42

531 89 5
                                    

***

I just want a comfy pillow, smell like, clean like cotton dreams. Smell my mother's softening breeze, let me bury my face in it.

Bunyi tuts piano yang di tekan memenuhi ruang kerja Lisa. Samar-samar suara Mommy Son— yang menyanyikan lirik dalam lagunya— terdengar sampai keluar. Sleep Exhibition, judul karyanya, musiknya. Jiyong tidak tahu kapan Lisa mulai mendengarkan lagu-lagu seperti ini. Tanpa menyadari kehadirannya di depan pintu, gadis itu menari mengikuti dentum pianonya. Gerakannya terlihat menyenangkan, melompat-lompat lucu, memantul seperti boneka karet.

Tapi wajah gadis itu tidak terlihat sebahagia nada musiknya. Mungkin itu yang Lisa cari sekarang— sekumpulan kata-kata sedih yang diikat oleh nada-nada bahagia. Memasuki menit kedua, alunan piano yang dimainkan terdengar menegangkan. Seperti nada peringatan dalam film horor, tanda-tanda kalau hantu juga monsternya sebentar lagi datang.

Di pertengahan lagu, suara wanita kemudian terdengar. Up and down, my head stuck in the ground. Oh my God, look at my rabbit eyes. Want to sleep like crazy, but I'm afraid this will be my last sleep. It's starting raining outside, my heart laughs too loud. I cannot close my eyes, i can't breathe— nyanyi wanita dalam lagu itu, dengan suaranya yang melengking ditemani tabuhan drum.

Sebelumnya tidak ada yang aneh dari Lisa yang menari. Gadis itu selalu menari untuk bersenang-senang, sekarang pun begitu. Tapi hal yang membuat Jiyong sedih adalah raut wajah kekasihnya, yang berusaha untuk bersenang-senang, berusaha untuk tersenyum, namun tidak kelihatan akan berhasil. Usahanya untuk menyenangkan dirinya sendiri, gagal. Sama seperti Zior Park dalam lagu itu yang gagal terlelap tanpa pil tidurnya.

Panjang lagunya hampir sebelas menit dan Lisa tidak berhenti menari. Ia terus berjinjit, melompat, juga berputar dengan jari kakinya. Dari jauh Jiyong bisa melihat kilat keringat di dahi dan leher gadis itu. Lisa ingin bersenang-senang, namun justru harus menahan sakit yang luar biasa di kakinya.

Mother always told me, "when you fall in your dreams, it means that you're growing, so don't be afraid," then i told her, "mommy, i ain't telling stories, i just keep on falling in reality." I took pills to paralyze the pain. I knew at the end it'd be the same. Someone answered there are a thousand questions i ask, but let me ask you these, why is it me? How should i sleep?

Lagunya perlahan-lahan berakhir, tapi Lisa yang tidak ingin mendengarkan outro lagunya langsung bicara pada handphonenya, "next song," katanya. Kini Jiyong tahu kalau gadis itu memutar semua lagunya melalui handphone, sebab lagu selanjutnya adalah miliknya. Lagu yang harusnya belum boleh diputar di luar studio. Lagu yang akan ia rilis beberapa minggu lagi.

Lagunya dimulai dengan suara Yongbae, dengan suara petikan gitar sebagai iringannya. "Goodbye now to my beloved young days. Our beautiful spring summer fall winter," suara Daesung yang selanjutnya terdengar. Membuat Jiyong dapat membayangkan wajah Daesung dengan rambut keritingnya yang tadi pagi ia temui.

Detik selanjutnya giliran Jiyong yang bernyanyi. Diawali dengan sebuah narasi pendek, “Four seasons with no reason,” katanya sebelum mulai bernyanyi. Tapi belum lama nyanyian Jiyong terdengar, Lisa sudah lebih dulu mengganti lagunya.

"Next song! Augh! Menyebalkan! Kenapa suaranya yang keluar?! Next!" keluh gadis itu, berteriak pada handphonenya yang ada di atas meja. Ia juga berhenti menari, membungkuk hampir duduk di lantai untuk memeriksa kakinya yang sakit. "Ya! Lagu lainnya! Aku juga tidak mau mendengarnya! Next song!" susulnya, juga berteriak saat DOOM DADA berputar dari handphonenya.

"Ya! Kenapa kau jahat sekali padaku?! Kenapa kau tidak mau mendengarkan suaraku?!" protes Jiyong, yang akhirnya melangkah masuk setelah melihat kekasihnya marah pada suaranya.

"Oh! Oppa- oh! Jangan ke sini! Keluar!" panik gadis itu, yang kemudian memeluk lututnya sendiri, berusaha menyembunyikan sesuatu dari Jiyong yang tiba-tiba masuk. Sama sekali ia tidak mengira Jiyong akan datang secepat itu. Menari membuatnya lupa waktu dan ia luar biasa terkejut karena Jiyong datang ke tempatnya tanpa menelepon lebih dulu.

"Kenapa-"

"Keluar! Keluar dulu! Cepat!" paniknya, yang untungnya ia punya sebuah sofa diantara mereka. Sofa yang sangat cocok untuk membantunya bersembunyi dari Jiyong yang tiba-tiba masuk.

"Ada apa denganmu?! Jangan begini, kau membuatku takut!" kesal Jiyong, yang justru menghampiri kekasihnya, mengulurkan tangannya untuk menarik lengan kekasihnya, melihat apa yang gadis itu sembunyikan— kaki Lisa terluka, kuku dari ibu jari di kakinya hampir lepas. "Whoa... Kau kekanakan sekali," komentar Jiyong setelah melihat luka yang Lisa sembunyikan itu. "Kenapa menyembunyikannya? Malu? Atau takut dimarahi? Ayo bangun, cepat obati lukamu," susul pria itu, membantu Lisa bangun kemudian melihat sekeliling, mencari slippers yang bisa kekasihnya pakai.

Sementara Lisa berdiri, bersandar pada meja kerjanya yang kokoh sembari mematikan musik dari handphonenya, Jiyong berlutut di depannya, memasangkan sebuah plester ke ibu jari kaki kekasihnya. Pelan-pelan pria itu merekatkan plesternya, sesekali meniup lukanya, berharap Lisa tidak akan kesakitan. "Lama sekali, oppa bisa melakukannya?" tegur Lisa, dengan tangan terulur mengusap rambut kekasih di depannya. "Jijik? Atau takut? Biar aku-"

"Tidak sakit?" potong Jiyong, tanpa mengangkat kepalanya, masih memperhatikan kemudian mengusap kaki kekasihnya. Ada beberapa memar keunguan di kaki Lisa, luka dan memar yang ia dapatkan dari tarian yang dipaksakan. Lisa mencoba menari untuk memperbaiki suasana hatinya, namun gerakannya jadi semakin buruk, kakinya semakin sakit dan itu semakin memperburuk suasana hatinya.

"Sakit, tapi masih bisa ditahan," katanya. "Sudah biasa," susulnya.

"Jangan ditahan," pinta Jiyong kemudian, perlahan-lahan mengangkat kepalanya. "Kalau kau merasa ada yang salah dengan dirimu, merasa sakit, merasa tidak nyaman, jangan hanya ditahan, ayo kita obati. Kita ke rumah sakit sekarang? Aku bisa meluangkan waktu beberapa jam."

"Aku bisa ke rumah sakit sendiri. Oppa tidak perlu mengantarku memeriksakan kakiku, ini hanya luka kecil," katanya dan Jiyong menggelengkan kepalanya.

"Kita temui psikiater atau psikolog setelah mengobati kakimu, ya?" ajak Jiyong namun Lisa menggelengkan kepalanya. Gadis itu tidak ingin pergi, ia tidak ingin membahayakan pekerjaannya, ia tidak ingin masalah kesehatannya merusak nama galerinya, membuat seniman-seniman yang bekerja dengannya semakin tidak mempercayainya. Dan yang paling menggangunya, Minho tidak akan menyetujuinya. "Karena itu kau tidak bisa pergi ke sana sendirian. Ayo pergi denganku, kita bisa pergi diam-diam dan kalau seseorang mulai menyadarinya, kita bisa bilang kalau aku pasiennya. Soal Minho hyung, katakan padanya kalau aku yang memaksamu. Seperti aku memanfaatkanmu, kau juga bisa melakukannya, memanfaatkanku, ya?"

"Iya."

"Sungguh?"

"Ya," angguk Lisa. "Tapi oppa akan dimarahi Minho oppa. Tidak, bukan hanya oppa, aku juga. Kita akan dimarahi Minho oppa. Aku bahkan bisa membayangkan apa yang akan ia katakan— kau sudah menolak terapi setelah kecelakaan! Tapi sekarang ingin pergi ke psikiater karena dipukul sekali saja?! Bagaimana kalau orang-orang di galeri tahu kau selemah itu?! Semua yang sudah kau usahakan akan hancur," katanya, mencoba mengikuti nada bicara Minho.

"Kau hanya melebih-lebihkan, iya kan?"

"Sedikit?" senyum Lisa. "Oh! Kenapa aku tersenyum? Suasana hatiku terus berubah-ubah sejak tadi!"

"Kau memang begitu-"

"Tega sekali."

"Tidak, maksudku, kau beberapa kali begitu, tapi coba kita periksakan, agar kita yakin kalau kau baik-baik saja. Dan semisal kau tidak baik-baik saja, aku akan berusaha membantumu untuk kembali baik-baik saja. Kau bisa mengandalkanku."

***
Tamat
Epilog lagi diketik

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang