20

491 91 3
                                    

***

Ini masih tentang dua tahun yang lalu. Setelah meneguk segelas red wine di pagi buta, Jiyong bangkit dari duduknya kemudian menutup kembali botol wine itu di meja makan. Lisa mengikutinya, berjalan ke meja makan di depan dapur dan bertanya alasan Jiyong menutup kembali wine yang harusnya menenangkan pria itu. Setidaknya, alkohol dalam wine itu bisa membantu Jiyong untuk tidur dan melupakan sebentar sakit hatinya, begitu yang Lisa pikir.

"Aku selalu minum sampai mabuk setiap kali sakit hati, stress, atau depresi, dengan temanku atau sendirian. Biasanya aku melakukan itu karena tidak ingin membicarakannya. Minum saja sampai pingsan, jadi aku tidak perlu menceritakan apapun. Aku berencana mengajakmu begitu hari ini, tapi kau tidak mau bolos kerja untukku," kata Jiyong.

"Jadi ini salahku? Kau datang untuk memintaku bolos kerja dan menemanimu mabuk-mabukan?"

"Kau memberiku ide untuk melakukan hal lainnya," jawab Jiyong. "Aku ingin memberitahumu semua perasaanku, pagi ini. Sampai waktunya kau bekerja nanti."

"Kenapa?"

"Karena sepertinya kau juga perlu melakukannya. Aku akan memberitahumu satu persatu rahasiaku dan kau juga akan melakukan hal yang sama."

Lisa menggelengkan kepalanya. Ia menolak rencana Jiyong itu kemudian duduk di meja makan, memperhatikan langit gelap di balik pintu balkon yang masih terbuka. Ia tidak ingin menceritakan apapun. Ia tidak ingin membicarakan ingatan yang sangat ingin dilupakannya.

Namun meski begitu, tanpa sadar Lisa menceritakan sedikit demi sedikit masa lalunya. Ia beritahu Jiyong tentang kesalahannya, penyesalan, juga neraka yang pernah ia tinggali. "Kali terakhir aku bertemu dengan temanku itu, kami bertemu di depan gedung opera. Dia baru saja menyelesaikan pementasannya, hari itu ada pementasan besar dan dia berdiri di panggung sebagai Black Sawn. Setelah pementasan itu, aku menjemputnya dengan mobil ibuku. Aku mencuri mobil itu saat ibuku tidur. Kami pergi berdua dan aku mengakui dosaku. Dia sudah tahu kalau aku berselingkuh dengan kekasihnya, dia sempat menolak untuk pergi denganku. Tapi aku memaksa dan di perjalanan kami bertengkar. Kami kecelakaan, kaki kami cidera dan kami harus di rawat di rumah sakit. Ibuku marah sekali, karena satu minggu setelah kecelakaan itu aku harusnya menari di opera, menjadi tokoh utamanya. Ibuku sangat mengharapkan penampilan itu."

"Lalu hubunganmu dengan temanmu?"

"Tentu saja memburuk, jadi semakin dan sangat buruk. Aku merebut kekasih dan kakinya, meski kakiku juga cidera. Kami berdua sama-sama diberitahu kalau kami mungkin tidak akan bisa menari lagi. Waktu itu adalah saat-saat yang paling depresif untukku. Pasti begitu juga untuk temanku, kekasihku dan mungkin pria yang selingkuh denganku. Aku sempat berpikir kalau aku dan pria yang selingkuh denganku akan langsung sadar setelah kecelakaan itu. Ini hukuman karena dosa yang kami buat, aku pikir kami akan berfikir begitu tapi ternyata tidak. Hanya aku yang berfikir begitu. Pria yang selingkuh denganku justru meninggalkan kekasihnya untukku. Lalu kekasihku meninggalkanku. Dia tidak benar-benar meninggalkanku, dia hanya bilang dia tidak ingin menari lagi, dia ingin menemaniku tapi pria yang selingkuh denganku jadi semakin posesif dan mendorong kekasihku menjauh."

"Wah... Dia sangat mencintaimu," komentar Jiyong. "Maksudku pria yang selingkuh denganmu."

"Tapi perasaan itu membebaniku karena aku kehilangan banyak hal setelah berselingkuh dengannya. Jadi aku meninggalkan mereka semua. Aku melarikan diri, sendirian."

Lalu malam ini, dalam perjalanannya pulang setelah memperbaiki handphone Lisa, Jiyong mengingat pertemuan dan semua pembicaraan mereka dua tahun lalu. Lisa pun mengingat semua cerita Jiyong pagi itu, tentang Nara juga Soohyuk. Tentang bagaimana perasaan Jiyong terhadap kedua sahabatnya.

Di tengah perjalanan menuju rumahnya— lagi— Lisa menatap wajah pria yang menyetir untuknya. Dengan tangan yang perlahan terulur untuk mengusap bahu kekasihnya, gadis itu berucap, "Nara eonni benar-benar menyebalkan saat aku bertemu langsung dengannya," kata Lisa. "Apalagi saat dia memarahiku karena aku membuatmu kelihatan tidak profesional dan pergi dari studiomu, aku langsung kesal sekali."

"Aku akan menggantikannya untuk minta maaf, itu kebiasaan yang sulit dia rubah, marah-marah," jawab Jiyong.

"Tidak," Lisa menggeleng. "Karena oppa menyinggung hari kau melarikan diri dari Jepang karenanya, aku tidak jadi marah. Aku jadi ingat alasanmu pernah sangat menyukainya sampai memintanya berkencan denganmu. Dia satu-satunya orang yang mendukung mimpimu, saat semua orang menentang mimpimu. Saat oppa masih trainee, dia banyak membantumu, memelukmu, menemanimu menangis saat latihan terasa sangat berat bagimu. Karena itu, dia pernah sangat baik padamu, jangan terlalu ketus padanya."

Sekilas Jiyong melirik kekasihnya. Alisnya terangkat, merasa heran dengan kata-kata kekasihnya. Merasakan keheranan yang Jiyong tunjukkan, Lisa kembali mengusap bahu pria itu. Ia ingin memeluk pria itu, namun tangan yang harus memegang roda kemudi membuat ia menunda keinginannya.

"Aku cemburu sekali pada Nara eonni," kata Lisa, menjawab rasa heran Jiyong satu persatu. "Beberapa perempuan akan menganggap oppa dan Nara eonni tidak menghargaiku sebagai kekasihmu. Tapi aku memahami perasaanmu, sulit memilih antara kekasihmu sekarang atau sahabat yang sudah menemanimu selama masa sulitmu. Sebelum aku berkencan denganmu, Nara eonni yang ada di sisimu. Aku juga tidak ingin sakit hati kalau bertanya, siapa yang akan oppa pilih, antara aku atau Nara eonni. Karena itu, berusaha lah untuk bersikap adil. Perlakuan aku seperti kekasihmu dan perlakuan Nara eonni seperti sahabatmu. Tidak perlu memilih salah satu di antara kami, tapi cobalah untuk menjaga sikapmu. Jangan lakukan hal-hal yang akan membuatku salah paham, seperti pergi saat menelepon tadi, padahal oppa tidak pernah melakukan itu sebelumnya."

Jiyong meminta maaf begitu Lisa selesai bicara. Ia minta maaf karena membuat Lisa merasa tidak nyaman saat menjawab telepon tadi dan mobil mereka tiba lagi di tempat parkir apartemen Lisa. Setelah mematikan mesin mobilnya, Jiyong menggeser duduknya. Ia lihat gadis yang duduk di sebelahnya, kemudian mengulurkan tangan untuk memeluk gadis itu.

"Aku janji, aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik. Kau gadis paling menyenangkan yang pernah aku kencani," bisik pria itu sembari mengusap helai rambut kekasihnya.

Lisa balas memeluk. Ia anggukan kepalanya untuk mengiyakan janji yang Jiyong buat. Mereka harus berpisah sekarang, namun Jiyong belum mau melepaskan pelukannya. Sekali, pria itu melepaskan pelukannya, namun didetik berikutnya ia peluk lagi kekasihnya.

"Jangan berlebihan," bisik Lisa. "Aku tidak sedang bersikap baik padamu, oppa. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Oppa juga begitu, oppa tidak sedang dimarahi, atau dihukum, atau diancam, oppa juga hanya perlu melakukan apa yang harus oppa lakukan. Tidak ada yang spesial, iya kan?" kata gadis itu sembari melepaskan pelukan kekasihnya.

"Ada yang spesial," Jiyong membuka mulutnya.

"Apa?"

"Aku merasa spesial setiap kali kita baru bertengkar, kau marah atau aku marah."

"Kenapa?"

"Karena kita selalu punya cara untuk berbaikan. Ah... Kita berhasil lagi kali ini. Kita menyelesaikan satu lagi masalah hari ini. Aku jadi merasa lebih dekat denganmu. Tapi ini tidak berarti aku ingin terus bertengkar denganmu."

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang