18

518 101 5
                                    

***

Toko tempat mereka memperbaiki handphone hampir tutup. Untungnya mereka datang tepat waktu, tiga puluh menit sebelum jam kerjanya habis. Orang yang akan memperbaiki handphone itu bilang kalau mereka adalah pelanggan terakhir hari ini. Pasangan itu di minta menunggu sementara handphone Lisa akan dicek dan diperbaiki. Mungkin satu atau dua jam.

Mereka menunggu di ruang tunggu. Hanya ada seorang pria paruh baya yang menunggu di sana. Mungkin handphonenya juga rusak dan ia menunggu miliknya selesai diperbaiki. Pria itu terlihat mengantuk, sepertinya bosan.

Jiyong duduk di sudut, jauh dari pria paruh baya itu. Memilih tempat yang tepat untuk menghindari perhatian orang-orang. Lisa duduk di sebelahnya, duduk di atas bangku panjang untuk tiga orang dan bersandar ke sandaran punggungnya. "Perlu sesuatu untuk menunggu? Camilan?" tanya Jiyong dan Lisa menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana kalau menunggu di luar?" tawar gadis itu, namun Jiyong kelihatan ragu. Di luar pasti dingin dan mereka sama-sama hanya mengenakan selembar kaus tipis.

"Dingin," singkat Jiyong, menolak tawaran Lisa. "Kenapa ingin di luar? Merokok?" tanyanya dan Lisa mengangguk. Gadis itu bilang ia sedang ingin merokok karena merindukan ibunya.

"Nanti saja di rumah," balas Jiyong. "Di luar dingin," susulnya, kali ini sembari merogoh saku celananya, mengambil handphonenya di sana.

Jiyong belum melakukan apapun dengan handphonenya, dan Lisa mengintip. "Oh itu fotoku," komentarnya setelah melihat wallpaper di layar handphone kekasihnya. Jiyong baru menggantinya hari ini, sebab sebelumnya gambar yang ada di sana adalah foto cat abstrak bawaan pabrik. "Ternyata oppa tahu caranya mengganti wallpaper," susul Lisa, sedikit meledek. 

"Bukan," bantah Jiyong. "Ini fotoku," katanya, sebab ada wajah mereka berdua di foto itu. Fotonya bukan foto yang sengaja mereka ambil saat berkencan. Foto itu di ambil oleh seorang fans, atau reporter saat Jiyong mengumumkan kalau ia akan melakukan pameran di galeri milik Lisa. Mereka berdua duduk bersebelahan di depan banyak reporter, mempromosikan pameran yang akan dilakukan beberapa minggu lagi. Tidak sampai dua minggu lagi.

"Tapi ada aku di sana," Lisa belum menyerah.

"Oh ya?" goda Jiyong. "Aku tidak tahu," gelengnya.

"Ish... Kekanakan," kata Lisa, kembali bersandar ke bangku.

Jiyong bermain dengan handphonenya sementara Lisa duduk di sebelahnya, bersandar pada sandaran kursi. Mereka tidak berbincang lagi, sebab Jiyong sibuk dengan handphonenya. Ia mengirim pesan pada beberapa orang, membalasnya dan terus begitu sampai ia dengar kekasihnya terkekeh.

"Kenapa?" tanya Jiyong, menunda sebentar aktivitasnya membalas pesan-pesan pekerjaan yang masuk.

"Banyak sekali salah ketiknya," komentar Lisa, yang sedari tadi memperhatikan pesan-pesan di handphone kekasihnya. "Aku kira oppa hanya salah ketik saat chatting denganku. Ada autotext di handphonemu, kenapa masih salah ketik?"

"Heish... Salah sedikit tidak akan jadi masalah. Yang penting lawan bicaraku mengerti maksudku."

"Tapi aku sering tidak memahami maksudmu, karena terlalu banyak salah ketik."

"Sebenarnya, kau itu bodoh, kan? Kita tidak pernah membahas hal penting lewat chatting, kenapa masih tidak paham?"

"Karena itu," kata Lisa, menegakan duduknya untuk mulai berdebat. "Karena oppa terlalu banyak salah ketik, aku memilih untuk meneleponmu. Karena sulit memahami pesanmu," keluhnya tapi Jiyong sama sekali tidak terganggu. Ia justru tersenyum kemudian mengatakan kalau dirinya akan terus begitu, dengan sengaja— agar Lisa terus meneleponnya.

Di tengah perdebatan manis itu, sialnya handphone Jiyong bergetar. Sebuah panggilan baru saja masuk, dari Nara. Jiyong menjawab panggilan itu setelah membaca raut wajah Lisa yang kelihatan tidak keberatan. "Hm?" gumam Jiyong, menjawab panggilan Nara setelah dering ketiga, pria itu mengambil keputusan dengan sangat cepat.

"Kita harus bicara, ayo bertemu," ajak Nara dengan suara ketus khas seorang wanita yang marah.

"Tidak sekarang," tolak Jiyong, ia pijat tengkuknya sendiri kemudian tersenyum dan bangkit dari duduknya. Ia menjauh dari kekasihnya untuk bicara pada temannya dan Lisa tidak melakukan apapun selain menggeser kakinya agar Jiyong bisa leluasa melangkah pergi. "Besok malam aku akan menemuimu, sebelum itu aku tidak bisa," katanya.

Kini Jiyong berdiri di luar. Dari jendela toko Lisa bisa melihatnya, begitu juga sebaliknya. Sesekali Jiyong menoleh, tersenyum pada Lisa seolah ingin mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Meski kenyataannya tidak begitu.

"Aku sangat tidak menyukainya, kekasihmu," kata Nara. "Kenapa kau berkencan dengannya? Yang sebelumnya jauh lebih baik," gerutu gadis itu, yang sama sekali tidak Jiyong tanggapi. "Dia baru jadi kekasihmu-"

"Bisa kau berhenti?" potong Jiyong pada akhirnya. "Kita bicara besok malam. Sekarang aku sibuk," susulnya, mengulang apa yang sudah ia katakan sebelumnya.

Jiyong menghela nafasnya sekarang. Panggilan itu berakhir dan Nara mulai bersikap kekanakan lagi. Di saat yang sama, sebuah pesan juga masuk, dari Soohyuk. "Nara pergi ke Seoul setelah kami bertengkar, apa kau bertemu dengannya? Dia tidak menjawab pesanku dan menolak teleponku," tulis Soohyuk dalam pesannya.

Sembari membalas pesan itu, mengatakan kalau ia tidak tahu dimana Nara sekarang, Jiyong melangkah mendekati kekasihnya. Lisa tidak bertanya tapi itu bukan berarti dia tidak ingin tahu apa yang Jiyong bicarakan sampai ia harus keluar. Jiyong bahkan bisa bekerja lewat telepon di sebelahnya, namun panggilan dari Nara justru membuatnya menjauh.

Ia penasaran, sangat penasaran hingga tidak bisa menyembunyikan rasa itu dari wajahnya. Tergambar sangat jelas kalau Lisa ingin tahu apa yang Jiyong bicarakan dengan teman lamanya. "Penasaran?" tanya Jiyong, berdiri di depan Lisa, sembari menyandarkan bokongnya pada bangku lagi di depan bangku kekasihnya.

"Tidak," kata Lisa, namun dengan ekspresi ingin tahu yang tidak bisa ia tutupi. "Tentu saja penasaran, kenapa harus pergi?" susulnya, sembari memasang wajah cemberutnya. "Ah tidak," gelengnya kemudian.

Jiyong diam, memberi jeda sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya. Namun kesunyian itu justru membuat Lisa merasa buruk. Ia jadi ragu akan perasaannya sendiri, benarkah ia ingin tahu apa yang Jiyong bicarakan dengan Nara? Atau hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau pikirannya salah? Jiyong tidak akan meninggalkannya untuk Nara— perlahan-lahan keyakinan Lisa memudar.

"Aku jadi seperti pacar posesif. Terserah. Aku tidak mau tahu obrolan kalian. Jangan memberitahuku."

"Nara mengajakku bertemu dengannya. Kami akan bertemu dan bicara besok malam."

"Kenapa oppa memberitahuku? Aku tidak perlu tahu kalau kalian mau bertemu, makan malam bahkan tidur bersama," cibir Lisa, sembari bersandar kesal pada bangkunya sendiri, menolak untuk bertukar tatap dengan kekasihnya.

"Kau ingat apa yang pernah kau katakan sebelum kita berkencan?" tanya Jiyong kemudian. "Waktu itu masih pagi sekali. Aku datang ke rumahmu setelah kembali dari Jepang. Aku membangunkanmu dan kita sarapan bersama sebelum kau berangkat kerja. Rotinya hangus waktu itu, karena kau kesal aku datang terlalu pagi dan aku terlalu banyak bicara. Aku menceritakan perjalananku ke Jepang lalu kau bilang— Swan Lake, Black Sawn dan Giselle mengingatkanku pada orang lain. Dulu aku mengkhianati kekasihku untuk merebut kekasih orang lain. Aku pernah jadi wanita yang sangat jahat. Bahkan kalau aku berkencan dengan seorang berengsek sekali pun, rasanya tidak apa-apa. Aku pantas mendapatkannya— aku hanya tertawa waktu itu, aku bilang, ya kau harus di hukum. Tapi, aku jadi penasaran, kebaikan apa yang pria berengsek itu lakukan sampai ia berhak mendapatkanmu? Sebelum jadi berengsek apa dia pernah menyelamatkan dunia? Meskipun kau pernah melakukan kesalahan yang sangat besar, kau masih sedikit terlalu baik untuk dikencani pria berengsek. Karena itu aku tidak berencana jadi berengsek."

"Aku bertemu dengan mereka lagi."

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang