29

402 93 1
                                    

***

Nara sudah pergi ke bandara ketika Jiyong tiba di rumah gadis itu. Ia masih berusaha menelepon Nara, tapi panggilannya diabaikan. Mencari gadis itu di bandara juga rasanya sia-sia, sebab penerbangan ke Jepang baru saja berangkat lima menit lalu, sebelum Jiyong tiba. Merasa kalau dirinya sudah jauh tertinggal pria itu mempertimbangkan untuk terbang ke Jepang.

Tidak ada passport ditangannya sekarang, ia tidak bisa serta merta membeli tiket dan terbang ke Jepang. Sembari duduk di mobilnya, pria itu terus menimbang-nimbang. Ia telepon Nara, namun panggilannya tetap diabaikan. Rasa khawatirnya jadi semakin besar, hingga akhirnya pria itu menyerah dan menelepon kekasihnya— meminta untuk dibuatkan keputusan.

"Dimana kau sekarang?" tanyanya begitu Lisa menjawab panggilannya.

"Baru saja sampai di rumah," jawab sang kekasih. "Bagaimana? Nara eonni baik-baik saja?" tanyanya kemudian.

"Tidak tahu," Jiyong mulai bicara. "Aku meneleponnya berkali-kali tapi panggilanku terus dialihkan, dia tidak menjawabnya. Aku sudah ke rumahnya tapi Bibi di rumahnya bilang dia sudah ke bandara, pesawat ke Jepang baru saja terbang sekitar lima belas menit yang lalu, tapi mereka tidak bisa memberitahuku Nara ada di dalam pesawat itu atau tidak, kekasihnya juga tidak tahu dimana dia sekarang," ceritanya, lantas bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Hm... Lalu kenapa meneleponku?" tanya Lisa kemudian, disusul suara jatuhnya sebuah tubuh ke ranjang yang empuk. Gadis itu baru saja berbaring, menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang nyaman.

"Apa aku boleh ke Jepang?" tanya Jiyong, membuat Lisa berseru hampir berteriak karena terkejut.

"Ya?! Apa katamu?!" kaget Lisa. "Oppa mau pergi ke Jepang untuk Nara? Ditengah-tengah jadwalmu sekarang?"

"Ada penerangan ke Jepang tiga jam lagi. Kalau aku pergi sekarang, aku bisa kembali besok pagi, dengan pesawat pertama. Seoul ke Tokyo hanya perlu dua jam. Tidak apa-apa, kan?" kata pria itu, seolah Lisa yang mengatur seluruh aspek kehidupannya. Seolah ia tidak akan pergi jika Lisa melarangnya. "Aku benar-benar khawatir sekarang, meski tetap di sini aku tidak yakin aku bisa fokus pada pekerjaanku," katanya bersikeras.

"Oppa, aku akan sangat cemburu kalau kau pergi ke Jepang untuk wanita lain sekarang," kata Lisa, kembali bangun setelah mendengar rencana kekasihnya itu. "Apalagi setelah aku tahu kalau wanita itu menyukaimu. Apa yang oppa harapkan dariku? Mengizinkanmu pergi? Atau mengemasi pakaianmu dan mendukungmu menemui wanita lain?" Lisa benar-benar heran dengan isi kepala Jiyong sekarang.

"Kau marah? Tapi aku tidak marah karena hubungan masa lalumu. Aku juga tidak marah saat kau bertemu dengan Kai dan hanya bilang kalau pria itu bukan siapa-siapa. Apa kau tidak bisa membantuku kali ini? Buatkan aku keputusan atau setidaknya jangan marah," kata pria itu.

Jiyong bersandar pada kursi mobilnya. Ia usap wajahnya, kemudian rambutnya, keresahan memenuhi dirinya. Meski merasa kalau dirinya sedikit keterlaluan sekarang, namun ia tidak bisa menahan dirinya sendiri. Ia butuh bantuan dan menurutnya, kekasihnya bisa membantu.

"Oppa akan menuruti kata-kataku kalau aku membuatkanmu keputusan?"

"Aku akan mempertimbangkannya."

Meski baginya Nara sangat menyebalkan, namun gadis itu pernah sangat baik pada kekasihnya. Meski baginya Nara hanya duri yang akan mengganggunya, tapi bagi Jiyong gadis itu cukup penting untuk dianggapnya sebagai sahabat. Jiyong pun tidak menyalahkannya karena Kai, jadi setelah menghela nafasnya, Lisa kembali bicara.

"Aku tidak tahu separah apa keadaannya," kata gadis itu. "Aku tidak akan bertanya. Tapi oppa tidak tahu dia ada dimana sekarang. Oppa tidak tahu dia ada di sini atau sudah kembali ke Tokyo. Penerbangan ke Tokyo dua jam, tunggu dulu dua jam, lalu cari dia lagi. Minta temanmu yang ada di Tokyo untuk mencarinya di bandara. Kalau dia benar-benar ada di Tokyo, oppa bisa pergi ke sana, setelah yakin dia ada di sana. Tapi kalau oppa sudah terlanjur ke Tokyo dan ternyata dia ada di sini, kau harus menunggu penerbangan lain lagi. Itu buang-buang waktu."

"Sayang," panggilan Jiyong kemudian.

"Kalau kau marah atau merasa ingin bersembunyi, beritahu aku dulu, oke? Jangan membuatku bingung begini, ya?"

"Kalau begitu jangan membuatku ingin pergi," balas Lisa. Ia bisa merasa sedikit tenang sebab rasanya Jiyong akan menyetujui saran yang ia berikan. Pria itu tidak lagi berencana pergi ke Jepang hanya untuk mencari Nara.

"Aku merasa ini tidak benar," gumam Jiyong kemudian. "Tapi aku sangat khawatir. Beberapa tahun lalu Nara sangat terkenal, sebagai anak hasil perselingkuhan. Ayahnya ternyata sutradara senior yang sudah berkeluarga, ibunya aktris figuran yang tidak terlalu terkenal. Aku sudah lama tahu siapa ayah dan ibunya, apa hubungan mereka dan bagaimana mereka hidup, tapi kami merahasiakannya. Lalu tiba-tiba ayahnya sakit, istri sahnya tidak mau mengurusnya. Wajar saja, suaminya sudah berselingkuh belasan tahun. Nara dan ibunya yang mengurus sutradara itu. Tetap wajar, mereka hanya mengurus ayah dan kekasih yang sakit. Tapi, istri sahnya justru marah, perkara warisan. Mungkin dia gugup, khawatir suaminya akan memberikan semua hartanya pada selingkuhan dan anak mereka, jadi dia memberitahu reporter tentang perselingkuhan suaminya, semuanya, sampai dimana dan apa yang sedang Nara lakukan. Semua orang tertarik padanya dan bagaimana ia hidup, lalu mencacinya."

"Padahal Nara eonni tidak melakukan kesalahan apapun," gumam Lisa. "Ah... Berarti alasannya memberitahuku tentang rencana Kai, bukan untukku atau untukmu, tapi untuk anak yang ada di foto itu? Orang-orang pasti penasaran dengan siapa anak itu. Seperti orang-orang penasaran padanya."

"Kelihatannya begitu," balas Jiyong. "Lalu bagaimana sekarang? Kalau kau ada di posisinya, apa yang lakukan?"

"Menemui orangtuaku?"

"Whoa! Lalisa! Kau jenius!" seru Jiyong, bergegas duduk tegak sembari menyalakan kembali mobilnya. "Dia tidak mungkin pulang tanpa menemui ayahnya lebih dulu," suw⅜sul Jiyong, mulai melaju dengan mobilnya.

"Dimana ayahnya?"

"Hospice," jawab Jiyong sembari mengemudi. "Tapi kau tidak menemui Kai hari ini? Aku rasa mencegahnya melakukan rencana itu lebih baik daripada diam saja," katanya kemudian, masih sembari mengemudi, dimana suara kekasihnya memenuhi mobil itu.

"Besok saja," tenang Lisa. "Besok aku mulai kembali bekerja, dia pasti ada di galeri. Dia pasti menunggu di sana. Tapi yang membuatku penasaran, bagaimana Kai bisa bertemu Nara eonni?"

"Mungkin Kai menghubunginya? Atau Nara yang menghubunginya, mereka sempat bertemu di kantor polisi kemarin. Kalau apa yang mereka bicarakan saat bertemu, aku tidak ingin membayangkannya."

"Kenapa?"

"Lebih baik kita tidak tahu apapun, daripada kecewa-"

"Oh! Astaga! Kwon Jiyong! Kau memberi nomor teleponku pada siapa lagi?!" panik Lisa kemudian, sebab ada panggilan lain yang masuk ke handphonenya. Panggilan dari nomor yang tidak pernah ia simpan.

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang