak menolak kami juga," katanya, membuat Jennie mengulas senyumnya.
"Jennie," jawab gadis itu, satu-satunya wanita di dalam ruang meeting itu. "Aku suka dipanggil Jennie," katanya.
Mengesampingkan masa lalu mereka di sana, Jennie dan Joohyuk duduk bersama pria-pria itu. Mengesampingkan rasa penasaran yang menggebu-gebu di dada masing-masing, mereka bersikap profesional dengan hanya membicarakan pekerjaan di sana. Pembicaraan yang berlangsung setidaknya tiga jam itu akhirnya berakhir sebab sebagian besar dari mereka punya jadwal lain.
"Maaf karena tidak bisa mengantarmu," kata Mino sementara Joohyuk masih merapikan berkas konsep yang diberikan padanya. "Aku punya jadwal lain di atas. Tapi katanya Joohyuk senggang, dia pasti bisa mengantarmu. Aku akan memintanya mengantarmu," susul Mino dan Jennie menggelengkan kepalanya. Gadis itu bilang, dia sudah punya janji lain dan akan pergi sendiri hari ini.
Mino tidak memaksa karena ia harus menyelesaikan tugas profesinya. Ia tinggalkan Jennie dan Joohyuk bersama beberapa staff di sana, hingga akhirnya Jennie berdiri di samping Joohyuk, di dalam lift. "Aku melihat Lisa tadi," kata Jennie dalam bahasa Italia yang tidak dipahami orang-orang dalam lift.
"Aku juga melihatnya," jawab Joohyuk, dalam bahasa yang sama. "Kalian sempat bicara?" tanya Joohyuk dan Jennie menggelengkan kepalanya. "Dia terkejut sekali saat melihatku. Jadi aku tidak menegurnya," susul Joohyuk dan kali ini Jennie menganggukan kepalanya. Jennie berkata kalau ia pun melakukan hal yang sama saat bertemu Lisa— pergi setelah melihat Lisa terkejut dan jatuh.
"Jangan menemuinya lagi," kata Jennie kemudian, kali ini ia menoleh untuk menatap Joohyuk. Sedikit mendongak untuk melihat wajah pria itu. "Aku tidak bisa melupakan apa yang dia lakukan, tapi setidaknya, aku masih bisa membiarkannya hidup dengan tenang. Kau juga bisa melakukannya, iya kan?" tanya gadis itu, sembari berpendapat kalau hanya dengan melihat mereka berdua, hidup Lisa bisa hancur dengan sendirinya. Rasa bersalah yang akan Lisa bawa sepanjang hidupnya, bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan mereka berdua lah pematik bom itu.
"Dulu kau sangat ingin menghancurkannya," komentar Joohyuk dan Jennie mengangguk. Sembari menundukkan kepalanya menatap kakinya di dalam lift gadis itu kemudian berucap, kalau ia tidak ingin lagi menghancurkan Lisa.
"Tidak lagi," jawab Jennie. "Setelah dia menolak mengobati kakinya untuk menghukum dirinya sendiri. Aku justru kasihan padanya. Dan aku juga sudah berjanji pada kakaknya, untuk memaafkannya. Kakaknya datang padaku, memohon padaku untuk memaafkannya, berlutut padaku agar aku mau membujuk Lisa untuk mengobati kakinya. Tapi meski aku tidak mau melakukannya, dia tetap membayar semua biaya pengobatanku. Dia membiarkan adiknya mengurus sendiri pemakaman ibu mereka, tapi memohon padaku hanya karena mendengar adiknya mengigau dan menangis semalaman."
"Dia juga memberiku pekerjaan."
"Siapa? Kakaknya?"
"Hm... Dia menggantikan adiknya untuk minta maaf padaku dan membantuku mencari peran diawal karirku, di sini."
Pembicaraan itu berakhir di tempat parkir. Keduanya berpisah karena mereka memarkir mobilnya di sisi yang berbeda. Namun setibanya mereka di mobil masing-masing helaan nafas yang berat dan menyesakan terdengar. Melupakan kenangan buruk tidak pernah mudah, bagi siapapun. Luka yang sudah terlanjur tergores di hati, tidak akan pernah hilang. Lukanya menetap, dan manusia dipaksa untuk hidup bersamanya.
Sementara itu, di mobil lain dalam tempat parkir itu, Lisa pun duduk. Ia ingin pergi dari tempat parkir itu, apalagi saat dilihatnya Jennie dan Joohyuk berjalan bersama keluar dari gedung. Namun sekeras apapun ia memaksa kakinya untuk mulai menginjak pedal gas, kakinya tetap saja gemetar. Ia tidak bisa mengontrol kakinya sendiri. Ia tidak bisa mengontrol isi kepalanya sendiri. Dari jauh, gadis itu memperhatikan Jennie dan Joohyuk saling memeluk, berpamitan untuk berpisah ke mobil masing-masing.
Jiyong tidak ada di sana. Pria itu masih punya banyak pekerjaan dan Lisa bersikeras untuk pulang sendiri. Bersikeras kalau kondisinya cukup prima untuk mengemudi pulang dengan mobilnya sendiri. Tapi sudah lebih dari tiga jam Lisa pergi dan gadis itu masih belum menghubunginya. Pria yang khawatir pada kekasihnya itu, kemudian menelepon. Lama ia menunggu, sampai akhirnya Lisa menjawab panggilannya.
"Kau sudah sampai di rumah?" tanya Jiyong begitu Lisa menjawab panggilannya. "Kenapa tidak mengabariku? Aku khawatir," susulnya.
"Belum."
"Belum? Dimana kau sekarang?"
"Masih di tempat parkir."
"Ya?! Kenapa? Tunggu di sana. Aku ke sana," kata Jiyong dan panggilan itu berkahir.
Helaan nafas Lisa kembali terdengar. Mobil itu sudah sangat pengap, panas karena Lisa hanya membuka sedikit kaca mobilnya. Sisa-sisa helaan nafas gadis itu memenuhi mobil, membuatnya jadi semakin lembab, semakin panas juga pengap. Lima belas menit setelah panggilan itu berakhir Jiyong akhirnya datang, sementara mobil Joohyuk juga Jennie sudah lama melaju pergi.
"Aku merasa sakit," kata Lisa, sebelum Jiyong mengeluh karena Lisa mengurung dirinya dalam mobil yang mirip sauna itu. "Hatiku sakit sekali, berat sekali, membuatku sesak, bagaimana ini?" jujurnya.
"Karena Nara lagi atau sesuatu yang lain?" tanya Jiyong. Pria itu berdiri di luar setelah ia membuka pintu mobil Lisa. Ia berdiri di sebelah kursi pengemudi, di sebelah kekasihnya yang berkeringat, terlihat kosong, sangat hampa, seperti cangkang kerang yang sudah ditinggalkan pemiliknya.
"Ingat saat aku bilang aku berselingkuh dan melukai banyak orang?" tanya Lisa dan pria yang ia ajak bicara menganggukan kepalanya. "Aku bertemu lagi dengan mereka dan hatiku jadi sakit sekali," katanya, yang setelah itu menerima sebuah pelukan. Pelukan lembut yang merengkuh dan melindungi tubuh berkeringatnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...