***
Mereka tiba di kediaman sang bintang diwaktu yang hampir bersamaan. Saat Jiyong datang, kekasihnya masih ada di depan pintu, sedang menekan kode pintu. Karena tahu Lisa ada di rumahnya, Jiyong turun dari mobil sendirian. Ia tidak butuh managernya, sebab kekasihnya ada di sana untuk menemaninya.
Begitu tubuhnya ada tepat di depan kekasihnya, Jiyong merengkuh gadis itu, membawanya ke dalam pelukan. "Maaf karena membuatmu khawatir," bisik pria itu, sembari mengusap rambut gadis yang juga balas memeluknya.
Mereka harusnya masuk untuk melanjutkan pelukan itu, atau setidaknya mengurai kesalahan pahaman. Tapi Lisa enggan untuk melepaskan pelukannya. Tanpa mengatakan apapun gadis itu tetap melingkarkan tangannya, memeluk kekasihnya dengan kedua mata yang ia biarkan terpejam. Pikirannya kosong, namun tidak berarti ia bisa merasa tenang sekarang.
"Aku ingin sekali melarikan diri," bisik gadis itu setelah beberapa detik mereka diam dalam posisi yang sama. "Tapi aku berusaha keras untuk tidak melakukannya," susulnya.
"Jangan melarikan diri," balas Jiyong. "Aku butuh teman sekarang," susulnya.
Pelan-pelan ia lepaskan pelukan mereka, mendorong kekasihnya menjauh untuk bisa menatap wajahnya. Ia perhatikan garis wajah kekasihnya kemudian mengulas sebuah senyum di wajahnya sendiri. Lisa kelihatan lelah sekali— katanya, disusul sebuah ajakan untuk masuk dan segera beristirahat.
Tidak ada alasan untuk menolak, jadi gadis itu mengikuti tuan rumahnya, melangkah masuk kemudian duduk di sofa. Ia bersandar pada sandaran sofanya dan Jiyong duduk di sebelahnya, melakukan hal yang sama. "Hari ini masalah datang bersamaan," kata Jiyong membuka pembicaraan sembari menatap pantulan bayang-bayang kekasihnya di layar TV yang gelap. "Kau bertemu dengan sahabatmu, mantan kekasihmu dan kalau tebakanku benar, pria yang memukulku tadi, dia kekasih sahabatmu."
"Mantan," ralat Lisa. "Mantan kekasihku, mantan sahabatku, dan mantan kekasih sahabatku."
"Apa hari ini hari penting? Kenapa mereka datang bersamaan? Ada tujuh hari dalam seminggu, tapi kenapa mereka muncul bersamaan hari ini?" heran Jiyong. "Kau pasti sangat lelah. Kasihan sayangku, maaf karena membuatmu bertemu dengannya, aku tidak tahu kalau Nara menghubungimu. Kalau aku tahu lebih awal, aku akan melarangnya menghubungimu," susulnya, kembali menarik Lisa masuk dalam rangkulannya, bersandar pada bahunya.
"Kenapa minta maaf," dengan lembut ia peluk lagi pria itu, melingkarkan tangannya di perut kekasihnya lalu menyandarkan kepalanya pada tubuh Jiyong. "Oppa yang dipukul, kenapa oppa yang minta maaf? Kau dipukul karenaku, harusnya aku yang minta maaf. Pasti sakit, augh... Wajahmu yang tampan jadi lecet," keluhnya, dengan nada rendah yang cenderung datar, tanpa tenaga.
Lisa kelelahan, terlalu lelah bahkan untuk berdebat, padahal ia kecewa karena Nara yang menemani Jiyong ke kantor polisi, juga ke rumah sakit. Ia kecewa karena Nara yang ada bersama Jiyong di saat-saat menyebalkan itu, bukan dirinya. Ia pun ingin tahu, apa yang Jiyong bicarakan dengan temannya sampai Kai salah paham lalu menyerang kekasihnya. Ada banyak sekali tanda tanya. Ada bertumpuk-tumpuk rasa ingin tahu, namun ia terlalu lelah untuk bisa mengatasi informasi itu.
"Oppa?" Lisa akhirnya membuka mulutnya.
"Hm?"
"Dokter bilang tidak terlalu parah kan?"
"Hm... Hanya memar dan lecet, akan sembuh beberapa hari lagi."
"Syukurlah," tenang gadis itu, disusul sebuah kecupan ringan yang lembut di pipi Jiyong. "Kalau begitu, oppa tidak perlu menuntut-"
Jiyong menyelanya. Ia hentikan Lisa yang sedang bicara dengan sebuah gerakan lembut, pria itu bangun dari sofa, berdiri di depan Lisa dan mengulurkan tangannya. Ia ajak kekasihnya untuk bersiap-siap tidur, menolak membicarakan hal yang ingin Lisa singgung. Pria itu bisa memahami perasaan Lisa, ia tidak akan marah pada Lisa hanya karena kedatangan Kai yang sangat tiba-tiba.
Jiyong tidak ingin bertengkar dengan Lisa hanya karena Kai, namun hal itu tidak berarti kalau ia bisa memaafkan Kai. Ia sudah dilukai, diserang, dipermalukan. Tidak mudah bagi Jiyong untuk membiarkannya begitu saja. Tidak mudah untuk mengabaikan Kai yang sudah datang dengan begitu lancang.
Tahu kalau suasana hati mereka sama-sama buruk, keduanya mengalah. Mereka menunda pembicaraan sensitif itu untuk sejak saja beristirahat. Sampai pagi datang, sampai mereka siap untuk menyampaikan perasaan masing-masing.
Kai pergi ke galeri tempat Lisa bekerja keesokan harinya. Tepat begitu ia bangun dari tidurnya yang jauh dari kata nyenyak, pria itu bergegas pergi menemui Lisa. Ia tidak tahu dimana rumah gadis itu, meski dirinya sudah menduga kalau Lisa pasti sedang bersama kekasihnya sekarang. Sayangnya Kai tidak bisa menemui Lisa di rumah kekasihnya. Pria kekar yang menjaga keamanan di sana, melarang Kai masuk kecuali pria itu bisa menghubungi Jiyong dan Jiyong mengizinkannya masuk. Keamanan di rumah Jiyong jauh lebih baik daripada di rumah Lisa.
Hari sudah siang, namun Kai belum juga menemukan Lisa. Gadis itu tidak datang ke galeri meski Kai sudah berjam-jam menunggunya. Wanita yang justru muncul adalah Nara, datang dengan sebuah taksi dan turun tepat di depan pintu utama galerinya. Wanita itu bertatapan dengan Kai, yang menunggu di pekarangan galeri, namun memutuskan untuk mengabaikan Kai sampai Kai melangkah dengan kakinya, menghampiri Nara.
Nara menatap Kai untuk beberapa detik, begitu juga dengan Kai yang memandangi wajahnya. Setelah sedikit basa-basi tentang kejadian semalam, Kai kemudian mengajak Nara untuk bicara dengannya. Pria itu mengajak Nara ke cafe di dalam galeri itu dan setelah memesan kopi mereka, tanpa berbasa-basi lagi, Kai mengatakan apa yang ia inginkan. "Aku dengar semua yang kalian bicarakan tadi malam. Kau menyukai pria itu, tapi dia menolakmu karena Lisa," kata Kai, membuat Nara yang sedari awal merasa tidak nyaman lantas mengerutkan dahinya.
"Aku dan Lisa saling mencintai, tapi pria yang kau sukai menghalangi hubungan kami," susul Kai membuat Nara semakin heran, heran karena Kai terlihat sangat tidak tahu malu. Pria itu tahu apa yang terjadi, ia mendengar segalanya, namun ia tetap memukul Jiyong.
"Lalu? Kau berencana merusak hubungan mereka?" tanya Nara dan Kai menggeleng dengan sedikit senyum sinis di wajahnya.
"Tidak," sanggah Kai. "Aku hanya ingin mengambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku. Kau juga menginginkannya, iya kan? Karena itu kau datang ke sini."
"Bukankah ini terlalu klise? Aku membantumu mendapatkan wanita itu dan kau membantuku mendapatkan Jiyong. Yang seperti itu tidak akan berhasil, jangan mimpi," ketus Nara, lantas bangkit dari duduknya, mengatakan kalau dirinya tidak ingin lagi mendengarkan omong kosong Kai.
Tapi Kai tidak menyerah semudah itu. Ia tahan tangan Nara, kemudian menariknya untuk kembali duduk. Dengan tenang Kai menatap Nara, mengatakan kalau ia tahu cara membuat Jiyong membenci Lisa. "Aku tahu sebuah kejadian dimasa lalu yang bisa membuat pria itu meninggalkan kekasihnya. Kau hanya perlu menceritakan kejadian ini padanya dan semua yang kau inginkan akan datang satu persatu. Ini akan lebih mudah daripada kau datang ke sini dan bertengkar dengan Lisa. Kau hanya perlu menceritakan apa yang kau dengar, kau tidak akan kelihatan buruk. Kau justru akan jadi gadis baik yang menyelamatkan pria yang kau sukai."
Nara masih diam.
"Kau tidak mempercayaiku?" tanya Kai, tapi Nara tetap diam. Ia penasaran dengan cerita yang Kai janjikan namun masih belum bisa membuat keputusan. "Apa ini bisa membuatmu percaya?" susul Kai, mengeluarkan handphonenya kemudian menunjukan sebuah foto pada Nara. Dalam layar handphone itu, terlihat Lisa yang berdiri di depan cermin, sedang menggendong seorang bayi kecil, dengan Kai di belakangnya, memeluk Lisa sembari mengambil gambar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...