30

461 89 5
                                    

***

Lisa benci menerima panggilan dari nomor telepon yang tidak ia kenal namun dirinya pun tidak ingin menolak semua panggilan dari nomor asing. Ia dan keinginannya yang satu ini benar-benar bertolak belakang. Lepas mengakhiri panggilannya dengan kekasihnya, wanita itu menatap layar handphonenya. Ia coba untuk mengingat-ingat nomor telepon siapa yang ada di sana, namun tidak satu pun nama muncul dalam ingatannya.

"Halo?" sapa Lisa sebelum panggilan itu berakhir, terdengar canggung.

"Ini aku," seorang wanita menjawab sapaannya. Suaranya tidak hanya terdengar sangat familiar, tapi juga terdengar menakutkan. "Jennie," susulnya, berfikir kalau gadis yang ia telepon sudah lama melupakan suaranya.

"Hm, aku tahu," gumam Lisa, jadi semakin pelan di setiap detiknya. "Apa kabar? Lama tidak bertemu," susulnya, sembari meremas kuat-kuat selimut di sebelahnya. Berusaha keras untuk tidak melarikan diri dari panggilan itu.

"Bisa kita bertemu?" tanya Jennie, berpura-pura tidak mendengar basa-basi yang Lisa katakan. Mengabaikan gadis yang ia hubungi, sebab sama seperti Lisa, Jennie juga luar biasa canggung karena panggilan yang ia buat itu. "Ah! Sebelumnya, aku dapat nomor teleponmu dari kepala akademi yang lama."

"Royale Ballet?"

"Hm. Aku yang bertanggung jawab sekarang."

"Kau kepala akademinya sekarang?" ulang Lisa dan Jennie mengiyakannya. Tubuh gadis itu kini merosot turun, meringkuk di ranjangnya sendiri seolah dirinya sedang sangat kecewa karena kekasihnya membatalkan kencan mereka di menit-menit terakhir.

Membayangkan akan terus berhubungan dengan Jennie membuat Lisa ketakutan. Rasa bersalah yang membelenggunya, perlahan-lahan melilit lehernya, mencekiknya. Lisa tahu kalau akademi ballet yang Jennie bicarakan baru saja mengganti pimpinannya. Ia diberitahu beberapa minggu lalu, namun tidak ada seorang pun yang mengatakan kalau orang itu adalah Jennie.

"Kalau kau senggang, bisa kita bertemu?" tanya Jennie sekali lagi. "Tugas pertamaku pertunjukan di akhir semester ini. Mereka bilang petunjukannya biasa dilakukan di galerimu, mereka memintaku menghubungimu."

"Soal itu, kau bisa membicarakannya dengan asisten- ah tidak," bingung Lisa. Haruskah ia menghindari Jennie atau sebaliknya, gadis itu tidak tahu mana yang benar. Akankah Jennie tersinggung kalau ia menghindarinya? Lisa punya banyak sekali kekhawatiran sekarang. "Kita bisa bertemu besok, di galeri, besok siang aku senggang," ralat gadis itu, tanpa sedikitpun keyakinan. Ia tidak yakin apa yang dilakukannya sekarang sudah benar atau justru akan membawa malapetaka baru.

Panggilan itu berakhir tanpa ada pembicaraan lainnya. Mereka membuat janji bertemu kemudian mengakhiri panggilannya. Lepas panggilan terputus, tanpa berfikir Lisa langsung menelepon kekasihnya. "Jadi siapa yang menelepon?" tanya Jiyong begitu ia menjawab panggilan kekasihnya. Tanpa menyapa, tanpa basa-basi.

"Jennie," pelan Lisa.

"Wow! Apa yang dia katakan?"

"Dia mengajakku bertemu, besok, di galeri."

"Wow lagi!" komentar Jiyong. "Untuk apa? Dan siapa yang memberikan nomor teleponmu? Pasti bukan aku!"

"Salah satu akademi ballet yang galeri sponsori," jawab Lisa. "Dia menggantikan kepala akademinya. Kepala akademinya mengundurkan diri beberapa waktu yang lalu, dan Jennie yang menggantikannya."

"Bagaimana bisa?"

"Tidak tahu," geleng Lisa, berbaring resah di ranjangnya sendiri. "Mungkin mereka sudah lama saling kenal. Jennie punya banyak kenalan di Seoul. Dia pertama kali membangun karirnya di sini, bukan di Milan."

"Kalau di Milan kau ratunya, di sini Jennie ratunya?" komentar Jiyong dan kekasihnya hanya mendesah kesal, mengeluh sebal mendengar penilaian itu. "Tapi, saat aku menonton pertunjukannya waktu itu, dia keren. Sepanjang pertunjukan aku bosan, tapi setiap kali dia muncul, aku tepukau. Keren sekali. Meski tidak sampai membuatku menangis seperti saat menonton rekaman pertunjukanmu."

"Kapan? Kapan oppa menangis?"

"Sudah lama," Jiyong menjawab, sembari mengemudikan mobilnya di jalanan yang sekarang berhenti, macet. "Aku tidak ingat apa judulnya. Kau menari dengan gaun hitam bersama seorang pria. Kau terlihat seperti boneka yang diseret dan diangkat berkali-kali. Awalnya aku penasaran, berapa berat badanmu waktu itu? Bagaimana dia bisa dengan mudah mengangkatmu? Kalian kelihatan saling menyukai, tapi saling mendorong, kau melarikan diri dan dia mengejarmu. Lalu kau tertangkap, dia melepaskan pakaianmu dan di saat itu aku menangis. Aku pikir kau akan diperkosa, tapi ekspresimu berubah, kau menikmatinya, bukan diperkosa tapi kalian bersetubuh. Awalnya aku menangis karena sedih tapi setelah itu aku menangis karena kesal. Bisa-bisanya kalian bersetubuh dipanggung? Dengan gerakan yang sangat... Hhhh... Membicarakannya membuatku cemburu lagi."

"Lady of the Camellias?"

"Mungkin itu judulnya. Ballerino-nya bukan Kai atau Joohyuk."

"Hm... Judulnya Lady of the Camellias, aku jadi pelacur di pertunjukan itu. Lalu aku jatuh cinta pada seorang pria dan dihukum karenanya."

"Kenapa?"

"Jatuh cinta itu hukuman untuk seorang pelacur. Aku ingin berhenti dari pekerjaanku, tapi aku punya hutang dan sakit-sakitan, tuberkolosis kalau di naskahnya. Biaya hidupku juga tinggi, aku tidak bisa berhenti kerja begitu saja tapi aku sangat menyukai pria itu jadi aku bingung, karena itu dia mengejarku dan aku melarikan diri."

"Bagaimana akhirnya? Aku tidak menonton sampai akhir karena kesal."

"Ada banyak versi, tapi dalam pertunjukan itu aku mati, karena penyakitku."

"Ah... Sad ending?"

"Menurutku itu happy ending karena aku sangat bahagia saat mati."

"Kau pernah melakukan pertunjukan itu dengan Kai atau Joohyuk?"

"Tidak," katanya. Lisa bahkan tidak pernah berdiri dipanggung yang sama dengan Kai karena cideranya. "Tidak pernah sama sekali dengan Kai, kalau dengan Joohyuk beberapa kali, tapi bukan sama-sama tokoh utamanya," susulnya, yang secara tersirat mengatakan kalau ia dan Joohyuk berada ditingkat kemampuan yang berbeda. Joohyuk lebih berbakat dalam berakting daripada menari ballet, begitu penilaian Lisa.

Mereka berbincang hampir 60 menit, sepanjang perjalan Jiyong menemui Nara. Jalanan yang macet membuat pria itu tidak bisa memacu mobilnya lebih cepat. Tiba di hospice, Jiyong langsung menemukan Nara yang ia cari. "Lisa benar-benar jenius," komentarnya setelah ia mengakhiri panggilannya lima menit lalu dan kini ia lihat Nara ada di tempat parkir, sedang saja berpamitan dengan perawat yang menjaga ayahnya di sana.

Nara akan pergi dengan sebuah taksi ketika Jiyong datang. Keduanya saling bertatapan sesaat setelah Jiyong keluar dari mobilnya namun Nara menghindari pria itu. "Jangan pergi sekarang, tetap lah di sini," kata Jiyong sembari menghampiri Nara di taksinya.

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang