***
Setelah Jiyong pergi dengan Nara dan Heechul, Lisa duduk sendirian di ruang kerjanya. Hampir semua karyawannya terkejut karena Lisa datang jauh lebih awal dari seharusnya. Karena Lisa datang tanpa pemberitahuan dengan koper dan tas bahunya yang tidak seberapa berat.
"Aku tidak ingin bekerja," kata Lisa kepada seorang kurator yang menemaninya masuk ke ruang kerjanya. "Aku ke sini karena tidak ada apapun di rumahku. Aku belum makan dan sedang datang bulan. Aku hanya akan duduk di ruanganku, tidak melakukan apapun. Jadi, anggap saja aku masih cuti sampai minggu depan," katanya, melarang Kim Jisoo— seorang kurator senior di galerinya— untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Baru saja ada seseorang yang datang mencari anda," kata kurator Kim, berdiri di depan pintu ruang kerja direktur galeri itu.
"Lalu?"
"Aku bilang anda ke Jepang dan baru kembali bekerja minggu depan."
"Bagus. Kalau begitu, selamat bekerja. Katakan pada semua orang aku sedang berlibur jadi jangan mengajakku bicara tentang pekerjaan. Kalau mendesak, kirim pesan saja," santai gadis itu dengan senyum di wajahnya yang hampir tidak pernah pudar.
"Tsk... Kenapa orang sedang berlibur pergi ke tempat kerja?"
"Karena tidak ada tempat yang bisa aku kunjungi," ketus Lisa membuat gadis di depannya ikut berdecak ketus. "Aku tidak pernah berlibur, seumur hidupku, kalau kau lupa, nona Kim. Pergilah bekerja, aku akan tidur siang di sini," katanya, menyapa Kim Jisoo lantas menutup pintunya dan bergegas berbaring di atas sofanya.
Ia merasa dirinya sudah lama berbaring di sofa. Rasanya sudah seperti seharian ia berbaring di sana. Tapi saat ditatapnya jam dinding di ruang kerjanya, ternyata ia baru berbaring dua menit. Kenapa waktu berputar sangat lama? Lisa menghela nafasnya keras-keras. "Kenapa aku tidak marah? Harusnya aku marah karena dia pergi dengan orang lain di saat aku memilih pulang untuknya. Tapi kenapa aku tidak marah? Apa aku tidak cukup mencintainya?" pikir gadis itu sekali lagi. "Haruskah aku marah? Tapi aku tidak marah. Apa dia akan kecewa karena aku tidak marah? Harus aku berpura-pura marah?" resahnya, terus mengganti posisi tidurnya.
Menyerah dengan pikiran-pikirannya sendiri, Lisa akhirnya bangun. Ia rapikan rambutnya kemudian melangkah keluar dari ruang kerjanya. Ia sapa beberapa orang yang berpapasan dengannya, melangkah mengelilingi galerinya sendirian. Beberapa orang ingin menemaninya, melayani direktur di tempat mereka bekerja, menyenangkan sang direktur dan berharap mendapat banyak bantuan darinya. Namun Lisa menolak semua orang itu. Ia ingin berjalan sendirian sekarang. Ia ingin melihat-lihat lukisan yang mereka pajang, ia ingin melihat-lihat hasil kerja mereka selama beberapa tahun terakhir, setelah direktur sebelumnya meninggal.
Lama melangkah, akhirnya Lisa berdiri di sudut lorong, di depan sebuah lukisan bergambar kursi taman. Lukisannya di buat dengan cat akrilik. Tidak ada sosok siapapun dalam lukisan itu. Hanya sebuah bangku taman dengan lampu tinggi di sebelahnya. Lampu itu menyala, namun suasana di sekitarnya sangat terang. Langitnya biru tanpa awan, rumputnya hijau disisi kiri, menguning dan kering di tengah, kemudian putih bagai tertutup salju di sisi paling kanannya.
Lisa memandangi lukisan itu, mencari maknanya. Mencari pesan yang ingin pelukisnya sampaikan melalui gambar itu. Namun ia tidak menemukan apapun di sana. Dalam kepalanya, hanya ada dua orang yang duduk di kursi taman itu. Entah siapa dua orang itu, ia tidak bisa melihat wajahnya. "Aku harus menghubungi pelukisnya untuk tahu apa maknanya," gumam Lisa, berjanji pada dirinya sendiri kemudian melanjutkan langkahnya.
Ia terus berjalan, sampai ke halaman galeri dan melihat sebuah bangku taman di sana. Di bangku itu, ia melihat seorang pria duduk, memunggunginya namun ia ingat bentuk bahu itu. Langkahnya berhenti dan detak jantungnya mulai memburu. Detak jantungnya terasa asing, seolah bukan lagi miliknya. Ia tidak mengenali debaran itu, debaran yang berat dan menyakitkan.
"Direktur Lee? Anda baik-baik saja?" tegur seorang karyawan, seorang dengan seragam hitam yang bertugas menjawab pertanyaan semua pengunjung termasuk mengecek tiket masuk.
"Ah? Aku kenapa?" bingung Lisa.
"Anda gemetar, apa anda sakit?" si karyawan ikut bingung.
"Oh? Aku? Sepertinya aku-"
"Lisa," tegur pria yang akhirnya menyadari kehadirannya. Pria yang duduk di bangku taman tadi. "Lama tidak bertemu," susulnya, menyapa dalam bahasa Italia yang sangat ingin Lisa lupakan.
Khawatir akan jadi tontonan orang, Lisa mengajak pria tadi untuk bicara di tempat lain. Pria itu tidak akan pergi meski Lisa mengusirnya, percuma berdebat dengannya. Karenanya, ketika Kai mengatakan kalau ia ingin mengatakan sesuatu pada Lisa, Lisa memberinya sedikit waktu.
Mereka pergi ke cafe, bukan cafe di dalam galeri itu tapi cafe di sebrang jalan. Cukup jauh dari galeri, cukup jauh untuk menghindari rasa penasaran orang-orang. Dari galeri mereka melangkah meninggalkan halamannya. Berjalan di atas trotoar menuju gerbang masuk kemudian menyebrang jalan dan tiba di cafe yang Lisa katakan. Lisa hampir tidak pernah minum kopi di sana.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Kai, dengan suara parau, khas seseorang yang tidak bisa bicara namun memaksakan suaranya untuk keluar. Gadis di depannya berdiri dengan blazer dan celananya, memakai sepatu kets dengan rambut yang ditata rapi, turun di bahu sampai punggungnya. Lisa yang ia kenal tidak berpakaian seperti ini, meski sepatu kets tidak pernah berubah.
"Baik, sangat baik," singkat Lisa. Pria itu tidak berbuah, nilai Lisa. Ia masih memakai kaus polos yang sama di balik kemeja yang juga hitam, tidak pernah dikancingkan. Celana jeans-nya selalu berwarna biru, dengan beberapa garis sobek di lututnya. Sepatunya pun selalu kets, dengan tali yang sesekali lupa ia ikat. Kai tidak mengganti parfumnya, Lisa bisa mencium campuran aroma musk dan kayu saat angin berhembus ke arah mereka. Aroma mentol dari rambut pria itu juga masih sama seperti yang Lisa ingat. Namun Lisa merutuki dirinya sendiri, ia seharusnya melupakan semua itu.
Tiba di cafe, mereka kemudian duduk. Mengambil meja di dekat jendela, duduk berhadapan, merasakan deja vu. Lisa hanya duduk, menekan-nekan kukunya sendiri. Sementara Kau duduk di hadapannya, membaca buku menu. Lisa gugup, begitu juga dengan Kai. Pria itu berusaha membaca menu-menu di depannya, namun ia tidak bisa berkonsentrasi. Satu-satunya yang bisa ia baca hanyalah black coffee. Maka ia pesan minuman itu, "apa yang kau inginkan, Lisa?" tanyanya kemudian, dengan suara yang masih bergetar, menunjukan dengan jelas rasa gugupnya.
"Hanya air, aku sudah minum kopi tadi," jawab gadis itu, dengan suara yang jauh lebih tenang daripada Kai yang bergetar.
"Uhm... Kalau begitu kau mau kue cokelat? Kau suka kue cokelat," tawar Kai namun Lisa menolaknya. Ia merasa kalau dirinya akan muntah jika menelan sesuatu, jadi ia menolak semuanya. Namun rasa gugup yang tidak bisa ia tahan, membuat Lisa mulai mengigiti kukunya sendiri. Sudah lama tidak ia lakukan kebiasaannya itu dan Kai terkekeh karenanya. "Aku tahu tidak ada ibumu di sini, tapi jangan melakukannya. Makan saja kue cokelatnya, jangan kukumu," lembut Kai, yang akhirnya tetap memesan satu potong kue cokelat untuk mereka. Dengan gugup juga, pria itu mengulurkan tangannya, meraih tangan Lisa dan menariknya turun dari bibirnya. Dengan lembut ia hentikan Lisa dan kebiasaannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...