***
Lisa menatap marah pada pria yang duduk di sofa rumahnya. Seperti di rumahnya sendiri, pria itu duduk sangat santai di sofa, menonton TV sembari menikmati sepotong roti dengan selai strawberry tanpa memanggangnya. Lee Minho yang menelepon dan ia juga yang ingin tinggal lagi di rumah itu. Lee Minho ingin meninggalkan rumahnya yang mewah untuk tinggal bersama adiknya, secepatnya memperbaiki hubungan mereka.
"Pergi dari sini," usir Lisa begitu datang. Ia jambak Minho, mencoba untuk menarik pria yang sekarang berteriak meski tidak benar-benar bisa menyeretnya keluar. "Aku bilang pergi dari sini! Aku tidak ingin tinggal denganmu!" jerit Lisa, menjambak dan memukuli kakaknya dengan tas bahu yang ia pegang. Di saat seperti itu, satu-satunya yang dapat Minho lakukan hanya berteriak, meminta Lisa berhenti sembari melindungi dirinya.
Tiga puluh menit Lalisa melakukannya, dan Minho mendapatkan beberapa luka lecet di waja serta tubuhnya juga rambut yang sedikit rontok karena dijambak. Minho kemudian mendorongnya, tidak berniat melukainya namun tetap cukup kuat untuk membuat gadis kurus itu jatuh dan duduk di lantai. Begitu ia puas melampiaskan emosinya, gadis itu menangis sembari menunduk menatap lantai.
Di mata Minho, adiknya terlihat seperti seorang gadis kecil sekarang. Gadis kecil yang marah, mengganggu kakaknya kemudian menangis setelah kena satu pukulan. Belum lama ia menangis, pintu depan sudah diketuk. Minho bangkit, berencana membuka pintu itu, melihat siapa yang datang, tapi Lisa menahannya. Tanpa mengatakan apapun, Lisa menyuruh Minho untuk tetap di dalam sementara ia keluar membuka pintunya. Tentu saja masih dengan wajah merah padam yang basah karena air mata dan keringat.
Jiyong yang datang, dan ia kelihatan sangat khawatir begitu melihat Lisa berdiri di depannya. "Tolong beri aku waktu," pinta Lisa, menolak Jiyong untuk masuk ke rumahnya.
"Kau baik-baik saja, sayang?" tanyanya, seolah tidak bisa melihat kalau gadis di depannya terlihat sangat kacau.
"Akan ku coba untuk baik-baik saja. Beri aku waktu, satu hari saja. Setelah ini selesai, aku akan menemuimu. Pergilah dulu," pinta Lisa, yang tanpa menunggu jawaban langsung menutup pintu rumahnya, menguncinya dari dalam juga memasang slot kuncinya, memastikan Jiyong tidak akan bisa masuk meski pria itu tahu kode pintunya.
"Ya. Kau bertengkar dengan G Dragon? Kenapa kau menyuruhnya pergi?" tanya Minho, begitu Lisa kembali lalu mengambil sebuah spatula kayu dari dapurnya.
"Tidak, aku akan bertengkar denganmu," balas Lisa. Ia pakai lengan blazer-nya untuk menghapus air mata dan sedikit ingusnya, kemudian menghampiri Minho sekali lagi, berencana untuk memukul pria itu sekali lagi namun kali ini Minho beranjak, menghindarinya.
Lama bertengkar, beradu fisik seperti anak sekolah dasar, akhirnya mereka berhenti karena kelelahan. Rumah sudah berantakan ketika mereka berhenti. Minho sampai menggeser sofa dan meja demi menghindari Lisa dan pukulannya. Setelah lelah, mereka duduk di lantai, bersandar pada sofa sembari meluruskan kaki mereka. Meja kayu yang selalu ada di depan sofa itu kini sudah pindah ke sebelah kiri, menempel pada pintu balkon. Bantal dan selimut yang selalu ada di sofa berserakan di lantai, di seluruh penjuru rumah. Karpet berantakan, vas bunga berguling di lantai dengan air dan bunganya yang tumpah. Padahal Minho baru membeli bunga itu tadi pagi.
"Kau sangat kekanakan, padahal usiamu sudah tiga puluh tahun," gerutu Minho, yang punya beberapa luka lecet, luka cakar juga rambut acak-acakan karena di jambak. Lisa pun sama, meski tidak benar-benar di pukul, gadis itu sama berantakannya.
"Oppa benar-benar akan tinggal di sini?" tanya Lisa, tidak peduli dengan cibiran kakaknya.
"Hm..." Minho mengangguk. "Setidaknya aku harus tinggal dengan satu-satunya keluargaku sebelum menikah."
"Kau akan menikah? Dengan siapa?"
"Tidak tahu."
"Tsk," Lisa berdecak, kemudian memperhatikan seisi rumahnya yang kini berantakan. "Bayar uang sewanya kalau mau tinggal di sini," kata Lisa. Ia angkat tubuhnya untuk bangun.
"Aku minta maaf," tahan Minho. "Kau mungkin tidak ingat karena dulu masih terlalu kecil. Tapi dulu ayah sering memukul ibu, memukulmu. Karena itu ibu ingin bercerai. Tapi mereka tidak pernah bercerai. Dulu aku tidak pernah dipukul, tapi aku marah saat ibu membawamu pergi dan meninggalkanku di sini. Aku tahu kalian hanya melarikan diri, tapi aku tetap kecewa. Kenapa aku tidak diajak? Apa karena kalian takut aku akan jadi seperti ayah? Aku marah setiap memikirkannya dan aku tidak sadar kalau kemarahanku itu bertahan sangat lama. Aku marah pada ayah dan ibu, tapi aku tidak membencimu, aku tidak marah padamu. Saat ayah dan ibu meninggal, aku tidak bisa memikirkan apapun selain menyalahkan mereka. Wajar kalau aku marah, mereka pantas menerima kemarahanku, aku terus mengatakannya sampai aku lupa kalau aku punya seorang adik yang hancur sendirian. Aku minta maaf, Lisa. Sekarang aku akan memperlakukanmu dengan baik, sungguh."
"Ya," singkat sang adik. "Aku ingin tidur sekarang, jangan ganggu aku," susulnya, melangkah masuk ke dalam kamarnya kemudian mengunci pintunya.
Ia habiskan harinya di sana, berbaring di ranjang sembari sesekali menghapus air matanya yang jatuh. Ia ingin menangis dengan layak, namun tubuhnya sudah terlalu lelah untuk itu. Ia merindukan ibunya, ia merindukan ayahnya, ia merindukan keluarganya. Kakaknya ada di sana namun ia terlalu malu untuk menunjukan kerinduannya.
Sementara Lisa sibuk mengatur perasaannya sendiri, Jiyong pergi menemui Seunghyun. Sepengetahuan Jiyong, tidak ada orang yang lebih mengenal Lisa daripada Seunghyun, karenanya pria itu datang. Ia datang ke rumah Seunghyun kemudian duduk dan menghela nafas keras-keras di ruang tamunya.
"Kakimu belum sembuh? Kenapa kau tidak bekerja?" tanya Seunghyun, melayani tamunya dengan sebotol air mineral dingin yang baru ia ambil dari lemari es.
"Aku cuti tiga hari karena Nara datang," jawab Jiyong. "Tapi rekaman nanti malam masih sesuai jadwal," susulnya sebelum Seunghyun senang karena ucapannya.
"Lalu kenapa kau menemuiku sekarang? Kita bisa bertemu nanti malam," protes Seunghyun. "Bertengkar dengan Lisa? Karena Nara?"
"Aku harap kami memang bertengkar," gumamnya. "Kenapa kau tidak memberitahu kalau Lisa punya kakak? Dan kakaknya itu Lee Minho?"
"Kau belum tahu? Aku pikir kau sudah tahu. Kalian sering pergi berdua tanpa memberitahuku. Lisa pasti sedang berperang dengan kakaknya sekarang. Menurutmu siapa yang akan menang?" tanya Seunghyun, tentu membuat Jiyong bertanya-tanya dan pria itu harus menjawab semua pertanyaannya. Jiyong tidak akan pergi sampai semua pertanyaannya di jawab. "Minho hyung bertanya padaku caranya berbaikan dengan Lisa. Lalu aku bilang dia harus tinggal dengan Lisa, setidaknya mereka harus sering bertemu agar cepat berbaikan. Jadi Minho hyung pindah ke rumah itu dan aku yakin Lisa pasti marah besar. Mereka pasti bertengkar, tapi tidak apa-apa, mereka tidak akan saling membunuh. Beri saja mereka sedikit waktu untuk berbaikan. Kau bisa bermain dengan Nara kalau bosan menunggu Lisa berbaikan dengan kakaknya."
"Nara memintaku berkencan dengannya."
"Gila! Lalu bagaimana dengan temanku?! Bagaimana dengan Lisa?!"
"Kau pikir aku akan menerimanya?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Romance Drama
FanfictionAku tidak menyukainya. Aku membencinya. Beritahu aku siapa yang akan mencintaiku ketika aku membenci diriku? Aku tidak akan menyalahkan orang lain untuk rasa sakitku, ketika sebenarnya sangat mudah untuk membenciku. Aku sudah memutuskan untuk send...