28

454 89 8
                                    

***

"Bayinya mirip denganku? Sungguh? Bukan di edit?" tanya Lisa, tentu pada Nara yang akhirnya gadis itu telepon.

"Mana aku tahu? Kau pernah melahirkan atau tidak? Itu bukan urusanku. Pokoknya kalau sampai Jiyong oppa terluka lagi karena ulahmu, aku tidak akan diam saja," ketus Nara. "Kenapa masa lalumu kotor sekali? Menjijikan," cibir gadis itu namun Lisa tidak punya waktu untuk sakit hati karena ucapannya. Gadis itu menoleh, menatap Jiyong yang samar-samar bisa mendengar pembicaraannya dengan Nara.

"Tidak pernah," pelan Lisa. "Tapi foto apa yang dia bicarakan? Aku tidak pernah berfoto dengan bayi, tidak ada temanku yang punya bayi," bingung gadis itu, mulai mengingat-ingat apa saja yang pernah ia lakukan dengan Kai.

Panggilan itu berakhir karena Nara tidak ingin melanjutkan pembicaraan mereka. Nara bilang dia tidak peduli Lisa pernah punya anak atau tidak, ia tidak peduli dengan apa saja yang mungkin akan terjadi di hidup Lisa. Namun Jiyong bangkit, berkata dengan tenang, "kau tidak pernah punya anak dengan Kai, kan?" tanya Jiyong dan Lisa menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak akan marah, katakan saja yang sebenarnya terjadi, kau tidak pernah punya anak dengan mantan kekasihmu sebelumnya?" tanya Jiyong sekali lagi dan Lisa kembali menggeleng.

"Tidak pernah, tidak mungkin," jawab Lisa, tidak sekedar menggelengkan kepalanya. "Sepanjang tinggal di Milan, aku hampir tidak pernah datang bulan. Jangankan hamil, ibuku bahkan tidak mengizinkanku datang bulan, karena aku tidak bisa menari kalau perutku sakit. Aku benar-benar tidak tahu foto apa yang Nara eonni bicarakan," katanya. Bukan alasan, sebab diet ketat dan suntikan hormon yang rutin ia terima sepanjang karir ballerina-nya membuatnya hampir kehilangan kemampuan reproduksinya.

"Tidak percaya?" tanya Lisa kemudian, sebab Jiyong hanya diam, kelihatan sedang menimbang-nimbang. "Sungguh-"

"Tentu saja percaya," potong Jiyong. "Kau tidak pernah membohongiku, kecuali satu kali dan bukan masalah besar, hanya sedikit... Uhm... Lucu? Imut?"

"Apa maksudmu, oppa? Kapan aku berbohong padamu?"

"Saat kau bilang kalau kau sering tidur dengan semua mantan kekasihmu. Di depanku dan Seunghyun hyung saat Seunghyun hyung mengejekmu. Tidak! Aku bukan anak mama, aku tidur dengan semua mantan kekasihku! Kau pernah bilang begitu. Bahkan sampai sekarang kau masih berbohong. Ah, bukan berbohong... Hanya tidak mengatakannya saja? Sebenarnya aku sudah lama curiga. Tapi sikapmu manis sekali, berpura-pura nakal karena diejek Seunghyun hyung? Itu bukan masalah untukku, jadi aku diam saja. Tapi kenapa ekspresimu begitu?"

"Malu," Lisa menundukkan kepalanya, mengumpat pada dirinya sendiri karena tidak mengingat kebohongannya sekitar dua tahun lalu. Tentu sebelum ia berkencan dengan Jiyong. "Kapan oppa menyadarinya?" susul gadis itu dan Jiyong terkekeh karenanya. Ia tarik handphone Lisa kemudian meletakkannya di meja. Kedua tangan gadis itu kemudian meraih milik kekasihnya, menggenggamnya.

"Saat pertama kali kau menginap di sini. Saat pertama kali kau tidur di sini, kau sangat canggung waktu itu. Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, tidak seperti seorang gadis yang biasa tidur dengan kekasihnya. Aku hampir tidak bisa menahan tawaku waktu itu. Tapi kurasa kau akan malu kalau ketahuan berbohong, jadi aku diam saja," ceritanya, sembari meremas lembut jemari kekasihnya. "Tidak apa-apa, aku tidak bisa berjanji kalau kita tidak akan putus, tapi masalah ini tidak akan membuatku meninggalkanmu. Sekarang Nara sudah memberitahu kita apa yang mungkin Kai lakukan, kita hanya perlu bersiap-siap, coba ingat-ingat kapan kau berfoto dengan Kai?" tenang pria itu.

"Banyak-"

"Wah... Aku tidak mau tahu sebanyak apa kalian berfoto. Bisa kau selesaikan sendiri masalah ini?"

"Bisa. Akan aku selesaikan tanpa melibatkanmu. Sampai oppa selesai promosi album barumu, aku akan berusaha agar tidak ketahuan, kalau kita berkencan," janji Lisa, membuat kekasihnya mengangguk lantas mencium punggung tangannya, berterimakasih juga memeluk tubuh kurus yang lelah itu.

Mereka melanjutkan obrolan itu untuk beberapa menit lamanya, sampai Jiyong yakin kalau kekasihnya baik-baik saja dan pria itu kembali berpamitan. "Boleh aku menemui Nara sebentar?" tanya Jiyong.

"Kenapa?"

"Aku hanya merasa perlu menemuinya."

"Kenapa oppa merasa begitu?"

"Uhm... Hanya kebetulan merasa begitu?"

"Aku tidak boleh tahu alasannya?"

"Bukan," kata Jiyong. "Aku yang tidak boleh memberitahumu alasannya. Masalah privasi, meski kau kekasihku, tapi Nara tidak akan senang kalau aku memberitahumu."

"Oppa terlibat dalam privasi itu?"

"Tidak secara langsung. Hanya kebetulan tahu dan jadi sedikit khawatir."

Jiyong pergi dan Lisa kembali ditinggalkan sendirian.
"Aku penasaran. Ke arah mana aku harus membayangkan privasi itu?"

"Nara sakit, dan mungkin sekarang penyakitnya kambuh, karena itu dia ingin kembali ke Jepang. Hanya itu yang bisa aku katakan."

"Tiba-tiba?"

"Tidak," Jiyong menggeleng. "Kurasa sudah sejak tadi, tapi aku mengabaikannya."

Meski menyadari raut tidak senang dari wajah kekasihnya, Jiyong tetap memilih untuk pergi. Pria itu tetap tersenyum, melangkah dengan tenang mencari kunci mobilnya di meja, sekali lagi berpamitan dan memeluk kekasihnya, seolah-olah ia hanya penasaran. Sama sekali tidak menunjukkan kekhawatirannya, mungkin untuk menghargai Lisa yang dengan sedikit terpaksa membiarkannya pergi.

"Pulanglah setelah merasa lebih baik," pesan Jiyong sebelum pergi. "Aku mungkin akan langsung ke agensi setelah menemui Nara. Tapi kau tidak perlu ke agensi, pulang lah, oppamu pasti penasaran kenapa adiknya tidak pernah pulang setelah dia tinggal di sana," kata pria itu, sembari menyisir rak sepatunya, mencari slippers miliknya.

"Whoa! Aku lupa kalau Minho oppa tinggal di rumahku sekarang," gumam Lisa. "Pantas saja dia terus mengirimiku pesan tadi," susulnya.

"Karena itu, pulang lah dan tinggal di rumah hari ini," tenang Jiyong, menoleh lagi pada Lisa kemudian berpamitan lagi untuk kesekian kalinya. "Aku pergi dulu," katanya, melangkah keluar, menutup pintunya rapat-rapat lalu melangkah pergi. Satu langkah, dua langkah, dan di langkah ketiga pria itu mulai berlari, pergi ke mobilnya secepat yang ia bisa.

Berbeda dari sebelumnya, setelah Lisa tidak bisa melihatnya pria itu terburu-buru menemui Nara. Rasa khawatir memenuhi dirinya sejak panggilan Nara tadi, namun ada Lisa di sana. Gadis itu mungkin akan kecewa kalau Jiyong lebih mengkhawatirkan Nara daripada dirinya. "Harusnya aku pergi setelah dengar dia akan kembali ke Jepang tadi. Augh! Kwon Nara angkat teleponku!" kesal Jiyong, menginjak kuat-kuat pedal gas mobilnya.

***



Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang