32

466 86 7
                                    

***

Sejak semalam, Lisa tidak bisa tidur. Ia hampir tidak tidur sepanjang malam meski sudah berusaha untuk memejamkan matanya. Mungkin malam tidak akan terasa terlalu panjang kalau Jiyong bisa menjawab panggilannya. Sayangnya pria itu bilang dia harus bekerja, mengerjakan banyak hal yang sempat diabaikannya karena mencari Nara tadi. Mereka sempat bicara di telepon tengah malam tadi, namun Jiyong yang tidak banyak bicara karena pekerjaannya, membuat Lisa mengakhiri panggilan itu. Rasanya tidak benar mengganggu seseorang bekerja, pikirnya.

Hingga pagi akhirnya datang dan Lisa hanya berhasil terlelap selama dua setengah jam, tidak lebih, justru mungkin kurang. Rasa gugup membuat gadis itu tiba di galerinya satu jam lebih awal dari biasanya. Dirinya resah, khawatir juga takut karena Jennie akan datang menemuinya hari ini. Mereka berjanji untuk bertemu di galeri siang nanti, setelah jam makan siang. Masih sangat lama dan lamanya waktu tunggu itu membuat Lisa benar-benar tersiksa.

"Oppa!" Lisa langsung merengek begitu menjawab panggilan dari kekasihnya, di pukul sembilan, tepat setelah Jiyong membuka matanya. Setelah pria itu bangun dari tidurnya yang juga hanya beberapa jam. "Oppa... Aku takut," rengek gadis itu sekali lagi.

Jiyong hanya terkekeh mendengarnya. Pria itu bahkan belum mengatakan apapun, tapi kekasihnya sudah menjejalinya dengan banyak rengekan panjang. Setengah menit pertama, Lisa hanya memanggilnya, berulang-ulang mengatakan kalau dirinya sedang sangat khawatir sekarang. Dan sepanjang setengah menit itu juga Jiyong hanya mendengarkan dengan sesekali terkekeh. Jiyong bahkan belum menyibakkan selimutnya. Ia menelepon Lisa tepat begitu dirinya tersadar dari lelapnya tidur semalam.

"Astaga," kata Jiyong setelah setengah menit Lisa bicara sendirian. "Suaramu benar-benar membangunkanku," susulnya, dengen gemerisik gerak sebagai tanda kalau ia baru saja bangun dari baringannya. Ia duduk di ranjangnya, bersandar pada kepala ranjangnya.

"Aku harus bertemu Jennie siang ini," kata Lisa— untuk yang kesekian kalinya sejak semalam. "Gugup sekali, kira-kira apa yang akan dia bicarakan? Maksudnya, aku tahu alasannya ingin menemuiku. Aku tahu apa yang ingin dia bicarakan, tapi bagaimana kalau dia membicarakan hal lainnya? Kira-kira hal lain apa yang akan dia bicarakan?" resah Lisa, juga untuk yang kesekian kalinya.

"Tidak ada," tenang Jiyong. "Sudah bertahun-tahun sejak kejadian waktu itu, aku yakin dia sudah lupa. Kalau pun ingat dia tidak akan membahasnya, bagaimana kalau dia menyinggung masalah kalian lalu kau marah dan berhenti mensponsori akademinya? Aku yakin dia sedang mengkhawatirkannya sekarang."

"Jennie bukan tipe yang akan mengkhawatirkan masalah itu."

"Itu sebelum dia jadi Kepala Akademinya. Sekarang dia sudah jadi Kepala Akademinya, dia punya tanggung jawab, masa depan para pengajarnya, masa depan ballerina-ballerina di sana, aku ragu dia mau mengorbankan mereka semua hanya untuk masalah pribadi kalian. Dia pasti akan bersikap sangat baik padamu," sekali lagi Jiyong terdengar sangat yakin.

"Justru karena itu, aku jadi merasa semakin buruk," keluh Lisa, tidak ada habisnya. "Oh iya, bagaimana dengan Nara eonni? Oppa menemukannya?"

"Hm... Aku menemukannya, di hospice."

"Lalu apa yang terjadi di sana? Kenapa oppa tidak menceritakan apapun semalam?"

"Tidak ada yang istimewa. Semuanya akan baik-baik saja sekarang, dia akan tinggal beberapa hari lagi di sini," kata Jiyong, terdengar sedikit malas membahas urusannya semalam. Beralasan kalau ia sibuk, pria itu bahkan mengakhiri panggilan mereka sebelum Lisa bertanya lebih banyak.

Sampai akhirnya jam makan siang datang dan Jennie muncul di galeri seni itu dengan pakaian resminya. Ia kenakan celana panjang abu-abu yang senada dengan blazernya di bawah sebuah kemeja putih halus. Sepatu hak tinggi berwarna putih menghiasi kakinya yang terbalut kaus kaki tipis berwarna kulit. Ia menyembunyikan bekas luka dan memar di kaki yang masih aktif menari itu.

Langkahnya yang teratur, terlihat sangat tenang membuat jantung Lisa menggelembung, besar memenuhi dadanya, membuat wanita itu sedikit sesak. Lisa sudah menunggu di cafe galeri ketika Jennie datang. Merasa tidak boleh membuat Jennie menunggu, gadis itu sudah duduk di cafe sejak satu jam lalu, gelisah dan resah.

"Halo, apa aku terlambat?" heran Jennie, sebab ia tidak sengaja datang lima menit lebih awal namun Lisa sudah ada di sana, menunggunya. "Maaf kalau aku terlambat," kata gadis itu, namun tidak terdengar seperti seseorang yang benar-benar merasa bersalah.

"Tidak, hanya kebetulan aku yang datang lebih awal," bingung Lisa. Sudah sejak pagi ia ada di galeri itu, justru aneh kalau ia yang terlambat padahal mereka bertemu di tempat kerjanya.

Sedikit mereka berbasa-basi tentang menu yang mereka pesan dari menu. Hanya dua gelas es kopi dengan susu, dan rasa tidak nyaman membuat keduanya buru-buru membicarakan pekerjaan mereka. "Jadi, beberapa hari lagi ada pameran G Dragon di sini, baru setelah itu open house-nya?" tanya Jennie, mencocokkan jadwal yang sebenarnya sudah lama disepakati dengan Kepala Akademi sebelumnya.

"Ya," angguk Lisa. "Ada beberapa pameran lagi setelah open house, aku tidak bisa mengambil resiko dengan merubah jadwal open house-nya. Aku dengar ballerina di akademi sudah mulai berlatih, The Nutcrackers, bagaimana persiapannya?"

"Aku merubah naskahnya jadi Giselle," jawab Jennie, membuat jantung Lisa yang menggelembung terasa seolah akan meledak saat itu juga. "Kami terlalu sering menampilkan The Nutcrackers dan rata-rata penontonnya bukan anak-anak lagi, The Nutcrackers terlalu ringan untuk mereka, terlalu mudah dilupakan."

Lisa menghela nafasnya, merasa kalau Jennie sedang menjatuhkan sebuah umpan di depannya. Umpan untuk ia gigit. Lisa penasaran, reaksi apa yang Jennie bayangkan sekarang. Ia penasaran reaksi apa yang harus diberikannya untuk memuaskan Jennie. Namun kemudian, gadis itu memilih untuk tetap bersikap profesional.

"Sudah seberapa jauh progresnya?" tanya Lisa kemudian. "Aku tidak keberatan pertunjukannya di rubah, tapi aku tidak bisa mengundur acara open house-nya hanya karena kalian tidak siap dengan pertunjukannya."

"Meski hanya satu atau dua hari?"

"Tidak bisa. Open house-nya harus diakhir pekan."

"Kalau begitu undur satu minggu," pinta Jennie dan Lisa hanya terkekeh, namun tetap menolak gagasan itu.

"Ini tidak ada hubungannya dengan sponsor yang biasa galeri berikan, tapi kalau pihak akademi tidak bisa menyiapkan pertunjukan untuk open house kami, kami akan mencari alternatif lain," tegas Lisa setelah menolak permintaan Jennie.

Debat itu sempat jadi sangat sengit karena menurut Jennie, Lisa tidak akan mengalami kerugian apapun meski open house-nya di undur satu bulan. Jadwal di galeri itu tidak sangat padat seperti yang Lisa gambarkan— menurut Jennie. Namun sebagai pimpinan tertinggi di galeri, Lisa tetap menolak keinginan Jennie. Lisa tidak ingin merusak arus yang sudah sangat nyaman di sana. Ia ingin bergerak seperti bagaimana seharusnya, seperti bagaimana yang sudah mereka rencanakan.

Meski tidak menyukainya, Jennie tidak bisa berbuat banyak. Mau tidak mau gadis itu setuju dengan keputusan Lisa— tidak ada tambahan waktu, open house akan diadakan sesuai jadwalnya. Setelah negosiasi yang tidak berjalan lancar itu, mereka membahas detail lainnya termasuk apa-apa yang Jennie butuhkan untuk pertunjukan anak-anak di akademinya. Jennie ingin mereka berlatih di auditorium galeri itu setidaknya sepuluh kali dan Lisa menyanggupinya. Lisa memberi mereka izin untuk memakai auditorium galerinya sebanyak sepuluh kali.

Sayangnya, belum sempat mereka mengakhiri meeting itu dengan jabatan tangan profesional, seorang tamu tidak undang sudah lebih dulu datang. Kai datang, melangkah mendekati cafe galeri itu dengan langkahnya yang ringan. Kehadirannya, membuat Lisa kewalahan, sesak di dadanya semakin menjadi-jadi, ditambah pening yang sekarang menghantam kepalanya.

Sedang bagi Jennie, kehadiran pria itu seperti sebuah kotoran yang tidak bisa ia hindari. "Tidak aku sangka aku akan bertemu kalian berdua di sini," komentar Jennie, dengan dada yang tiba-tiba jadi luar biasa nyeri. Kehadiran Kai di sana membuat dadanya yang sempat terluka kembali dibasahi dengan kebencian, perih dan sangat menyiksa.

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang