38

456 85 4
                                    

***

Malam sudah sangat petang ketika Lisa melangkah keluar dari ruang kerjanya. Sudah hampir tengah malam dan kini isi kepalanya kosong. Sembari melangkah, gadis itu menelepon kakaknya. Bukan hal yang biasa ia lakukan, sampai mata Minho berkali-kali mengerjap, tidak percaya dengan nama yang muncul di layar handphonenya.

"Tidak biasanya-"

"Oppa di rumah?" potong Lisa. "Aku rasa, aku tidak bisa pulang malam ini. Aku akan menemui Jiyong oppa dan bertengkar sekali lagi dengannya," susul gadis itu tanpa membiarkan kakaknya berkomentar.

"Kau akan tidur dengannya setelah semua yang dia lakukan? Kenapa tidak putus saja?" balas Minho. "Akan aku carikan pria yang lebih baik," susulnya.

"Kalau hanya karena masalah ini kami putus, aku tidak akan mengencaninya," balas Lisa, masih melangkah dalam galerinya yang gelap dan sepi. "Tapi aku tidak berencana tidur dengannya. Bahkan sepertinya aku tidak akan tidur malam ini. Jiyong oppa sedang sibuk sekarang, dia pasti ada di studionya. Aku hanya ingin bilang kalau aku tidak pulang, tidak ada yang lainnya."

"Pertimbangkan sekali lagi hubunganmu-"

"Dia tidak berselingkuh atau berhenti menyukaiku, kenapa harus putus? Aku masih bisa merasakan perasaannya. Sudah ya? Aku harus menyetir," katanya, sekali lagi menyela ucapan Minho meski kakinya bahkan belum keluar dari gedung galerinya itu.

Lisa melangkah keluar setelah menyimpan handphonenya ke dalam tasnya. Kakinya berjalan ke tempat parkir, tenang tanpa prasangka. Tapi begitu ia tiba di mobilnya, gadis itu membeku, pasalnya Kai berdiri di sana, bersandar pada kap depan mobilnya dengan kepala tertunduk.

Ingatannya akan kata-kata yang keluar dari mulut Jennie kembali muncul, membuatnya berdecak sebal— "baru saja aku mengosongkan isi kepalaku," gumam gadis itu dengan sangat pelan. Ia sempat ragu, melanjutkan langkahnya sampai ke mobilnya atau berbalik, merubah arah dan rencananya. Ia bisa menelepon Jiyong dan meminta pria itu menjemputnya, atau sekedar menelepon taksi untuk mengantarnya menemui kekasihnya. Namun belum sampai ia berhasil membuat keputusan, Kai sudah lebih dulu mengangkat kepalanya, menangkap Lisa dengan matanya.

"Aku menunggumu," kata Kai, berjalan menghampiri Lisa sembari melepaskan mantel yang ia pakai. Lisa hanya memakai blazernya dan pria itu ingin menghangatkannya dengan mantel miliknya.

"Tidak, terimakasih," tolak Lisa kepada mantel yang terulur. Gadis itu bergerak mundur, menjaga jarak aman dari Kai. Ia tidak ingin terjebak dalam skandal apapun. "Kenapa menungguku?" susul Lisa, setelah matanya menangkap sedikit rasa kecewa di wajah Kai.

"Ada yang ingin aku bicarakan," tenang Kai.

Kai mengajak Lisa untuk bicara di tempat yang lebih nyaman. Di dalam mobilnya, atau pergi ke sebuah restoran yang masih buka. Namun Lisa menolaknya, gadis itu lebih memilih untuk bicara di sana, di tempat parkir yang masih terang meski sepi.

Keduanya berdiri di depan kap mobil Lisa, sama-sama bersandar ke kap mobilnya. Lampu taman di sebelah mobil Lisa menyala terang di atas mereka, beberapa lampu lainnya juga menyala terang, membuat Lisa bisa berharap kalau kesalahpahaman dan skandal lainnya tidak akan mengingkat kakinya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Kai dan Lisa menganggukan kepalanya.

"Ya. Terimakasih karena sudah menolongku kemarin lusa. Meski bisa membalas anak-anak itu, aku tidak boleh melakukannya. Terimakasih karena sudah datang dan melerai, mengantarku pulang lalu membelikan obat," jawab Lisa, mengatakan satu dari banyak hal yang ingin Kai dengar darinya malam itu.

"Di sana perbedaan antara aku dan kekasihmu," pelan Kai.

"Ya?"

"Kekasihmu tidak melakukannya. Dia tidak peduli kau terluka atau tidak. Dia membiarkan fansnya melukaimu, dan aku tidak akan pernah melakukannya," tegas Kai, membuat Lisa kemudian menganggukan kepalanya seolah menyetujui kata-kata Kai.

"Kau benar," angguk Lisa. "Dia berbeda darimu. Dia tidak datang menyelamatkanku saat aku dipukul fansnya kemarin lusa, dia juga tidak membelikanku obat. Di tiga fakta itu, kau benar. Tapi bukankah kepedulian jadi terlalu klise kalau hanya itu contohnya? Cara seseorang menunjukkan bagaimana kepeduliannya tidak selalu sama, bukan begitu?"

"Kau masih saja membelanya," cibir Kai, sempat menoleh dan menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan raut wajahnya yang kesal. "Menurutmu kenapa semua ini jadi seperti ini? Kekasihmu mempublikasikan hubungan kalian setelah dia ketahuan berselingkuh dengan wanita itu. Kau yang memintanya? Karena takut kehilangannya? Uangnya? Ku dengar dia akan mengadakan pameran di sini, kau takut dia membatalkan pameran itu kalau kalian putus? Karena itu kau ingin mempublikasikan hubungan kalian? Agar dia tidak bisa sembarangan mencampakkanmu lalu berkencan dengan wanita itu? Berengsek."

"Aku tidak tahu kenapa aku harus menjelaskan masalah asmaraku padamu," kata Lisa menanggapi. "Aku merasa tidak perlu menjelaskan apapun padamu."

"Kau pergi dariku untuk pria sepertinya? Padahal aku menunggumu, selalu menunggumu."

"Aku pergi darimu karena merasa sangat kotor. Merasa bersalah pada Jennie, pada Joohyuk juga, padamu juga," kali ini Lisa menoleh ke samping, melihat Kai yang berdiri di sebelahnya. "Bisa kita berhenti sekarang? Apapun yang kau katakan, sekeras apapun kau meyakinkanku, meski aku harus putus dengan kekasihku, aku tidak akan kembali padamu. Tidak ada lagi harapan untuk kita. Kesalahan itu tidak boleh terjadi lagi."

Kai menegakan kakinya, ia berhenti bersandar, melangkah dan berdiri di sebelah Lisa. Hanya dengan berdiri, tanpa sentuhan, ia memojokkan gadis itu di kap mobilnya sendiri. "Kenapa kau terus menyebutnya kesalahan?" tanyanya. "Dulu kau mencintaiku, jantungmu berdegup kencang karenaku, kenapa itu jadi kesalahan?" susulnya, menatap tajam mata Lisa yang kini mulai gugup, mulai gelisah, khawatir Kai akan melukainya, khawatir akan ada seseorang yang melihat mereka.

"Ya, jantungku pernah berdegup sangat cepat karenamu," kata Lisa dengan penuh kehati-hatian. Ia pikirkan hal terburuk yang mungkin akan Kai lakukan, berusaha mencari jalan keluar untuk mencegah kemungkinan itu. "Seperti saat kau menolongku kemarin lusa, jantungku juga berdebar sangat kencang. Aku merasa tersentuh, tapi itu bukan cinta. Jantungku akan berdebar lebih kencang saat ada pria manapun yang menolongku, sekarang ataupun dulu. Dulu saat kau menghiburku, jantungku berdebar sangat kencang dan aku pikir itu cinta. Tapi sekarang aku tahu kalau itu bukan cinta. Itu hanya... Perasaan sesaat, yang justru menghancurkan banyak hal, karena itu aku berhenti. Kau juga harus berhenti."

Hal paling buruk yang mungkin Kai lakukan— dalam bayangan Lisa— adalah menciumnya. Gadis itu sudah siap menghindar kalau Kai benar-benar akan menciumnya. Namun yang Kai lakukan justru jauh di luar perkiraan Lisa. Pipinya ditampar, dipukul dengan sangat keras hingga tubuhnya ikut tersungkur ke atas aspal. Dunia Lisa seakan berhenti bergerak saat tangan lebar itu menjatuhkannya. Angin yang terbentuk dari gerak tangan Kai membuat dengung menyakitkan di telinganya.

"Kau membuatku kehilangan kesabaran, Lisa. Kau seharusnya tidak melakukan ini padaku," bisik Kai, tanpa sedikit pun rasa bersalah yang terasa dari nada bicaranya.

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang