10

510 94 6
                                    

***

Jiyong tidak tahan untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama Nara. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Lisa. Gadis itu pasti kecewa, karena ia sudah merelakan waktu liburannya untuk Jiyong tapi justru ditinggalkan sendirian. Sembari mendengarkan Nara mengoceh di rumahnya, selepas makan siang, Jiyong terus menyentuh handphonenya.

"Kau tidak mendengarkanku, oppa?" tanya Nara, sebab sejak tadi Jiyong tidak berhenti menatap handphonenya.

"Dengar," angguk Jiyong. "Kau bertengkar dengan Soohyuk kemarin, karena kau melihatnya bicara dan tertawa dengan wanita lain di bar. Tapi Soohyuk memang bekerja di bar, bukan kah aneh kalau dia tidak menyapa pelanggannya?"

"Tapi dia bukan bartender, bukan juga pelayan di sana. Dia pemilik bar itu, kenapa pemilik bar itu harus bicara dan tertawa mesra dengan pengunjung wanitanya? Itu tidak masuk akal."

"Ah begitu?"

"Ya! Apa yang sedang kau lakukan?! Tidak bisakah oppa fokus pada ceritaku?"

"Mencari kue. Lanjutkan saja ceritamu, aku mendengarkannya, sungguh," balas Jiyong namun mata itu masih tetap fokus pada gambar-gambar kue di handphonenya, mulai dari tiramisu cake sampai strawberry dan lemon cake.

"Untuk kekasihmu? Beli saja kue cokelat, pilih saja yang paling aman. Jangan mencoba memilih yang lain, kau bahkan tidak akan memakannya. Kalau salah pilih, kau hanya akan bertengkar dengannya," komentar Nara, berpura-pura memberi saran seolah dirinya peduli akan hubungan Jiyong dengan kekasihnya.

"Karena itu aku tidak bisa asal pilih, kami bisa bertengkar kalau aku salah pilih kue," tenang Jiyong. "Dan aku makan kue sekarang. Aku suka tiramisu dan lemon cake. Lisa membelikannya untukku dan ternyata itu enak," ceritanya.

Nara terdiam mendengar cerita Jiyong. Merasa tidak ditanggapi, Jiyong melanjutkan ceritanya. Ia katakan kalau dirinya membeli kue dengan banyak krim setidaknya tiga kali dalam satu bulan. Entah ada hari yang perlu dirayakan atau hanya butuh camilan untuk teman berkencan.

Jiyong tiba-tiba saja terasa asing bagi Nara. Mereka sudah lama berteman, sejak kecil, bertiga dengan Soohyuk. Ia pikir ia mengenal Jiyong, meski suasana hati pria itu berubah, meski emosinya berubah, meski mereka bertambah dewasa setiap harinya, Nara pikir ia tetap akan mengenalinya. Berkali-kali ia berkencan, berkali-kali Jiyong berkencan, namun baru kali ini Jiyong terasa begitu asing baginya.

"Ya," Jiyong menganggukan kepalanya. "Aku lebih bahagia sekarang. Tidak ada yang perlu aku tahan lagi dan aku punya seseorang untukku bersandar. Aku merasa lebih tenang, tidak ada kekhawatiran, sama sekali."

"Kau sangat mencintainya? Berapa lama kalian berkencan? Berapa lama kalian saling kenal?"

"Ya. Karenanya aku jadi tahu bedanya mencintai dan dicintai. Setelah mengetahuinya aku merasa sangat tenang. Tidak ada ujian, tidak ada tes, dia tidak menguji cintaku, dia tidak mengetes perasaanku. Apa adanya, mengalir begitu saja," cerita Jiyong. "Tidak seperti seseorang, saat aku menyatakan perasaanku padanya, saat aku bilang kalau aku mencintainya, dia bilang selamat datang, buat dirimu nyaman bersamaku. Kita tidak tahu sekarang, tapi cinta bisa saja datang hanya untuk satu bulan, atau hanya saat kembang api muncul, atau mungkin akan bertahan lama, jadi buat dirimu nyaman sekarang. Nanti saat cinta itu harus pergi, kau bisa pergi bersamanya, tapi biarkan pintunya tetap terbuka, matikan juga musiknya, lalu saat itu tiba, aku akan bilang padamu, terimakasih karena sudah mampir. Aku ingat dengan sangat jelas bagaimana ia bicara waktu itu, sambil tersenyum."

"Bukankah itu aneh? Dia menerima perasaanmu tapi sudah berfikir untuk berpisah? Itu artinya dia hanya ingin bermain-main denganmu, dia tidak serius ingin menghabiskan seluruh hidupnya bersamamu."

"Tapi itu lebih baik daripada, aku tidak ingin berkencan denganmu, aku takut kalau kita putus nanti, aku akan kehilanganmu sebagai temanku, aku tidak ingin kehilangan kekasih dan teman sekaligus. Menurutku begitu," senyum Jiyong, akhirnya memutuskan kalau ia akan membeli strawberry cheesecake sore ini.

Jiyong akhirnya pergi, meninggalkan Nara yang kesal di rumahnya. Ia masuk ke dalam mobilnya, duduk di sebelah managernya dan menghela nafasnya. Seolah baru saja bernyanyi selama tiga puluh menit tanpa istirahat, pria itu super kelelahan. "Hyung, hatiku sakit sekali," katanya setelah mobil mulai melaju ke jalanan ramai. "Bisakah kau mengatakan padaku kalau aku sudah melakukan hal yang benar?" tanyanya, menoleh pada pria yang mengemudi di sebelahnya. "Sebenarnya aku tidak ingin menemui Nara lagi. Setiap kali aku memikirkannya, aku merasa kalau selama ini aku hanya sedang berpura-pura bahagia."

"Kau masih menyukainya? Maksudku Nara," tanya Heechul dan Jiyong menatap kosong ke jalanan di depan mereka.

"Aku tidak bisa membencinya."

"Bukan itu pertanyaanku."

"Masih. Tapi aku juga menyukai Lisa. Aku suka menghabiskan waktu bersamanya. Mungkin hanya seperti kebahagiaan palsu, tapi aku menyukainya. Aku mencoba banyak hal baru bersama Lisa, tidak sebanyak apa yang sudah aku lakukan bersama Nara tapi... Tidak buruk? Aku menikmatinya, melakukan ini dan itu bersama Lisa."

"Jangan mengatakan itu pada Lisa atau Nara. Kau akan terdengar berengsek," kata Heechul, hanya bisa memperingatkan Jiyong, tanpa memberi saran apapun.

Heechul sudah pernah memberitahu Jiyong— meski kau senang menghabiskan waktu bersama Lisa, jangan jadikan dia pelampiasan dari perasaanmu yang tidak di balas— begitu katanya, namun Jiyong tidak mendengarkannya. Meski sudah diperingatkan, Jiyong tetap menyatakan perasaannya pada Lisa. Ia tetap berusaha memikat hati gadis itu. Ia tetap mengencaninya.

Lalu, untuk beberapa waktu, Jiyong bisa melupakan lukanya. Ia bisa melupakan penolakan yang ia terima. Ia bisa menumpuk banyak senyum di atas lubang dalam hatinya, manambal lubang itu dengan senyuman wanita lain. Namun saat melihat Lisa datang bersama Nara, tambalan dalam hatinya perlahan-lahan kembali berlubang. Keraguan dan angan mengerikan muncul kembali di kepalanya.

"Meski aku berusaha terlihat baik," Jiyong menjeda kalimatnya. "Aku tetap berengsek, setidaknya bagi Lisa, iya kan?" katanya, khawatir ia akan membenci dirinya sendiri. Khawatir ia akan menunjukan sisi paling buruk dari dirinya pada semua orang.

"Kau masih bisa mencegahnya. Mencegah dirimu jadi berengsek bagi siapapun," tenang Heechul, seolah yakin kalau Jiyong akan berusaha tidak melukai siapapun.

Mobilnya kemudian berhenti di depan galeri. Sore ini galeri tidak seberapa ramai sebab ini bukan akhir pekan. Menunggu seorang kurir datang, Jiyong duduk di mobilnya, melihat-lihat foto yang pernah ia ambil dengan handphonenya. Sampai dua tahun lalu foto Nara masih jadi yang paling banyak di sana. Foto yang Nara kirim hampir untuk seluruh kegiatannya.

"Sekarang, ada lebih banyak foto Lisa di handphoneku, daripada foto lainnya," komentar Jiyong sembari melihat-lihat foto di sana. "Tapi apa kau tahu hyung? Semua fotonya aku ambil sendiri. Mungkin karena kami sering bertemu? Dia tidak mengirim fotonya sendiri padaku, tidak seperti Nara yang akan mengirim sepuluh sampai lima belas foto dirinya sendiri karena khawatir aku akan merindukannya."

"Lisa banyak mengirim foto padaku. Hampir lima belas foto sekali kirim."

"Omong kosong, jangan berbohong, dia tidak akan melakukannya."

"Sungguh," kata Heechul, bersikeras. "Foto dinding, foto lukisan, foto daisy, foto sepatu, kadang juga fotonya sendiri, sedang berdiri di depan gambar padang rumput. Lalu pesan yang dia tulis, apa ini yang Jiyong bicarakan kemarin? Kenapa sulit sekali mengikuti seleranya? Bantu aku, kami bertengkar tadi."

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang